UJIAN DOKTOR TENTANG HAK KONSTITUSIONAL LANSIA
Pada tanggal 6 Januari 2024, bertempat di Balai Sidang Djokosoetono, Kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, berlangsung ujian promosi doktor atas nama Ari Wahyudi Hertanto. Promovendus adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Disertasi dari promovendus berjudul “Rekonseptualisasi Konstitusionalitas Manusia Lanjut Usia: Suatu Tinjauan Teori Hukum.” Dosen Jurusan Hukum Bisnis BINUS Shidarta, ikut menjadi anggota tim penguji.
Susunan tim penguji selengkapnya adalah: Prof. Dr. M.R. Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M. (ketua penguji), didampingi Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H. (promotor), Budidarmono, S.H., MSA, MCL, Ph.D., Dr. Jufrina Rizal, S.H., M.A. (para kopromotor), dan lima anggota penguji, yaitu Prof. Dr. Fitra Arsil, S.H., M.H., Shidarta (BINUS), Dr. Fatmawati, S.H., M.H., Dr. Fernando M. Manullang, S.H., M.H., dan Dr. Endyk M. Asror, S.H., M.H.
Shidarta dalam kesempatan tersebut mengajukan pertanyaan berkaitan dengan “fusion of horizons” yang digunakan oleh promovendus, berangkat dari pemikiran hermeneutika produktif ala Gadamer. Ia memulai pertanyaannya dengan mempersoalkan kondisi kekinian lansia di Indonesia yang harus dimaknai secara interseksi dengan makna teks UU No. 13 Tahun 1998, bahkan dengan UU sebelumnya yaitu UU No. 4 Tahun 1965. Menurut Shidarta, UU No. 4 Tahun 1965 itu mengatur tentang orang jompo, yang jika ditelisik maknanya mengacu ke “lanjut usia” yang tidak potensial. Sementara itu, menurut konsiderans menimbang dari UU No. 13 Tahun 1998, filosofi pengaturannya lebih ditujukan kepada lansia yang potensial, yakni bagaimana negara memberi bantuan peningkatan kesejahteraan sosialnya agar lansia punya kesempatan berperan dalam pembangunan karena hal itu diajarkan dalam nilai-nilai agama dan budaya. Dalam substansinya, UU ini memang mengatur pula perlindungan sosial bagi lansia yang tidak potensial. Makna teks “jompo” dan “lansia” ini secara hermeneutis harus dibaca secara interseksional antara makna menurut cakrawala tradisi kelampauan dan cakrawala kekinian.
Shidarta mengungkapkan cakrawala kekinian itu antara lain dengan mencermati data statistik lansia (sensus tahun 2022) di Indonesia yang kini berjumlah 10,48 persen dari penduduk (satu lansia dari setiap enam penduduk). Lansia perempuan juga lebih banyak daripada lansia pria (51,81% dan 48,19%), lansia di perkotaan lebih banyak daripada lansia di pedesaan (56,05% dan 49,95%). Ia juga menyebutkan kenyataan bahwa delapan provinsi yang memiliki jumlah lansia terbesar, yaitu Sumatera Barat, Lampung, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan. Secara persentase, Yogyakarta memiliki 16,69% penduduk lansia (tertinggi di Indonesia), dan terendah adalah Papua (5,02%).
Menurut Shidarta, kajian teori hukum yang memakai perspektif hermeneutika seharusnya dapat memotret bagaimana konseptualisasi konstitusionalitas teks lansia pada saat UU dibuat (suasana Indonesia baru saja menghadapi krisis ekonomi 1998) dan teks ketika UU itu ditafsirkan sekarang, berangkat dari fenomena kekinian Indonesia, seperti antara lain ditunjukkan dari data statistik tersebut. Hasil pembacaan “fusion of horizons” inilah yang ingin diketahui oleh penguji.
Hal lain yang ditanyakan oleh Shidarta adalah mengenai layanan dan bantuan di luar dan di dalam pengadilan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 UU No. 13 Tahun 1998. Hal yang konseptual yang dapat ditarik dari ketentuan pasal ini adalah bahwa lansia mungkin saja dapat menjadi faktor peringan atau faktor pemberat dalam penjatuhan pidana (dalam praktik peradilan Indonesia). Menurut pandangan promovendus, tolok ukur demikian belum dipakai dewasa ini karena hakim lebih mengacu ke jenis tindak pidananya. Shidarta mengatakan bahwa faktor umur sebenarnya juga kerap dipakai oleh hakim sebelum penentuan sanksi, tetapi untuk kelompok umur sebaliknya, yakni dengan menyatakan usia terdakwa yang masih muda sebagai faktor yang meringankan. (***)