People Innovation Excellence

MENJARAH SEJARAH

Oleh SHIDARTA (Agustus 2023)

Ketika saya bertandang ke Kampus Universitas Sriwijaya di Bukit Lama Palembang, tanggal 12 Juli 2023, saya bertanya. Iseng saja! “Mengapa ada Universitas Sriwijaya, tetapi tidak ada Universitas Majapahit?” Pertanyaan gurauan ini disambut gelak tawa teman-teman yang hadir pada pertemuan itu. Belakangan, saya temukan ternyata ada juga label “Majapahit” dilekatkan pada sebuah perguruan tinggi swasta di Mojokerto.

Tentu pilihan nama-nama tersebut berkonotasi pada penghormatan atas keagungan historis. Ada perguruan tinggi negeri bernama Universitas Gadjah Mada, tetapi tidak ada perguruan tinggi negeri bernama Universitas Hayam Wuruk. Atau, ada Universitas Hasanuddin, tetapi tidak ada Universitas Aru Palaka (Arung Palakka).

Sejarah itu unik. Ia bersifat ideografis. Tatkala metode sejarah dipakai untuk menganalisis fenomena hukum, maka keunikan demikian juga hadir. Nilai-nilai Pancasila, misalnya, dapat dicari pembuktiannya pada artefak-artefak sejarah Nusantara. Persoalan muncul, yakni harus ditarik sampai sejauh mana garis kesejarahan itu? Ibarat olahragawan pelompat jauh, kita harus menentukan mulai berlari dari titik-titik awal (starting points) tertentu guna memastikan lompatan kita mendapat skor tertinggi. Kita dapat saja mulai dari kerajaan Sriwijaya dengan mengutip teks-teks berbagai prasasti yang merekam sekuens-sekuens perjalanan kerajaan maritim tersebut. Sebelum Sriwijaya berdiri pun sebenarnya sudah banyak kerajaan eksis di Nusantara. Konon, raja pertama Sriwijaya adalah pelarian Mataram Kuno, sehingga titik berdiri kita untuk mulai menapaki penziarahan historis itu dapat digeser ke era lebih jauh lagi sebelumnya. Artinya, nilai-nilai Pancasila itu seharusnya tidak hanya melirik ke Sriwijaya dan Majapahit seakan-akan hanya dua era inilah yang paling representatif. Terkecuali apabila kita memang ingin berpikir simplistis, bahwa keluasan wilayah Sriwijaya dan Majapahit itulah yang mendekati teritori Indonesia saat ini, dan faktor ini pula yang membuat keduanya terpilih sebagai sampel kepancasilaan tersebut.

Dalam konteks berbicara tentang Pancasila, Yudi Latif (Wawasan Pancasila, 2018) tidak menarik tarikh sejarah terlalu jauh. Saat ia menyinggung wawasan kesejarahan Pancasila, ia menyebut fase perintisan itu pada era tahun 1920-an. Pada era inilah baru muncul bentuk-bentuk gagasan untuk mencari sintesis antarideologi dan gerakan seiring dengan “penemuan” Indonesia sebagai kode kebangsaan bersama (civic nationalism).

Kuntowijoyo (Metodologi Sejarah, 1994) mencatat bahwa histografi Indonesia modern baru dimulai sekitar tahun 1957, yaitu saat diselenggarakannya pertama kali seminar sejarah nasional Indonesia di Yogyakarta. Ini berarti, terhitung saat itu penulisan sejarah Indonesia menemukan momentum kesadaran yang baru untuk keluar dari tradisi penulisan yang Eropa-sentris menuju ke Asia-sentris, bahkan menuju ke nasionalisasi histrografi Indonesia. Mengingat kesadaran historis ini masih terbilang muda, maka tidak heran kesadaran tentang sejarah Indonesia belum benar-benar kuat tertanam dalam alam bawah sadar bangsa kita. Sejarah Indonesia, khususnya yang hadir sebelum kedatangan bangsa Eropa, malahan masih kental bercampur mitos-mitos. Mirip seperti kita menonton film Damarwulan atau Saursepuh.

Hal ini menggelisahkan banyak tokoh yang memiliki kesadaran sejarah. Dalam pidato terakhirnya sebagai Presiden RI, pada tanggal 17 Agustus 1966, Soekarno mengingatkan bangsa Indonesia untuk jangan sekali-kali meninggalkan (bukan “melupakan”) sejarah. Budayawan Soedjatmiko (Kebudayaan Sosialis, 2001) bahkan menilai bangsa Indonesia belum memiliki kesadaran kesejarahan. Ia mensinyalir, kita adalah bangsa yang tidak memiliki rasa hayat historis (a-historische levengevoel). Padahal rasa-kala (tijds-gevoel) itu apabila tidak digerakkan, maka tidak ada rangsangan untuk bertanggung jawab langsung atas jalannya kejadian dan atas pilihan dan keputusan dalam menghadapi perkembangan kejadian-kejadian itu. Kejadian yang kita hadapi saat ini adalah sesuatu yang ditentukan oleh kelampauan. Soedjatmiko mengatakan, bahwa sadar akan kelampauan akan membebaskan kita dalam kekinian, dan bertanggung jawab untuk turut menentukan keakanan.

Apabila kita relasikan tesis Soedjatmiko itu dengan Pancasila, maka tampaknya kita memang perlu membangun rasa hayat historis ini. Namun, rasa hayat historis itu tidak boleh tebang pilih. Kita tidak boleh menjarah sejarah dengan membangun glorifikasi dengan meninggalkan beban untuk bertanggung jawab atas kerusakan yang telah terjadi. Sejarah selalu memiliki banyak sisi, tidak hanya hitam-putih.

Sebagai contoh, Sriwijaya memang pernah jaya. Namun, Sriwijaya juga pada akhirnya runtuh. Ia runtuh antara lain karena mulai dijauhi kerajaan-kerajaan taklukannya, termasuk maraknya pemberontakan. Salah seorang pemberontak terkenal bernama Kandra Kayet yang berhasil membunuh senapati Sriwijaya bernama Tandrun Luah. Prasasti Kotakapur di Pulau Bangka mencatat peristiwa tersebut dengan memberi ancaman kepada siapapun yang berani melawan Pemerintahan Sriwijaya. Dalam prasasti bertarikh 686 Masehi itu, digambarkan bagaimana nyawa Kandra Kayet pada akhirnya harus berakhir di tangan Raja Dapunta Hyang. Repotnya, kita tidak cukup diberi informasi mengapa Kandra Kayet sampai harus memberontak. Apakah nilai-nilai “Pancasila” yang kita klaim sudah dibangun sejak era Sriwijaya itu telah ditinggalkan oleh para penguasa pada masa itu? Apakah mungkin pemberontakan Kandra Kayet justru ingin menegakkan nilai-nilai “Pancasila” itu dan mengingatkan penguasa agar kembali ke khittahnya? Mungkinkah nasibnya mirip dengan garis tangan Aru Palaka yang terpaksa harus bekerja sama dengan Belanda demi membebaskan rakyat Bone-Soppeng dari jeratan kerja paksa Raja Gowa (Perang Makassar 1660-1669)? Sayang sekali, Kandra Kayet dan Aru Palaka tidak meninggalkan kita dengan prasasti atau biografi versi mereka sendiri.

“Sejarah ditulis oleh pemenang,” ujar Winston Churchill (1874-1965). Oleh sebab itu, upaya para penutur mencuplik sekuens-sekuens sejarah harus dilakukan dengan iktikad baik, ekstra hati-hati, dan bertanggung jawab. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, tetapi juga jangan sampai menjarah sejarah! Di sisi yang lain, apabila kita membaca suatu tuturan sejarah, maka kita mesti pula menyimaknya dengan penuh kekritisan. Sebab, sisi-sisi pragmatis dalam penuturan sejarah memang tidak terhindarkan! (***)



Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close