DOSEN HUKUM BINUS SEBAGAI AHLI DALAM KASUS WANAARTHA DAN WARIS
Pada 13 Maret 2023, dosen Business Law BINUS, Muhammad Reza Syariffudin Zaki menjadi Ahli dalam perkara asuransi Wanaartha. Sebelumnya Zaki sempat menjadi ahli di pengadilan niaga yang juga berkaitan dengan permohonan PKPU untuk membantu para nasabah Wanaartha agar mendapatkan keadilannya. Kasus yang sampai mendapatkan respon dari Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo ini terus melilit para nasabah karena tidak kunjung mendapatkan hasil positif dari pihak Wanaartha mengingat ada tujuh Pemegang Saham Pengendali yang lari ke luar negeri. Total kerugian dari kasus ini menelan hingga Rp 17 triliun.
Dalam perkara ini, para nasabah menggugat Perbuatan Melawan Hukum (PMH) bukan saja kepada pihak wanaartha, namun juga akuntan publik hingga OJK. Tentu saja harapannya agar ada mekanisme yang cepat dirasakan oleh para nasabah agar uang mereka dapat dikembalikan selain melalui jalur likuidasi yang disinyalir tidak independen dalam pelaksanaannya. Zaki menilai bahwa unsur-unsur PMH terpenuhi karena nasabah bisa membuktikan ada unsur kesalahan (schuld) disitu serta dampak kerugian yang dirasakan bahkan bisa diketahui oleh publik luas.
Pada kesempatan lain, pada tanggal 8 Juni 2023, Muhammad Reza Syariffudin Zaki juga menjadi ahli dalam kasus Pasal 263 KUHP pemalsuan surat waris. Kasusnya disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam hal ini terdapat kekeliruan dalam dakwaan dimana semestinya perkara ini bukan masuk dalam ranah pidana, melainkan perdata dikarenakan ini urusan internal keluarga yang diawali dari munculnya fatwa waris dari 2 Pengadilan Agama yang diterima oleh para pihak. Sehingga Zaki berpandangan bahwa dakwaan Jaksa seharusnya batal demi hukum dikarenakan tidak terpenuhinya syarat materil. Disamping itu juga jika kita mengacu kepada pendapat Sudikno Mertokusumo bahwa proses pidana adalah iltimum remedium dimana merupakan jalan terakhir, atau Zaki menyebutnya sebagai jalan terujung, bahkan Topo Santoso melabelinya dengan senjata pamungkas, ini menunjukan jika persoalan tersebut bisa diselesaikan dengan cara negosiasi, mediasi, perdata, atau administrasi, maka itu terlebih dahulu harus ditempuh. Jika kesemuanya tidak berhasil mencapai kesepakatan, barulah pidana dipilih dalam rangka menyelesaikan persoalan tersebut. (***)