People Innovation Excellence

CHERRY-PICKING JURISPRUDENCE DALAM PUTUSAN PENGADILAN

Oleh SHIDARTA (Oktober 2023)

Pada saat Hakim Konstitusi Saldi Isra membacakan dissenting opinion-nya dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, ia menyebut istilah “cherry-picking jurisprudence.” Ia mensinyalir sebagian rekannya di Mahkamah Konstitusi tidak konsisten dalam menentukan kriteria peraturan mana saja yang harus diserahkan ke pembentuk undang-undang sebagai open legal policy! Lengkapnya ia mengatakan sebagai berikut:

“… Mahkamah sudah seharusnya berpegang teguh pada pendekatan ini dan tidak seakan-akan memilah-milih mana yang dapat dijadikan opened legal policy dan memutuskannya tanpa argumentasi dan legal reasoning yang jelas serta berubah-ubah. Jika hal demikian terjadi maka penentuan opened legal policy oleh Mahkamah seperti menjadi cherry-picking jurisprudence, sebagaimana terlihat dari ketidakkonsistenan pendapat sebagian Hakim yang berubah seketika dalam menjawab pokok permasalahan dalam beberapa permohonan yang serupa seperti diuraikan di atas.”

Terminologi “cherry-picking” ini serta-merta mengingatkan saya pada tokoh realis Amerika bernama Jerome Frank. Konon, ia pernah berkata (note: ada yang mengatakan bahwa Frank sesungguhnya tidak pernah benar-benar membuat pernyataan ini) bahwa hakim itu dapat melahirkan putusan bertolak dari faktor-faktor sepele, termasuk apa sarapan paginya. Sinisme ini memunculkan sebutan “breakfast jurisprudence”. 

Namun, istilah lain “cherry-picking jurisprudence” tidak identik dengan itu, walaupun pada titik tertentu ada irisannya. Cherry-picking jurisprudence pada hakikatnya mengarah pada tudingan yang sama bahwa hakim itu sebenarnya sangat subjektif dalam membuat keputusan. Mirip seperti pemetik buah cherry, hakim seperti itu memilih-milih mana data atau informasi yang bisa diambilnya sebagai argumentasi yang sejalan dengan amar putusan yang menjadi keinginannya semula. Cherry-picking sangat berpotensi menjadi kesesatan bernalar (fallacy) apabila tindakan memilih-milih data/informasi tadi didasarkan pada iktikad untuk memenangkan salah satu pihak dalam perkara yang ditanganinya, padahal argumentasi tersebut tidak didukung oleh alat bukti yang kuat. Hakim ini tahu ada argumentasi lain yang lebih kuat, tetapi justru diabaikan demi sikap keberpihakannya (untuk memenangkan salah satu pihak). Dalam situasi demikian, cherry-picking fallacy merupakan pelanggaran kode etik yang serius.

Jika kita membaca putusan pengadilan, maka kita biasanya membayangkan para hakim yang mengeluarkan putusan tersebut menggunakan penalaran linear. Artinya, penalaran dilakukan tahap demi tahap dengan menggunakan logika yang runtut. Amar putusan harus diletakkan di bagian paling akhir dari putusan, mengingat amar ini merupakan konsekuensi dari semua tahapan penalaran yang mendahuluinya. Hakim mendasarkan pandangannya pada premis-premis dalam suatu silogisme. Premis mayor menjadi proposisi paling menentukan karena diturunkan langsung dari ketentuan normatif yang diyakini sudah benar dengan sendirinya (self-evident), dan hakim adalah “otomat subsumsi” belaka. Dalam silogisme selalu ingin dikesankan bahwa subjektivitas hakim tidak mendapat tempat.

Namun, apakah hakim memang selalu berpikir linear? Mungkinkah hakim justru berpikir regresif, yakni menentukan terlebih dulu amarnya dan baru kemudian mencari-cari alasan (pertimbangan) yang bakal mendukung amar itu?

Hal ini tak dapat dihindari karena hakim tentu tidak hanya bekerja dengan rasionya. Ia juga mahluk yang memiliki emosi dan intuisi. Oleh sebab itu, tidak mungkin ada mekanisme yang dapat mencegah gaya bernalar regresif ini untuk terjadi di dalam praktik. Ahli hukum Belanda J.A. Pontier dalam bukunya “Penemuan Hukum” (diterjemahkan oleh Bernard Arief Sidharta) juga menerima kemungkinan demikian. Namun, ia menyebut bahwa setiap putusan pada akhirnya harus dapat disajikan dengan pertimbangan yang cukup. Putusan demikian disebut sebagai motivering vonnis. Sebuah klaim motivering itu akan cacat apabila isi pertimbangan putusan itu sendiri sulit dipahami (tidak logis). Hal ini dapat terjadi antara lain karena hakim menggunakan dukungan data/informasi yang justru saling bertentangan. Bisa juga terjadi hakim membuat pertimbangan yang membuka celah lebar untuk ditafsirkan secara berbeda-beda, sedangkan di sisi lain ia membiarkan hal itu tanpa memuat penjelasan yang cukup di dalam putusannya.

Dengan demikian, cherry-picking jurisprudence tidak sekadar bernalar regresif. Sisi negatifnya tidak terletak pada regresivitas tersebut. Sisi buruk itu baru muncul tatkala cherry-picking jurisprudence berganti baju menjadi kesesatan bernalar. Kesesatan itu didorong oleh iktikad buruk untuk sengaja menyembunyikan data/informasi dari alat bukti yang sebenarnya lebih argumentatif.

Di luar persoalan kesesatan bernalar, ada problem serius yang diakibatkan oleh cherry-picking jurisprudence. Persis seperti disinggung oleh Saldi Isra, pengambilan keputusan bergaya memetik buah cherry ini cenderung akan menghasilkan keputusan yang mudah berubah-ubah. Keputusan yang inkonsisten dalam waktu singkat seperti itu dikecam oleh Lon L. Fuller sebagai pelanggaran terhadap prinsip nomor tujuh dari delapan prinsip legalitas (principles of legality) yang dikemukakannya. Prinsip legalitas di sini (harap jangan identikkan dengan asas legalitas dalam hukum pidana yang berkonotasi lebih sempit) merupakan moralitas hukum internal (inner morality of law). Apabila suatu ketentuan normatif terlalu sering diubah oleh pengambil keputusan, maka hal itu pasti akan berdampak buruk bagi pihak-pihak yang menjadi sasaran norma itu karena mereka harus mengikuti kondisi-kondisi norma yang bergonta-ganti. Fuller sebagai penganut aliran hukum kodrat, mengingatkan bahwa jika moralitas hukum internal ini sampai dicederai oleh hukum positif, maka hukum positif itu tidak sah dan dengan sendirinya kebatalan itu membuatnya tidak memiliki daya mengikat apapun. (***)


 


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close