ASAS UNA VIA DALAM PENERAPANNYA
Oleh SHIDARTA (September 2023)
Kata “una via” kerap muncul dalam bahasa Latin atau Spanyol yang berarti “satu cara” atau “satu arah” (one way; a route). Kata ini ternyata menjadi asas hukum di dalam bidang hukum pajak, yang pada hakikatnya berarti suatu pelanggaran yang sama tidak dapat dituntut dan dihukum lebih dari satu kali. Asas “una via” pada hakikatnya memiliki kesamaan dengan asas “ne bis in idem” yang bermakna kurang lebih sama bahwa tidak boleh ada tambahan hukuman di dalam satu kasus yang sama.
Menarik untuk kita cermati, bahwa asas ini ternyata tidak ditemukan sebagai lema (entry) di dalam Black’s Law Dictionary. Lema yang tersedia adalah “una voce” yang bermakna “dengan satu suara, aklamasi, tanpa tentangan” (with one voice; unanimously; without dissent).
Dalam hukum pajak, asas “una via” ini biasanya ditujukan untuk menegaskan sikap yang ingin menghindari penghukuman berganda, baik dalam rezim hukum yang sama atau berbeda. Pelanggaran hukum pajak bersinggungan erat dengan hukum administrasi dan hukum pidana. Jadi, tidak diperkenankan untuk memberi penghukuman pidana dan/atau administrasi sebagai hukuman ganda, apabila salah satu sudah dikenakan terlebih dulu.
Hukuman administratif dikenakan kepada wajib pajak berupa sanksi denda, sanksi bunga, dan sanksi kenaikan. Dalam hal wajib pajak (perorangan atau badan) terlambat melaporkan SPT Masa PPh, misalnya, maka ia dapat dikenakan sanksi denda. Sanksi bunga jika diperhatikan, sebenarnya dapat dikualifikasikan sebagai bagian dari denda juga karena dikenakan terhadap wajib pajak yang membayar pajaknya lewat dari tanggal jatuh tempo, misalnya 2% per bulan. Dan, ini dapat dianggap sebagai “denda keterlambatan,” tetapi cara perhitungannya saja yang berbeda dengan sanksi denda pada umumnya. Apabila wajib pajak melakukan kecurangan, seperti memanipulasi data, maka ia dapat dikenakan sanksi kenaikan pada jumlah nilai pajaknya, biasanya mencapai dua kali lipat dari nilai pajak yang digelapkannya itu.
Di luar sanksi administratif, juga dimungkinkan ada sanksi pidana. Manipulasi data dengan cara memalsukan atau mengubah data perpajakan adalah suatu tindak pidana. Tadi saya menyebut kata “digelapkan” yang berarti di luar tindak pidana khusus di dalam hukum perpajakan, sebenarnya aparat penegak hukum punya alternatif juga untuk menjerat pelakunya dengan menggunakan aturan tindak pidana umum, seperti pasal penggelapan (seandainya belum ada lex specialis di dalam undang-undang perpajakan). Sanksi pidana atas tindak pidana tersebut dapat berupa kurungan, penjara, dan denda. Perlu dicatat bahwa sanksi pidana di sini seharusnya diposisikan sebagai ultimum remedium (the last resort).
Putusan-putusan hakim di pengadilan pajak kerap menyinggung asas “una via” ini guna memastikan bahwa tidak ada penjatuhan sanksi berkali-kali atas satu kasus pelanggaran. Memang dapat saja terjadi suatu perkara dihadirkan kembali dengan dalih sebagai kasus baru. Untuk itu, hakim perlu memastikan bahwa kasus-kasus itu memang berlainan. Seandainya ada irisan satu sama lain, maka irisan itu tidak boleh secara signifikan memperlihatkan kasus-kasus itu layak dipandang sebagai satu perkara yang sama. Hakim yang menangani suatu perkara yang sebelumnya sudah selesai diputus, menunjukkan ia tidak profesional dan melanggar beberapa asas sekaligus. Tidak hanya asas “una via” (ne bis in idem) tetapi juga asas “litis finiri oportet.” Terlebih-lebih apabila akibat putusannya itu membuat terjadi disparitas putusan, yang pada gilirannya bakal meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap wibawa peradilan
Dalam beberapa putusan kasasi kasus-kasus perpajakan yang membatalkan putusan hakim pengadilan pajak, ditemukan kutipan pertimbangan “majelis hakim agung” (istilah yang ditemukan dalam putusan) sebagai berikut:
Dengan demikian Majelis Hakim Agung berpendapat untuk membatalkan kembali putusan a quo dan mengadili kembali, karena dari aspek hukum administrasi ternyata terdapat ketidaksesuaian dalam melakukan prosedural hukum maka dalam mengedepankan judicial activism Majelis Hakim Agung berpandangan untuk menegakkan asas pilihan hukum apabila terjadi benturan kaidah hukum substansif dengan kaidah hukum formal yang bersifat secara kasuistis, dalam rangka untk mewujudkan kepastian hukum dan keadilan hukum seseorang, maka Hakim wajib mengedepankan moral justice untuk menempatkan asas iktikad baik dan asas Una Via guna memilih salah satu cabang hukum yang lebih memiliki dan memihak pada rasa keadilan yang hakiki dengan tidak meninggalkan dari tujuan hukum, yang utamanya harus melakukan kaidah harmonisasi hukum antara rechtmatigheid beginsel dan doelmatigheid beginsel, yaitu bahwa …dst.
- Asas “una via” berkenaan dengan kebutuhan menegakkan asas pilihan hukum dalam hal terjadi benturan kaidah hukum substantif dengan kaidah hukum formal yang bersifat kasuististis.
- Pilihan hukum dalam asas “una via” itu dilakukan dengan cara memilih salah satu cabang hukum yang lebih memiliki dan memihak rasa keadilan yang hakiki.
- Asas “una via” (bersama dengan asas iktikad baik) diletakkan atas keinginan hakim mengedepankan keadilan moral (moral justice)sebagai keadilan yang hakiki, tanpa meninggalkan tujuan hukum kepastian (rechtmatig) dan kemanfaatan (doelmatig).
Mari kita berikan beberapa catatan kecil. Untuk butir pertama, benturan kaidah yang dimaksud seharusnya tidak mutlak harus antara kaidah hukum substantif dan kaidah hukum formal. Benturan dapat terjadi di antara berbagai aturan normatif. Asas hukum memang antara lain berfungsi untuk menjadi pemberi solusi (legal remedies) terhadap benturan-benturan normatif dalam tataran aturan (rules).
Butir pertama di atas berpotensi menimbulkan kebingungan karena kaidah hukum formal itu pada dasarnya dibuat dalam rangka menegakkan kaidah hukum substansial. Saya menangkap maksud dari kalimat itu sebagai benturan antara hukum material dan hukum acara. Jika benar tangkapan saya, berarti butir pertama ini menunjukkan preferensi hakim untuk memilih hukum acara (hukum formal). Apalagi ditambah dengan kata-kata “… yang bersifat kasuistis.”
Benarkah bahwa jika hukum substansial dan hukum formal berbenturan, jalan keluarnya adalah memenangkan hukum formal? Apabila hukum acara diposisikan sebagai hukum yang lebih sekunder daripada hukum material, maka jelas hukum substansial itulah yang seharusnya lebih layak dijadikan rujukan. Apalagi jika tujuan yang ingin dikedepankan adalah keadilan moral yang dipandang sebagai tujuan hukum yang hakiki. Hal ini tersambung dengan butir kedua dan ketiga dari catatan di atas.
Asas “una via” sesungguhnya tidak ada urusannya dengan cabang hukum mana yang harus diprioritaskan tatkala hakim harus melakukan pilihan sikap. Tidak ada keharusan bahwa hukum acara harus dimenangkan daripada hukum substansial, atau sebaliknya. Dapat terjadi bahwa hukum substansial memang sudah memiliki kelemahan sejak perumusannya, sehingga dibuatlah prosedur untuk menutupi kelemahan itu. Secara teori tentu ini tidak tepat, tetapi dalam penerapan hukum, fenomena seperti itu sangat mungkin terjadi. Oleh sebab itu perlu ada tolok ukur yang memberi pedoman dalam pemilihan satu cabang atau rezim hukum yang dipakai, agar seseorang tidak boleh menerima hukuman ganda atas satu kasus yang sama.
Panduan yang penting adalah asas “in dubio pro reo” atau “in dubio contra fiscum” yang bermakna dalam keragu-raguan (harus memilih) maka jatuhkan pilihan pada ketentuan normatif yang lebih menguntungkan pihak yang lebih lemah, dalam hal ini wajib pajak. Sebaliknya, jangan menambah beban membayar pajak bagi wajib pajak. (***)