PRESIDEN DAN PRESEDEN
Oleh SHIDARTA (Januari 2024)
Bolehkah seorang presiden yang sedang menjabat (petahana) berkampanye untuk keuntungan salah satu pasangan calon presiden/wakil presiden lain di luar dirinya atau di luar partai politiknya sendiri, dalam sebuah ajang pemilihan presiden? Pertanyaan ini sedang mengemuka tatkala tulisan ini dibuat berkenaan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa tidak ada larangan bagi dirinya untuk berkampanye untuk kepentingan pasangan calon presiden/wakil presiden tertentu. Untuk memahami hal ini, mari kita mencermati pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pasal 280 sampai dengan Pasal 283 undang-undang tersebut di atas mengatur tentang larangan dalam kampanye (seharusnya ditulis lengkap “Kampanye Pemilu” sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 butir 35). Di luar pasal-pasal tersebut, tentu masih ada ketentuan lain yang mengatur hal serupa, antara lain dalam Pasal 299 sampai dengan Pasal 305, berkenaan dengan Kampanye Pemilu oleh Presiden dan Wakil Presiden dan Pejabat Negara Lainnya. Untuk keperluan tulisan pendek ini, ketentuan Pasal 299 dan seterusnya itu sengaja tidak dijadikan objek bahasan. Hanya untuk keperluan penafsiran sistematis, ada sejumlah pasal di bagian awal, yakni Pasal 1, Pasal 268, dan Pasal 269 ikut disinggung guna memperjelas definisi.
Apabila ditabulasi berdasarkan subjek norma (siapa yang menjadi sasaran norma atau ditujukan kepada siapa norma itu) dan objek normanya (untuk melakukan suatu perbuatan), maka struktur aturan normatif dari Pasal 280 sampai dengan Pasal 283 akan memperjelas duduk permasalahan. Harap dicatat bahwa di dalam tabel di bawah ini semua operator normanya harus dibaca sebagai LARANGAN, dan kondisi normanya adalah DALAM KAMPANYE PEMILU. Pengertian “Kampanye Pemilu” adalah kegiatan Peserta Pemilu atau pihak yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu (lihat Pasal 1 butir 35).
Pasal | ayat | Subjek norma (sasaran norma); ditujukan kepada: | Dilarang untuk: | |
280 | 1 | Pelaksana, peserta, dan tim Kampanye Pemilu | Note:
Kata sambung DAN dalam ayat ini tidak konsisten digunakan karena pada ayat berikutnya, yakni ayat (2), dipakai kata DAN/ATAU.
Untuk memahami maksud ayat ini, kita terpaksa menilik ketentuan Pasal 268. Di sini disebutkan perbedaan antara subjek-subjek norma ini. Dikatakan bahwa Kampanye Pemilu dilaksanakan oleh pelaksana Kampanye dan diikuti oleh peserta Kampanye.
Persoalannya adalah siapa tepatnya yang dimaksud dengan pelaksana Kampanye, dan apa bedanya dengan tim Kampanye?
Pelaksana Kampanye terdiri dari pengurus parpol atau gabungan parpol pengusul, orang-seorang, dan organisasi penyelenggara kegiatan yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu. Perlu dicatat di sini bahwa Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden itu tidak lain adalah Pasangan Calon.
Pasangan Calon membentuk tim Kampanye tingkat nasional. Baru setelah itu, tim Kampanye tingkat nasional ini [dapat] membentuk tim di tingkat provinsi; demikian seterusnya tim ini membentuk lagi tim di bawahnya secara berjenjang untuk tingkat kabupaten/kota, kecamatan, hingga sampai kelurahan/desa.
Berarti ada pelaksana Kampanye yang ditunjuk hanya oleh Pasangan Calon dan ada tim Kampanye tingkat nasional yang juga dibentuk hanya oleh Pasangan Calon (perhatikan beda rumusan antara ayat [1] dan [2] dari Pasal 269).
Apakah tim Kampanye boleh ikut berkampanye? Apabila kita konsisten dengan definisi Kampanye menurut Pasal 1 butir 35, seharusnya TIDAK BOLEH karena yang dapat berkampanye adalah orang-orang yang ditunjuk oleh Pasangan Calon. Definisi Kampanye tidak menggunakan kata “dibentuk”.
Namun, apakah logis apabila ada anggota tim Kampanye dilarang berkampanye, dalam arti ikut meyakinkan para pemilih dengan cara menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Pasangan Calon?
|
|
280 | 2 | Pelaksana dan/atau tim Kampanye | Note:
Ayat ini memuat laragan bagi pelaksana dan tim Kampanye untuk mengikutsertakan orang-orang dengan jabatan tertentu sebagai pelaksana dan tim Kampanye.
Bukankah pelaksana dan tim memang tidak berwenang untuk memasukkan siapapun dalam pelaksana dan tim Kampanye (nasional)? Kewenangan untuk menunjuk pelaksana Kampanye dan membentuk tim Kampanye (nasional) ada pada Pasangan Calon.
Artinya, subjek norma dari ayat ini seharusnya lebih tepat ditujukan kepada Peserta Pemilu (Pasangan Calon) dan tim Kampanye.
Tim Kampanye dapat juga menjadi subjek norma karena untuk tim di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan kelurahan/desa, pembentukannya dilakukan tidak oleh Pasangan Calon. |
mengikutsertakan sebagai pelaksana dan tim kampanye Pemilu orang-orang sebagai berikut:
|
280 | 3 | Setiap orang
|
mencakup:
|
ikut serta sebagai pelaksana dan tim Kampanye Pemilu. |
281 | 1 | Pelaksana dan/atau tim Kampanye Pemilu
Note: tidak eksplisit disebutkan |
yang mengikutsertakan:
· Presiden, · Wakil Presiden, · menteri, · gubernur, · wakil gubernur, · bupati, · wakil bupati, · walikota, · wakil walikota. |
|
282 | – | Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam
jabatan negeri, serta kepala desa |
membuat keputusan
dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu selama masa Kampanye. |
|
283 | 1 | Pejabat negara, pejabat stuktural dan pejabat fungsional
dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya |
mengadakan kegiatan yang mengarah kepada
keberpihakan terhadap Peserta Pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa Kampanye. |
Dengan mencermati tabulasi terhadap empat pasal dalam UU Pemilu itu, dapat dipahami bahwa terkait dengan presiden hanya diatur dalam Pasal 281 ayat (1). Subjek norma dari ketentuan ini tidak secara eksplisit disebutkan, tetapi kita dapat menafsirkan ketentuan itu ditujukan kepada pelaksana dan/atau tim kampanye. Repotnya, siapa yang dimaksud sebagai “pelaksana” di sini tidak ditemukan definisinya dalam Bab Ketentuan Umum, padahal frekuensi penyebutannya sangat sering dimunculkan dalam keseluruhan undang-undang. Namun, secara sistematis kita dapat merujuk maksudnya secara denotatif adalah pengurus parpol atau gabungan parpol pengusul, orang-[per]seorang[an], dan organisasi penyelenggara kegiatan yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 269 ayat [1]).
Pelaksana Kampanye ternyata berbeda dengan tim Kampanye. Perbedaan itu dipicu oleh kata-kata “ditunjuk” dan “dibentuk”. Siapa yang menunjuk dan membentuk? Pelaksana Kampanye ternyata harus ditunjuk oleh Peserta Pemilu, yang dalam konteks Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah Pasangan Calon. Undang-undang ini tidak menyebut ada pelaksana Kampanye dengan tingkatan-tingkatan mulai dari nasional sampai ke desa-desa. Hal ini berbeda dengan tim Kampanye. Pasangan Calon hanya perlu membentuk tim Kampanye tingkat nasional. Ini berarti, jika kita ingin konsisten memaknai pengertian di atas, berarti tidak boleh ada pelaksana Kampanye yang tidak ditunjuk oleh Pasangan Calon. Namun, boleh ada tim Kampanye yang tidak dibentuk oleh Pasangan Calon, dalam hal ini untuk tim di luar tim Kampanye tingkat nasional.
Pasal 281 ayat (1) tidak menyebutkan siapa subjek normanya. Sejalan dengan pasal dan ayat-ayat di atasnya, kita asumsikan ketentuan ini juga menargetkan pelaksana dan/atau tim Kampanye. Ayat ini memang tidak melarang presiden untuk berkampanye. Ayat ini melarang pelaksana dan tim kampanye Pemilu mengajak presiden berkampanye, apabila keikutsertaan presiden dalam kampanye itu membuatnya sampai menggunakan fasilitas dalam jabatan kepresidenannya (kecuali sekadar fasilitas pengamanan). Juga ada kondisi lain yang dipersyaratkan, yakni selama kampanye itu, presiden harus menjalani cuti di luar tanggungan negara.
Pertanyaannya adalah: apakah cuti di luar tanggungan negara ini harus diambil sepenuhnya selama periode kampanye, atau cukup momentum-momentum tertentu saja? Pasal 281 ayat (2) UU Pemilu tidak memberi arahan, namun menyatakan bahwa cuti dan jadwal cuti dilaksanakan dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara.
Fokus perhatian kita terkait empat pasal yang memuat aturan larangan dalam kampanye terkait dengan presiden, sesungguhnya lebih jauh daripada hal-hal yang dibahas tadi. Fokus kita seharusnya ditujukan pada makna dari “dalam kampanye” yang dimaksud dari rangkaian pengaturan dalam empat pasal ini.
Pasal 282 dan 283 memuat subjek norma yang secara tegas menggunakan kata “pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya”. Apakah presiden termasuk dalam kelompok subjek norma ini? Jawaban terhadap pertanyaan ini bergantung pada cara kita menafsirkan kata “LAINNYA” yang melekat pada kata-kata “APARATUR SIPIL NEGARA”.
Menurut berbagai peraturan perundang-undangan, seperti dalam Undang-Undang Kepegawaian, Undang-Undang Keprotokolan, dan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, seorang presiden adalah pejabat negara. Artinya, jika kita membaca Pasal 282 dan 283 itu berhenti hanya sampai pada kata “pejabat negara” saja maka Presiden berarti ikut dilarang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud Pasal 282 dan 283. Namun, jika kata-kata “aparatur sipil negara LAINNYA” ini dimaknai sebagai satu kesatuan dengan pejabat negara, maka berarti yang dilarang adalah pejabat negara yang masih merangkap sebagai ASN.
Apakah seorang ASN dapat menjadi Presiden? Menurut Pasal 57 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, dibolehkan. Hanya saja, berdasarkan Pasal 59 ayat (3) dari undang-undang itu, ketika ASN tersebut mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi presiden, ia wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai pegawai ASN sejak ditetapkan sebagai calon. Dengan dasar pandangan demikian, maka Pasal 282 dan 283 UU Pemilu tidak bersinggungan dengan presiden sebagai pejabat negara karena pasal-pasal ini hanya berkenaan dengan pejabat negara tertentu yang masih berstatus ASN.
Namun, satu prinsip penting dalam melakukan penafsiran, adalah semua pemaknaan harus dilandasi iktikad baik. Prinsip ini dapat ditelusuri dari niat kita dalam menempatkan keseluruhan makna pasal-pasal yang dimaksud, yaitu apa filosofi dari larangan bagi ASN untuk dilarang terlibat dalam kampanye Pemilu. Lalu, juga harus dicermati di mana posisi seorang presiden dalam struktur kepegawaian ASN itu.
Perlu dicatat bahwa menurut Pasal 27 UU ASN, presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan yang menjadi pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN. Dengan posisi setinggi itu, presiden tentu dapat memberi arahan-arahan tertentu untuk kepentingan diri atau pihak tertentu dalam konstestasi politik selama Pemilu. Kerentanan terhadap penyalahgunaan kewenangan menjadi sangat tinggi. Oleh sebab itu, presiden diharapkan untuk menjaga sikap dan perilakunya untuk tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan kampanye Pemilu. Dia wajib untuk membiarkan penyelenggara Pemilu bekerja secara independen. Hal ini merupakan bagian dari misi yang melekat pada tugas kepresidenan yang diembannya, bahwa ia wajib memastikan terjadinya transisi kepemimpinan yang berjalan mulus melalui Pemilu yang terlegitimasi di mata publik, baik di lingkup nasional maupun internasional.
Atas dasar pemikiran demikian, keikutsertaan presiden dalam kampanye hanya dapat diterima secara etis dan akal sehat (harap dibaca keduanya sebagai satu kesatuan), apabila ia memang memiliki kepentingan [yang tentu saja juga harus dibenarkan secara etis dan akal sehat] untuk ikut serta dalam kampanye pemilu. Satu-satunya kepentingan itu adalah apabila presiden adalah peserta pemilu yang memang sedang berkompetisi memperebutkan jabatan untuk periode berikutnya. Dalam posisi demikian, sangat wajar apabila ia berkampanye untuk dirinya sendiri. Kemungkinan lain adalah jika ia berkampanye untuk calon dari partai politiknya sendiri. Praktik demikian juga dapat diterima dalam akal sehat kita. Apabila dua kondisi ini sama sekali tidak dapat ditunjukkannya, maka sulit bagi kita untuk menerima sikap dan perilaku partisan seorang presiden selama masa kampanye Pemilu. Pertimbangan etis dan akal sehat kita akan mempertanyakan, apa tujuan dari keterlibatan seorang pejabat negara sekelas presiden untuk berkampanye yang bukan sebagai peserta Pemilu atau bukan sebagai anggota partai politiknya sendiri?
Adakah ada motif lain yang lebih etis dan masuk akal daripada itu? Rasanya tidak! Lain halnya, apabila presiden ingin menciptakan preseden yang sulit diterima secara etis dan akal sehat. Kita merindukan presiden-presiden baik yang beriktikad menciptakan preseden-preseden baik. Bukan sebaliknya! (***)