People Innovation Excellence

PARADOKS DALAM PENALARAN HUKUM

Oleh SHIDARTA (Mei 2023)

Ini sebuah tulisan ringan tentang paradoks. Kata “paradoks,” menurut Mirriam-Webster Dictionary adalah pernyataan yang terlihat bertentangan dengan akal sehat, tetapi masih mungkin benar. Atau sebaliknya, suatu pernyataan yang sekilas benar, tetapi sebenarnya keliru.

Pada abad ke-6 Sebelum Masehi, seorang filusf dari Kreta, Yunani, bernama Epimenides pernah berkata, “Semua orang Kreta itu pembohong!” Apakah perkataannya harus dibenarkan atau disalahkan? Jika pernyataan ini dianggap benar, maka berarti apapun yang dikatakan oleh orang Kreta, termasuk Epimenides, adalah bohong belaka. Dengan perkataan lain, pernyataan “Semua orang Kreta itu pembohong” juga tidak benar. Namun,dua kesimpulan yang bertolak belakang itu akan membingungkan karena kita dibuat ragu tentang apakah pernyataan Epimenides itu benar atau tidak benar? Ini sebuah paradoks.

“Semua aturan memiliki pengecualian” dapat juga disebut sebagai paradoks. Hal ini terjadi karena apabila pernyataan itu dianggap benar, maka aturan yang berbunyi “semua aturan memiliki pengecualian” adalah juga aturan dan ia juga memungkinkan pengecualian. Artinya, ia bisa juga dikecualikan sebagai aturan yang tidak memiliki pengecualian.

Satu contoh lain adalah pernyataan bahwa satu orang saja tidak membentuk kumpulan orang (masyarakat). Jika satu orang (kita beri simbol “n”) adalah bukan masyarakat (kita beri simbol masyarakat sebagai “N”), maka berarti n+1 juga bukan N. Demkian juga n+2 juga bukan N. Pendek kata, sebanyak apapun kita tambahkan angka pada n itu, ia tetaplah bukan N. Ini juga paradoks.

Bagaimana memahami pradoks ini dalam penalaran hukum? Kita dapat mengidentifikasi bahwa sisi lemah dari suatu paradoks terletak pada adanya asumsi yang bermasalah.Kelemahan ini berlaku juga dalam paradoks dalam penalaran hukum.

Contoh pertama di atas memperlihatkan hal ini. Epimenides memang adalah orang Kreta. Tidak ada yang keliru dalam hal ini. Namun, adalah asumsi yang keliru jika kita mengatakan bahwa setiap pernyataan dari setiap orang Kreta, secara konsisten dari waktu ke waktu adala bohong..Pernyataan seperti itu adalah sebuah premis yang tidak ada justifikasi pembenarannya.

Biasanya, premis yang keliru disusun dalam komposisi kalimat yang negatif, baik dengan menggunakan kata-kata seperti “tidak” atau “bukan” maupun kata-kata privatif yang mengandung makna ketiadaan. Kata “bohong” adalah sebuah kata privatif, yang berarti tidak adanya kebenaran. Oleh karena asumsinya sudah keliru atau pasti tidak terjadi, sehingga konklusi yang dibangun dari kekeliruan ini akan berpotensi salah, atau paling tidak, akan meragukan.

Pada contoh berikutnya, asumsi “semua aturan memiliki pengecualian” adalah sebuah asumsi yang tidak boleh diartikan bahwa semua aturan harus punya pengecualian. Kadang-kadang aturan itu punya pengecuaian, tetapi kadang-kadang tidak. Ketika aturan melahirkan pengecualian, maka pengecualian itu juga bukan tanpa syarat. Premis tersebut tidak secara lengkap menyebutkan syarat-syarat pengecualian sebuah aturan. Jadi, kekeliruannya sudah bisa dideteksi sejak premis pertama dibangun oleh penuturnya. Akan jauh lebih tepat apabila permisnya dirumuskan menjadi “semua aturan memungkinkan pengecualian.”

Mari kita perhatikan contoh ketiga. Satu orang saja tidak membentuk masyarakat, adalah sebuah pernyataan yang benar. Namun, kita tidak boleh “gagal fokus”. Penekanan pada pernyataan ini pertama-tama terletak pada kuantitasnya, bahwa jika kuantitasnya satu saja, maka ia tidak cukup mengantarkan orang menjadi kumpulan orang. Sebab, kumpulan orang tentu saja harus lebih dari satu. Dengan demikian, formula n+1 dalam rangka mengubahnya menjadi N, tidaklah terutama berfokus pada n, melainkan pada +1. Memang benar, apabila  “n” di sini diasumsikan sebagai esensi yang bukan “N” maka sampai kapanpun ia tetap bukan “N”. Padahal, “N” di sini terjadi tidak dalam konteks mengubah esensi, melainkan mengubah aksidensi kuantitas. Alhasil, premis “n+1 adalah bukan N” adalah asumsi yang keliru.

Sebagai penutup tulisan pendek ini, mari kita membuka cerita klasik tentang Protagoras dan muridnya bernama Euathlus. Dikisahkan pada zaman Yunani Kuno dulu, seorang sofis terkenal bernama Protagoras menjadi guru untuk belajar tentang hukum bagi Euathlus, seorang pemuda miskin yang cerdas. Euathlus sangat ingin belajar hukum dan kemudian menjadi advokat, tetapi ia tak mampu membayar. Karena tahu benar potensi yang dimiliki muridnya itu, maka Protagoras pun membuat perjanjian dengan Euathlus bahwa sang murid akan melunasi semua utang biaya kuliahnya segera setelah Euathlus memenangkan kasus pertamanya di pengadilan. Setelah dinyatakan lulus, entah mengapa Euathlus justru berubah pikiran. Ia tidak mau menjadi advokat. Ia lebih memilih menjadi politisi. Ini berarti Protagoras tidak bakal mendapatkan pelunasan atas utang biaya kuliah itu sampai kapanpun.  Protagoras tidak kehabisan akal. Ia lalu menggugat Euathlus di pengadilan dengan permintaan agar Euathlus melunasi utang biaya kuliahnya. Hal ini sekaligus memaksa eks muridnya itu tampil beracara di pengadilan. Protagoras yakin ia akan mendapatkan pembayaran apapun putusan pengadilan nanti. Apabila pengadilan memenangkan Protagoras, maka dengan sendirinya utang harus dibayar sesuai amar putusan. Sebaliknya, jika pengadilan memenangkan Euathlus, ia juga tetap harus dibayar karena Euathlus telah memenuhi syarat perjanjian yakni memenangkan kasus pertamanya di pengadilan. Namun, Euathlus menyangkal cara berpikir bekas gurunya itu. Menurut Euathlus, jika pengadilan memenangkannya itu berarti amar putusan akan mengatakan bahwa ia tidak perlu membayar utang tersebut. Jika ia kalah, maka ia dinyatakan kalah dalam kasus itu, maka janjinya untuk membayar utang saat ia memenangkan kasus pertamanya di pengadilan, menjadi tidak terpenuhi. Artinya, ia terbebas dari kewajiban tersebut.

Paradoks di atas membuat kita perlu memikirkan perbedaan antara dua silogisme. Jika menggunakan silogisme kategoris, maka yang muncul adalah susunan premis-premis sebagai berikut: Setiap orang yang berutang pada seseorang harus melunasi utangnya. Euathlus mempunyai utang kepada Protagoras. Euathlus harus melunasi utangya kepada Protagoras. Sfilogisme ini sesungguhnya tidak berlaku dalam kasus di atas karena yang mereka perdebatkan sesunguhnya adalah kebenaran sebuah silogisme hipotetis. Premis mayornya berbunyi: “Jika Euathlus memenangkan kasusnya yang pertama di pengadilan, maka ia harus melunasi utangnya kepada Protagoras.” Di situ ada anteseden dan konsekuen. Anteseden atau syarat itulah yang mereka perdebatkan, bukan konsekuennya. Kekaburan dalam asumsi yang dibangun membuat akhirnya mereka terjebak dalam paradoks. Pada saat Protagoras dan Euathlus membuat perjanjian untuk pertama kali, apa yang dimaknai sebagai “memenangkan kasus pertama” di sini adalah kasus yang ditangani oleh Euathlus saat ia berhadapan dengan orang lain, bukan antara diri Euathlus sendiri melawan Protagoras. Juga asumsi bahwa Euathlus akan bekerja sebagai advokat, bukan menjadi politisi. Paradoks tidak akan terjadi apabila semua asumsi itu berjalan sesuai skenario. Namun, karena asumsi awal ini sudah berbeda dari yang mereka bayangkan semula, maka patut disimpulkan bahwa persyaratan dalam perjanjian itu masih belum terpenuhi.

Penalaran hukum dengan demikian membutuhkan kejelasan atas semua asumsi yang digunakan. Boleh jadi kita dapat menasihati Protagoras dan Euathlus tentang paradoks yang mereka ciptakan. Silakan mereka kembali melihat isi Pasal 1343 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatakan, bahwa jika kata-kata dalam perjanjian mengandung ketidakjelasan, maka kembalilah ke maksud awal saat para pihak mengikatkan diri dalam perjanjian itu. (***)



Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close