SOAL DAN PANDUAN JAWABAN UTS HUKUM PIDANA (2023)
Oleh AHMAD SOFIAN (Mei 2023)
Soal dan panduan jawaban ini ditujukan bagi para mahasiswa yang mengikuti ujian tengah semester untuk mata kuliah HUKUM PIDANA (CRIMINAL LAW) semester genap tahun akademik 2022/2023.
KASUS:
Kasus Rudimanto Herman (RH) berniat meminjam uang sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) kepada Alexander Margolang (AM) pada tanggal 1 Oktober 2022. RH mengatakan bahwa dia telah memenangkan tender di Dinas Pertamanan DKI Jakarta untuk merenovasi Taman Tebet dan mengganti beberapa tanaman di taman tersebut. RH menunjukkan SPK (Surat Perintah Kerja) dari Pejabat Pembuat Komitmen di Dinas Pertamanan DKI Jakarta. RH menjanjikan komisi 5 juta kepada AM jika proyek telah cair 100% yang diperkirakan selambat-lambatnya tanggal 1 Desember 2022. Karena percaya dengan perkataan dan dokument SPK yang ditunjukkan serta komisi sebesar 5 juta rupiah oleh RH maka pada tanggal 5 Oktober 2022 AM mentransfer sebesar Rp. 100 juta ke rekening RH. Sebelum ditransfer, AM dan RH sepakat membuat perjanjian di atas materai dan disaksikan dua orang saksi tertanggal 4 Oktober 2022. Sampai batas waktu yang dijanjikan yaitu tanggal 1 Desember 2022, RH belum juga mengembalikan pinjamannya, tetapi malah telah mentransfer Rp. 5 juta (lima juta rupiah) komisi yang dijanjikan. Dan RH mengatakan Dinas Pertamanan DKI Jakarta belum mentstranfer 100 persen. Karena curiga, pada tanggal 10 Desember 2022, AM mendatangi dinas pertamanan DKI Jakarta, dan betapa terkejutnya dia ternyata SPK itu palsu, tidak pernah RH memenangkan tender di Dinas Pertamanan DKI Jakarta.
SOAL NOMOR 1: Apakah terhadap perbuatan yang dilakukan RH bisa digolongkan sebagai peristiwa pidana, jelaskan argumentasi anda dikaitkan dengan teori/doktrin dan sebutkan rujukan dari teori/doktrin tersebut.
Panduan Jawaban soal nomor 1:
- Peristiwa pidana memiliki pengertian yang sama dengan delik atau tindak pidana. Menurut pandangan Moeljatno, penggunaan kata “peristiwa pidana” berkaitan dengan peristiwa konkret yang hanya menunjukkan suatu kejadian tertentu saja, sehingga penggunaan kata “tindak pidana” lebih cocok digunakan karena “tindak” dalam hal ini mencakup segala perbuatan baik yang bersifat baik maupun buruk. Dengan demikian, terciptalah kata “delik” yang menyatakan adanya perbuatan pidana (Dr. Andi Hamzah, 2017: 94-96).
- Untuk dapat mengetahui apakah perbuatan RH merupakan delik atau tidak, maka perlu dilihat apakah perbuatan RH telah memenuhi rumusan delik yang terdiri dari: (1) Diancam dengan pidana oleh hukum, (2) Bertentangan dengan hukum, (3) Dilakukan oleh orang yang bersalah, (4) Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya. (Dr. Andi Hamzah, 2017: 96).
- Tindakan RH yang melakukan pemalsuan Surat Perintah Kerja telah memenuhi unsur-unsur delik yang terdapat dalam Pasal 263 KUHP. Adapun delik pemalsuan surat yang telah dipenuhi oleh RH meliputi: (1) Membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan suatu perikatan atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal, (2) Dengan maksud untuk memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, (3) Menimbulkan kerugian.
- Tidak hanya memenuhi rumusan delik Pasal 263, perbuatan RH juga memenuhi rumusan delik Pasal 378 KUHP yang meliputi: (1) Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri, (2) Melawan hukum, (3) Dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, (4) Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya.
- Berdasarkan pembagiannya, delik dapat dibagi menjadi beberapa jenis. Salah satu pembagiannya adalah delik formil dan delik materiil. Delik formil adalah suatu perbuatan tertentu yang dapat dipidana/Delik materiil adalah delik yang mengakibatkan adanya akibat tertentu, dengan atau tanpa menyebut perbuatan tertentu.
- Apabila melihat klasifikasi delik tersebut, maka kita dapat menyimpulkan bahwa RH telah melakukan delik materiil karena dengan adanya perbuatan RH yang memalsukan surat, ia menimbulkan akibat kerugian pada AM berupa uang Rp 100jt.
KESIMPULAN:
Berdasarkan uraian di atas, maka perbuatan RH dapat digolongkan sebagai delik, khususnya sebagai delik materiil. Karena perbuatan RH diatur dalam 2 jenis pasal KUHP, yakni Pasal Pemalsuan Surat serta Pasal Penipuan. Dengan melakukan tindakan tersebut, RH dapat dinyatakan telah melawan hukum karena perbuatannya jelas diatur dalam KUHP. Lebih lanjut, perbuatan melawan hukum yang dilakukan RH menimbulkan akibat atau kerugian pada AM.
REFERENSI:
Andi Hamzah, S.H., Asas-Asas Hukum Pidana, 2017, hlm. 94-96. Moeljatno, S.H., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2014, hlm. 96-97, 133.
SOAL NOMOR 2: Mohon anda jelaskan tindak pidana TERMASUK jenis tindak pidananya yang dilakukan oleh RH, dan Pasal (pasal-pasal) yang relevan yang diatur dalam KUHP.
Paanduan jawaban soal nomor 2:
- Pengertian perbuatan pidana menurut Moeljatno adalah perbuatan yang dilarang dalam undang-undang dan diancam dengan pidana barangsiapa melanggar larangan itu. Lihat Moeljatno, 1955, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban dalam Hukum Pidana, pidato diucapkan pada upacara peringatan Dies Natalis ke VI Universitas Gadjah Mada , di Sitihinggil Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1955, hlm. 17.
- Apabila kita melihat Pasal 263 yang berbunyi: “barang siapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama enam tahun,” maka pemalsuan Surat Perintah Kerja (SPK) yang dilakukan RH jelas tergolong sebagai perbuatan pidana karena melanggar undang-undang dan oleh karena itu, RH dapat dipidana sesuai dengan sanksi yang berlaku dalam Pasal 263 KUHP.
- Tidak hanya sebatas melakukan pemalsuan SPK, RH juga menggunakan SPK yang dipalsukannya itu sebagai dokumen pendukung untuk melakukan perjanjian di bawah tangan dengan AM. Melalui perjanjian tersebut, kedua pihak berhasil membuat kesepakatan mengenai pembagian komisi dan pinjaman uang yang jatuh tempo pada tanggal 1 Desember 2022. Akan tetapi, perjanjian ini kemudian menimbulkan kerugian uang sejumlah Rp 100jt bagi AM karena RH tidak memenuhi isi perjanjian yang menyatakan bahwa ia akan mengembalikan uang pinjaman Rp 100jt pada 1 Desember 2022. Dengan ini, maka tindakan RH tergolong dalam perbuatan curang yang diatur dalam Pasal 378 KUHP dengan pernyataan “barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diriatau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
KESIMPULAN:
Apabila dikaitkan dengan Pasal KUHP, maka tindakan RH dapat dijerat dengan:
-
Pasal 263. Pembuatan SPK palsu oleh RH termasuk ke dalam tindak pidana pembuatan surat palsu yang memberikan keterangan izin kerja dari Dinas Pertamanan DKI Jakarta yang isinya dibuat seolah-olah nyata dan kemudian digunakan sebagai alat pendukung untuk melakukan pinjaman uang kepada AM. Dalam kasus ini, SPK palsu tersebut menjadi awal mula timbulnya kerugian uang Rp 100jt pada AM.
-
Pasal 378. Melalui SPK palsu tersebut, RH berhasil membujuk AM untuk membuat perjanjian yang kemudian menyebabkan AM meminjamkan sejumlah uang ke RH. Dengan ini, RH dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana perbuatan curang, yaitu penipuan yang dilakukan dengan mencantumkan identitas serta keterangan palsu yang terdapat dalam SPK tersebut agar AM mau meminjamkan uang kepadanya. Akibat adanya SPK palsu tersebut, AM berhasil meminjamkan uang kepada RH namun kemudian AM dirugikan karena RH tidak mengembalikan uang tersebut sesuai dengan kesepakatan yang dimuat dalam perjanjian.
REFERENSI:
Moeljatno, S.H., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2014, hlm. 96-97, 133. Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, 2016, hlm. 121.
SOAL NOMOR 3: Mohon jelaskan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh RH, kaitkan dengan teori/doktrin.
Panduan jawaban soal nomor 3:
- Mengutip dari pendapat Vos, pengertian kesalahan dalam hukum pidana dapat dibedakan dalam 3 ciri atau unsur-unsur, yaitu: (1) Dapat dipertanggungjawabkan pelaku; (2) Hubungan psikis pelaku dengan perbuatannya yang biasanya dalam bentuk sengaja atau alpa; (3) Tidak ada dasar-dasar yang menghapuskan pertanggungjawaban pelaku atas perbuatannya. (Eddy.O.S.Hiariej, 2016: 162).
- Hubungan psikis yang disebut dalam ciri kedua kemudian menjadi akar lahirnya 2 jenis kesalahan, yaitu kesengajaan dan kealpaan. Tindakan RH dalam kasus di atas tergolong ke dalam bentuk kesengajaan sebagai maksud. Definisi kesengajaan sebagai maksud sebagaimana yang tertulis dalam buku “Prinsip-Prinsip Hukum Pidana” yang ditulis oleh Eddy O.S.Hiariej pada hal.172 adalah kesengajaan untuk mencapai suatu tujuan. Dalam bentuk kesengajaan ini, seseorang bertindak karena adanya motivasi. RH mengetahui secara sadar bahwa ia telah melakukan pemalsuan surat dan menuturkan ucapan bohong untuk mengelabui AM. Lalu, RH menggunakan surat tersebut untuk mewujudkan keinginannya, yaitu untuk memperoleh keuntungan uang dari perjanjian yang ia buat dengan AM.
- Van Hamel mendefinisikan pertanggungjawaban sebagai suatu keadaan normal psikis dan kemahiran yang membawa tiga macam kemampuan, yaitu: (1) Mampu untuk dapat mengerti makna serta akibat sungguh-sungguh dari perbuatan-perbuatan sendiri, (2) Mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatan-perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat, (3) Mampu untuk menentukan kehendak berbuat. (Eddy O.S.Hiariej, 2016: 157).
- Jika dilihat dari ketiga unsur di atas, maka pertanggungjawaban berhubungan erat dengan keadaan jiwa yang memiliki pengaruh pada kehendak seseorang untuk berbuat sesuatu.
- RH memalsukan surat dan menipu AM dengan kehendak untuk menguntungkan dirinya. Dalam hal ini, RH melakukan penipuan dengan penuh kesadaran dan mengetahui secara pasti bahwa ia telah melawan hukum untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Secara subjektif dan objektif, perbuatan RH telah memenuhi unsur-unsur yang ada dalam Pasal 263 dan Pasal 378. Oleh sebab itu, RH dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sesuai dengan yang tercantum dalam kedua pasal tersebut. Dikarenakan tindakan RH termasuk ke dalam perbarengan perbuatan(Concursus) sebagaimana tertulis dalam Pasal 63 ayat (1), maka RH hanya dapat dipidana dengan salah satu Pasal yang memuat ancaman yang paling berat.
KESIMPULAN:
Jadi, dalam kasus ini, RH bertindak secara sadar dalam melakukan pemalsuan SPK untuk menipu AM, dan kemudian berhasil mencapai kehendaknya untuk menguntungkan dirinya sendiri. Oleh sebab itu, bentuk kesengajaan yang dilakukannya masuk ke dalam bentuk kesengajaan sebagai maksud. Dikarenakan RH mampu memikirkan cara tertentu untuk menipu AM dalam rangka mencari keuntungan, maka kejiwaan RH dalam hal ini dapat dikatakan normal dan oleh karena itu, RH dapat dimintai pertanggungjawaban. Apabila merujuk pada Pasal 263 KUHP, maka tindakan pemalsuan surat oleh RH dapat dipidana penjara maksimal 6 tahun, sedangkan penipuan yang dilakukan RH dapat dipidana penjara maksimal 4 tahun sesuai dengan Pasal 378 KUHP. Dikarenakan perbuatan RH diatur dalam 2 pasal KUHP (perbarengan perbuatan), maka berdasarkan ketentuan pemberatan pidana dalam Pasal 63 ayat (1), RH dapat dipidana dengan Pasal 263 yang ancamannya lebih berat daripada Pasal 378.
REFERENSI:
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, 2016, hlm. 157, 162, 172. Moeljatno, S.H., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2014, hlm. 27, 96-97, 133.
SOAL NOMOR 4: Mohon anda uraikan unsur-unsur pasal (bestandelen delict) baik unsur objektif dan unsur subjektif, kaitkan dengan tindak pidana yang dilakukan, termasuk ancaman pidananya.
Panduan jawaban soal nomor 4:
Unsur objektif adalah perbuatan nyata yang secara kasat mata memenuhi unsur delik, sedangkan unsur subjektif adalah niat atau sikap batin pelaku (Eddy.O.S.Hiariej, 2016: 127).
Unsur Subjektif | Unsur Objektif | Pidana | |
Pasal 263 | 1. Barangsiapa;
2. Dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu. |
1. Membuat surat palsu atau memalsukan surat;
2. Menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang. 3. Menggunakan surat tersebut sebagai bukti dari sesuatu hal; 4. Menimbulkan kerugian. |
Pidana penjara paling lama 6 tahun. |
Pasal 378 | 1. Barangsiapa;
2. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. |
1. Melawan hukum;
2. Memakai nama palsu atau martabat palsu; 3. Melakukan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan; 4. Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang. |
Pidana penjara paling lama 4 tahun. |
Apabila mengaitkan pada unsur-unsur kedua pasal di atas, maka RH telah memenuhi semua unsur mutlak yang ada pada Pasal 263 KUHP dan Pasal 378 KUHP dan oleh sebab itu RH dapat dijatuhi pidana.
- Perbuatan RH dikatakan memenuhi unsur Pasal 263 KUHP karena isi SPK yang dibuat RH seolah-olah nyata dan berlaku secara sah serta digunakan sebagai bukti palsu bahwa ia telah memenangkan tender projek renovasi Taman Tebet. SPK ini juga digunakan oleh RH dengan maksud untuk membujuk AM membuat kesepakatan dengannya. Dikarenakan AM merasa isi SPK yang dibuat RH adalah nyata dan cukup menjanjikan, maka timbullah perjanjian antara keduanya mengenai pinjaman uang dan pemberian komisi. Akan tetapi, nyatanya, perjanjian tersebut menyebabkan kerugian uang pada AM sebagai pihak yang memberikan pinjaman uang.
- Perbuatan RH dikatakan juga memenuhi unsur Pasal 378 karena RH dalam hal ini menciptakan rangkaian kebohongan dimulai dari kemenangan tender di Dinas Pertamanan DKI Jakarta untuk merenovasi Taman Tebet hingga penerbitan SPK dari Pejabat Pembuat Komitmen di Dinas Pertamanan DKI Jakarta. Kemudian rangkaian kebohongan tersebut menghasilkan suatu perjanjian antara AM dengan RH. Melalui perjanjian inilah RH berhasil menipu AM dan menggerakkan AM untuk meminjamkan uang kepadanya. Di sini, RH bertindak sebagai penipu dan AM sebagai pihak tertipu. RH juga dapat dikatakan melawan hukum karena telah melanggar isi perjanjian yang telah disepakatinya bersama AM.
REFERENSI:
Moeljatno, S.H., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2014, hlm. 27, 96-97, 133. Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, 2016, hlm. 127.
SOAL NOMOR 5: RH belakangan diketahui bukanlah Warga Negara Indonesia, tetapi Warga Negara Timor Leste, apakah hukum pidana Indonesia bisa diterapkan kepada RH, jelaskan dengan landasan teori dan juridisnya, kaitkan dengan referensi yang diwajibkan.
Panduan jawaban soal nomor 5:
- Sesuai dengan bunyi Pasal 2 KUHP, “peraturan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tiap-tiap orang yang di dalam wilayah Indonesia melakukan delik (strafbaarfeit).” Maka Indonesia menganut asas wilayah atau asas teritorialitas, yang artinya setiap orang yang melakukan delik atau tindak pidana di Indonesia, harus tunduk pada hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Dalam asas ini, yang menjadi fokus utama adalah tempat atau wilayah terjadinya tindak pidana, bukan pada identitas orang yang melakukan tindak pidana (Dr. Andi Hamzah, 2017: 66).
- KESIMPULAN:
Oleh karena RH melakukan tindak pidana pemalsuan surat dan penipuan di Indonesia, maka berdasarkan keberlakuan asas teritorialitas, RH dapat diancam dengan hukum pidana yang berlaku di Indonesia sebagai negara tempat ia melakukan tindak pidana. Jadi, walaupun RH merupakan Warga Negara Timor Leste, ia tetap dapat ditindak sesuai dengan KUHP yang berlaku di Indonesia.
REFERENSI:
Andi Hamzah, S.H., Asas-Asas Hukum Pidana, 2017, hlm. 66. Moeljatno, S.H., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2014, hlm. 3.
SOAL NOMOR 6: Ketika RH diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pengacara RH memberikan bukti bahwa RH mengalami salah satu jenis stess berat yang dalam ilmu kedokteran disebut dengan skizofrenia. Bagaimana menurut anda putusan yang akan dibuat oleh Majelis Hakim atas bukti yang diajukan oleh Penasehat Hukum RH? jelaskan dengan landasan juridis, teori/doktrin dan kaitkan dengan kasusnya.
Panduan jawaban soal nomor 6:
- Tindakan RH dalam memalsukan surat dan menciptakan rangkaian kebohongan untuk menipu AM hanya dapat dilakukan oleh orang yang mampu berpikir dalam menentukan kehendaknya atau dengan kata lain memiliki kejiwaan yang normal karena dalam kasus ini, RH mampu memikirkan cara yang sedemikan rupa untuk menguntungkan dirinya. Namun, dikarenakan pengacara RH kemudian menyatakan bahwa ia mengalami skizofrenia, maka pertanggungjawaban RH terhadap tindak pidana tersebut dapat dipertimbangkan oleh Hakim.
- Dalam Pasal 44 KUHP, terdapat beberapa hal yang dapat menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pidana, yang dimana salah satunya adalah yang berkaitan dengan gangguan jiwa atau penyakit pada pelaku. Dikatakan dalam Pasal 44 ayat 1, “barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”
- Untuk itu, Hakim dapat menggunakan 3 metode untuk menentukan ketidakmampuan RH dalam bertanggungjawab, yakni: (1) Metode biologis, yaitu menggunakan jasa psikiater untuk menentukan apakah kejiwaan RH memadai untuk dimintai pertanggungjawaban, (2) Metode psikologis, yaitu menunjukkan adanya hubungan antara keadaan jiwa yang abnormal dalam RH dengan perbuatannya, (3) Metode biologis-psikologis, yaitu mempertimbangkan kemampuan bertanggungjawab RH dengan menggunakan kedua metode di atas. (Eddy O.S.Hiariej, 2016: 165-166).
- Namun, apabila hasil dari ketiga metode di atas ternyata masih menimbulkan keraguan, maka Hakim dapat melakukan penyelidikan lebih lanjut. Dan apabila penyelidikan tersebut masih menghasilkan bukti yang tidak pasti dan Hakim tidak dapat menemukan adanya kausalitas antara perbuatan RH dengan penyakit skizofrenia yang diidapnya, maka RH harus dinyatakan bersalah (asas in dubio pro lege fori). Di sisi lain, Hakim juga berwenang untuk mengambil keputusan yang meringankan pertanggungjawaban RH (asas in dubio preo reo).(Eddy O.S.Hiariej, 2016: 167-168).
KESIMPULAN:
Walaupun RH memenuhi dasar penghapus pidana sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 44 KUHP, namun apabila Hakim meragukan adanya hubungan kausalitas antara penyakit skizofrenia yang dialami RH dengan tindak pidana yang dilakukannya, maka Hakim dapat memberikan putusan berdasarkan asas in dubio pro lege foriatau asas in dubio preo reo untuk menentukan kemampuan pertanggungjawaban RH serta sanksi pidana yang didapatkannya.
REFERENSI:
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, 2016, hlm. 165-168.
Moeljatno, S.H., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2014, hlm. 21-22.
Published at :