PENALARAN HUKUM DALAM ARREST PENCURIAN LISTRIK (PUTUSAN HR 23 MEI 1921)
Oleh SHIDARTA (September 2023)
Pencurian listrik termasuk tindak pidana yang banyak terjadi di Indonesia. Apabila kata kunci “pencurian listrik” dimasukkan dalam direktori putusan di situs resmi Mahkamah Agung, maka akan muncul lebih dari 314.000 data berkenaan dengan kata kunci itu. Tampaknya tidak ada lagi keraguan untuk menyatakan bahwa tindakan seseorang mengambil energi listrik yang bukan haknya adalah sebagai tindak pidana pencurian. Note: dalam terminologi hukum di Indonesia, kata “energi listrik” ini dapat diterjemahkan menjadi “tenaga listrik” (sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan).
Tindak pidana pencurian terutama diatur dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini pernah mencatat sejarah ketika dikenakan terhadap seorang warga kota ‘s-Gravenhage (baca: Sghravenhaghe) di Negeri Belanda. Kasusnya bermula pada tahun 1918 ketika seorang warga memasukkan pena pada meteran listrik di rumahnya. Dengan perbuatan itu, ia berhasil memanfaatkan aliran energi listrik di rumahnya tanpa harus membayar ke Pemerintah Kotamadya s-Gravenhage. Apakah perbuatan memasukkan pena di meteran listrik ini merupakan tindakan “mengambil barang sesuatu milik orang lain secara melawan hukum”? Di situlah kunci perdebatannya baik di pengadilan tingkat pertama (Rechtsbank), tingkat banding (Gerechtshof), dan tingkat kasasi (Hoge Raad) Belanda, yang berujung pada putusan final yakni Arrest HR tanggal 23 Mei 1921. Dasar hukum yang dikenakan adalah Pasal 310 Wetboek van Strafrecht (KUHP Belanda) yang isinya sama dengan Pasal 362 KUHP Indonesia.
Saya mendapatkan terjemahan salinan arrest tersebut dari guru saya Prof. Dr. Bernard Arief Sidharta, S.H. di Program Doktor Hukum Universitas Parahyangan sekitar lima belas tahun lalu. Dalam tulisan singkat ini, saya akan mengutip beberapa poin dari pertimbangan arrest tersebut. Pada bagian akhir tulisan ini, saya akan mengulasnya dengan mengambil sisi penalaran hukumnya.
- Bahwa terlepas dari pertanyaan apa yang dimaksud dengan pengertian energi listrik, terhadapnya kita tidak dapat menolak keberadaannya secara mandiri.
- Bahwa sekalipun keberadaan energi listrik tersebut hanya mungkin dipastikan dalam perkaitan dengan benda berwujud, energi itu melalui tindakan atau perlakuan oleh manusia dapat dipindahkan pada barang lain, bahkan dapat diakumulasikan.
- Bahwa lebih lanjut energi ini dapat dibangkitkan oleh/melalui tindakan (intervensi) manusia yang dapat disediakan (untuk didayagunakan) bagi mereka, yang (pertama kali) membangkitkannya.
- Bahwa bagi mereka itu, energi tersebut memiliki nilai, pada satu pihak karena dalam rangka perolehannya ditanamkan upaya/kerja serta berbagai kesulitan (‘kosten en moeite’ dalam bentuk riset dan pengembangan), pada lain pihak karena mereka itu mungkin, baik untuk menggunakan energi tersebut untuk keuntungan dirinya sendiri, maupun atas dasar untuk suatu imbalan mengalihkannya kepada orang-orang lain.
- Bahwa mengingat ketentuan Pasal 310 WvS dimaksudkan untuk melindungi kekayaan orang lain dan juga bertujuan menetapkan sebagai perbuatan yang dapat dipidana tindakan mengambil “suatu barang” (enig goed) dengan cara-cara sebagaimana dirumuskan di dalamnya, tanpa menggunakan lebih rinci apa yang diartikan ke dalam “enig goed,” maka atas dasar karakteristik yang diuraikan di atas, pasal ini juga dapat diterapkan terhadap energi listrik.
- Bahwa karena Rechtsbank (instansi pertama) dan Hof (instansi banding) secara tepat mengandalkan kemungkinan pencurian energi listrik atas dasar bahwa energi tersebut merupakan objek dari kekayaan atau harta (vermogensobject); istilah “vermogensobject” di sini harus diartikan secara sempit, agar ke dalamnya tidak sekaligus tercakup hak-hak atas kekayaan intelektual, misalnya hak cipta atau paten.
- Bahwa cara bagaimana Pemohon Kasasi mengambil untuk dimilikinya energi listrik milik Kotamadya ‘s-Gravenhage mengkarakterisasi tindakannya tersebut sebagai pencurian.
- Bahwa energi listrik yang kita temukan dalam persambungan-persambungan (kabel dan benda-benda listrik) tetap ada bawah kekuasaan Kotamadya dimaksud dan bahwa energi ini berpindah terlebih dulu ke bawah kekuasaan Pemohon Kasasi seketika ia menyalakan lampu atau motor listrik.
- Bahwa benar bahwa Kotamadya membuka kemungkinan bagi Pemohon Kasasi untuk tanpa kerja sama Kotamadya memunculkan persambungan tersebut, namun demikian tidak mengubah fakta bahwa adalah melalui tindakan menyalakan lampu atau motor listrik tersebut, maka energi yang pada mulanya berada di bawah kekuasaan Kotamadya berpindah ke bawah kekuasaannya.
- Bahwa Kotamadya, sewaktu membuka kemungkinan mengambil energi tersebut, sekaligus memberikan kepadanya hak, yang namun demikian dikaitkan dengan pernyataan tertentu dan [bahwa] tindakan mengambil (memiliki) energi tersebut dengan cara-cara bertentangan dengan persyaratan yang telah ditetapkan, memunculkan tindakan memiliki [barang orang lain] secara melawan hukum (wederrechtelijke toeeigening).
Sekarang, mari kita analisis penalaran hukum yang diperagakan oleh Hoge Raad tersebut. Unsur yang paling kontroversial adalah unsur barang menurut Pasal 310 WvS yang ingin dipastikan oleh HR sebagai “telah terpenuhi” melalui perbuatan terdakwa dengan cara memasukkan pena di meteran listrik rumahnya. Apakah listrik adalah “suatu barang” (enig goed)?
Sejumlah propoosisi yang muncul dalam pertimbangan putusan tersebut adalah sebagai berikut.
- suatu barang memiliki keberadaan (eksis) secara mandiri;
- suatu barang adalah objek dari harta kekayaan (vermogensobject), yakni dapat dimiliki oleh seseorang;
- suatu barang memiliki nilai [ekonomis] karena diperoleh melalui upaya dan kesulitan tertentu serta mendatangkan imbalan/keuntungan; dan
- suatu barang dapat dialihkan kepada orang lain, yaitu dipindahkan ke bawah kekuasaan pihak lain.
Biasanya poin nomor 1 dan 3 saja yang dianggap mengemuka dalam putusan itu, yaitu bahwa energi listrik adalah barang karena ia memiliki keberadaan yang mandiri dan bernilai tertentu (elektrische energie heeft zelfstandig bestaan en vertegenwoordigt bepaalde waarde). Saya memperluas menjadi empat poin di atas.
Keberadaan secara mandiri di atas bermakna bahwa sesuatu itu harus dapat dihadirkan sebagai objek yang terpisah dari objek lainnya di dalam suatu hubungan hukum. Paling tidak, keterpisahan itu ada secara konseptual. Hal ini penting karena untuk dapat menjadi objek dalam sebuah hubungan hukum, misalnya dalam jual beli, sewa-menyewa, atau tukar-menukar, hal tertentu itu harus bersifat mandiri. Oleh karena sesuatu itu memiliki keberadaan secara mandiri, maka mengambil sesuatu itu saja, harus sudah dapat dianggap sebagai mengambil barang.
Suatu barang itu harus memiliki nilai. HR Belanda, di dalam pertimbangannya, tidak menyebut makna nilai di sini sebagai nilai ekonomis, tetapi kita dapat menangkap ide tentang nilai ini sebagai nilai ekonomis. Hal ini jelas dari keterkaitannya dengan kata keuntungan dan imbalan apabila barang tersebut dimanfaatkan sendiri (sebagaimana diperbuat oleh pelaku tindak pidana di dalam kasus ini) dan/atau dialihkan kepada pihak lain (sebagaimana dilakukan oleh/dari Kotamadya ‘s-Gravenhage kepada warganya). Dialihkan di sini berarti dipindahkan kekuasaan kepemilikan dan/atau pengendaliannya berdasarkan suatu hubungan hukum, misalnya perjanjian jual-beli energi listrik. Dialihkan juga dapat diartikan disalurkan atau diakumulasikan. Penyalurannya tertuju ke berbagai benda lain pada tempat-tempat berbeda (misalnya dari stasiun pembangkit ke lampu-lampu di rumah warga).
Dengan menggunakan tiga proposisi di atas, kita dapat membangun satu premis yang lebih lengkap untuk mendefinisikan suatu barang menurut Pasal 310 WvS. Setiap objek dari harta kekayaaan yang memiliki keberadaan secara mandiri, bernilai ekonomis, dan dapat dialihkan kepada benda/pihak lain adalah suatu barang menurut Pasal 310 WvS.
Bagaimana dengan energi listrik? Energi listrik adalah objek dari harta kekayaan yang memiliki keberadaan secara mandiri, bernilai ekonomis, dan dapat dialihkan kepada benda/pihak lain.
Bagaimana konklusinya? Kesimpulan dari silogisme di atas adalah bahwa energi listrik adalah suatu barang menurut Pasal 310 WvS.
Dalam setiap silogisme kategoris, premis mayor berisi terma medium atau terma tengah (M) dan terma predicatum (P). Premis minor memuat terma subjectum (S) dan terma medium (M). Konklusi memuat terma subjectum (S) dan terma predicatum (P). Unsur yang mau dijelaskan oleh majelis hakim terletak pada terma predicatum tersebut, sehingga ia menempati posisi sebagai definiendum. Namun, frasa penjelasannya (definiens) terdapat pada terma medium (M). Terma yang ada di tengah inilah yang merupakan hasil kreativitas majelis hakim dalam arrest tersebut. Terma tengah ini selalu muncul dua kali, yaitu pada premis mayor dan premis minor.
Kaidah penemuan hukum yang dikreasikan dalam silogisme tersebut dirumuskan pada premis mayor, berbunyi: “Barang menurut Pasal 310 WvS adalah setiap objek dari harta kekayaan yang memiliki keberadaan secara mandiri, bernilai ekonomis, dan dapat dialihkan kepada benda/pihak lain.” Definisi di atas semula memang ditujukan untuk mengartikan definiendum pada kata “suatu barang” (enig goed) dalam kaitannya dengan perkara pencurian energi (tenaga) listrik yang secara kasuistis terjadi pada tahun 1918 di ‘s-Gravenhage, tetapi definisi tadi berkontribusi untuk menuntun kita memahami makna kata tadi untuk semua kasus serupa yang terjadi selanjutnya. Di sinilah letak ekspektasi kita terhadap penalaran hukum yang terkandung dalam putusan-putusan pengadilan.
HR Belanda menyebut-nyebut istilah pemberian arti secara sempit (restriktif) untuk istilah “vergomensobject” pada kasus tersebut, dengan dalih bahwa kata “vermogen” di atas tidak mencakup hak kekayaan intelektual, yang di dalam hukum benda dikategorikan sebagai benda tidak berwujud. Saya menduga, maksud “diartikan secara sempit” itu dalam arti keluasan (ekstensi) bendanya saja, yakni tidak dalam arti sekaligus benda berwujud dan tidak berwujud. Listrik dimasukkannya ke dalam kategori benda berwujud. Namun, apabila dilihat dari sisi lain, ternyata denotasi benda itu justru telah diperluas, yakni dari semula belum definitif mencakup energi listrik, maka terhitung sejak 23 Mei 1921 sudah mencakup energi listrik. Dari sisi ini, penemuan hukumnya sebenarnya tidak berupa penafsiran restriktif, tetapi justru ekstensif.
Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 memaknai tenaga listrik sebagai suatu bentuk energi sekunder yang dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk segala macam keperluan, tetapi tidak meliputi listrik yang dipakai untuk komunikasi, elektronika, atau
isyarat. Di sini terlihat bahwa denotasi dari energi listrik dipersempit dalam undang-undang tersebut. Pasal 2 butir 2 itu menitikberatkan pada bentuk (sebagai energi sekunder) dan proses pengadaan dan pemanfaatannya (dibangkitkan, ditransmisi, didistribusikan). Pengadilan di Indonesia dapat saja menambahkan karakteristik seperti dalam undang-undang itu dan memasukkannya ke dalam definens. Namun, perlu diingat bahwa makin banyak intensi dimasukkan ke dalam definiens, maka ekstensinya akan menyempit. Khusus untuk keperluan pemidanaan bagi pelaku pencurian energi (tenaga) listrik, kiranya yurisprudensi yang dibuat dalam Arrest HR tanggal 23 Mei 1921 tersebut sudah sangat memadai.
Namun, kepadaan (kecukupan) unsur-unsur tindak pidana pencurian itu ternyata masih disangsikan oleh sejumlah ahli hukum di Belanda. B. Taverne menganggap kasus itu lebih tepat dikenakan Pasal 350 WvS (perusakan barang; zaaksbeschadiging). L. Besier memilih Pasal 325 WvA (penipuan; oplichting). Para penasihat hukum terdakwa di dalam pledooi kasus itu menyatakan terdakwa melanggar Pasal 321 WvS (penggelapan; verduistering). Demikian Bruggink menulis dalam catatan kaki nomor 14 pada halaman 90 bukunya yang berjudul “Rechtsreflecties: Grondbegrippen uit de Rechtstheorie” (1995). Pada akhirnya majelis hakim pada tiga tingkatan pengadilan mengakui Pasal 310 WvS lebih tepat, yang bahkan membuat putusan listrik (elektriciteitsarrest) ini sebagai yurisprudensi (Nederlandse Jurisprudentie /NJ 1921, 564).
Pengadilan di Indonesia pun sudah sejak lama mengkualifikasi energi listrik ke dalam unsur [suatu] barang. Bahkan, subjek normanya pun tidak hanya menyasar orang perseorangan. Dalam beberapa kasus, apabila pencurian dilakukan oleh badan usaha, maka pengurus badan usaha itulah dijadikan sebagai terdakwa karena melakukan tindak pidana “secara berturut-turut sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya”. Dulu tindak pidana ini diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan junctis Pasal 363 ayat (1) ke-4 juncto Pasal 64 KUHP, sehingga seharusnya [setidaknya di atas kertas] ada peluang untuk dijatuhi pidana penjara. Setelah perubahan Undang-Undang Ketenagalistrikan, hal ini diatur dengan perubahan redaksional di dalam Pasal 51 ayat (3) juncto Pasal 55 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009. Menurut Pasal 51 ayat (3) undang-undang yang lebih baru ini: “Setiap orang yang menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah.” Namun, untuk pelaku berupa badan usaha, dinyatakan di dalam Pasal 55 ayat (2), bahwa ancaman pidana yang dikenakan berupa denda maksimal ditambah sepertiganya. (***)