People Innovation Excellence

CATATAN KECIL LAGI TENTANG DEFINISI KONSUMEN

Oleh SHIDARTA (Mei 2023)

Ada banyak peraturan perundang-undangan yang sebenarnya dapat digunakan untuk dijadikan perangkat hukum positif dalam melindungi konsumen. Namun, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, perhatian kita sangat mungkin akan tertuju pada undang-undang ini, seakan-akan kata “konsumen” harus memenuhi definisi yang diberikan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini.

Pasal 1 butir 2 dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengartikan konsumen sebagai setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Titik penekanan dari konsumen di sini adalah “konsumen akhir” (pemakai akhir; end-user); bukan “konsumen antara” (intermediate consumer). Dalam buku yang saya tulis berjudul “Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia” (Grasindo, 2000), saya telah memberi catatan atas unsur-unsur dari definisi tersebut, yang tampaknya tidak perlu diulang kembali dalam tulisan ini. Saya juga telah membandingkan definisi tersebut dengan definisi konsumen yang dikenal dalam hukum federal di Australia. Uraian tentang hal tersebut juga pernah saya tulis dalam artikel pendek berjudul “Terminologi ‘Konsumen’ dalam Transaksi Online”.

Terlihat bahwa definisi konsumen memang dipengaruhi oleh motif seseorang dalam bertransaksi. Motif ini harus dalam rangka memakai barang/jasa itu untuk kepentingan personal, bukan dalam rangka memperdagangkannya kembal ke pihak lain. Hukum di Australia mengaburkan motif ini dengan menetapkan maksimal nilai transaksi sebesar $40,000 atau senilai Rp394juta (berdasarkan kurs saat tulisan ini dibuat). Artinya, apabila Anda melakukan transaksi dengan nilai masih di bawah $40,000 maka Anda otomatis dilindungi dengan the Competition and Consumer Act 2010 (pertama kali diundangkan dengan Act No. 51 of 1974 sebagaimana telah berkali-kali diubah dan terakhir dengan Act No. 148 of 2010). Apabila nilainya sudah melebihi $40,000 barulah motif ini dilacak.

Bagaimana ketentuan di negara-negara tetangga kita? Setelah mencermati ketentuan di Australia, ada baiknya kita lihat ketentuannya di negara jiran Malaysia. Di negeri tersebut tidak digunakan batas maksimal nilai transaksi sebagaimana ditentukan di Australia. Dalam the Consumer Protection Act 1999–Malaysia, konsumen didefinisikan sebagai:

… a person who–  (a) acquires or uses goods or services of a kind ordinarily acquired for personal, domestic or household purpose, use or consumption; and (b) does not acquire or use the goods or services, or hold himself out as acquiring or using the goods or services, primarily for the purpose of–  (i) resupplying them in trade; (ii) consuming them in the course of a manufacturing process; or (iii) in the case of goods, repairing or treating, in trade, other goods or fixtures on land.

Ketentuan pada huruf b poin (ii) dan (iii) di atas menarik perhatian karena juga digunakan dalam hukum Australia. Di situ dikatakan bahwa seseorang disebut konsumen apabila ia… tidak memperoleh atau menggunakan barang atau jasa, atau berpura-pura memperoleh atau menggunakan barang atau jasa, terutama untuk tujuan– …; (ii) mengkonsumsinya selama proses produksi; atau (iii) dalam hal barang, memperbaiki atau merawat barang atau perlengkapan pada benda tetap lainnya di dalam rangka perdagangan.”  Bandingkan kemiripan kata-kata tersebut dengan ketentuan hukum di Australia: “…the person did not acquire the goods, or hold himself or herself out as acquiring the goods, …in the course of a process of production or manufacture or of repairing or treating other goods or fixtures on land.” Redaksi kata-kata seperti ini tidak ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.

Menurut ketentuan di Australia dan Malaysia itu, seseorang tidak dapat lagi disebut sebagai konsumen apabila ia memperoleh barang yang dipakai dalam proses produksi (menghasilkan produk berbeda/dimodifikasi) sekalipun ia ikut mengkonsumsinya atau berpura-pura mengkonsumsinya (demi agar disebut sebagai konsumen menurut hukum perlindungan konsumen). Sebagai contoh, seseorang membeli kedelai dalam jumlah tertentu untuk diolah menjadi tahu yang dijualnya kembali ke konsumen. Apabila orang tersebut ikut juga mengkonsumsi tahu hasil produksinya, apakah ia adalah konsumen akhir (end-user) dari kedelai tersebut? Hukum di Malaysia dan Australia tidak dapat membenarkan klaim konsumen tersebut, sehingga orang itu tidak dapat disebut konsumen dan tidak berlakunya baginya hukum perindungan konsumen.

Mari kita bandingkan dengan kasus lain. Apabila seorang pemilik warung berjualan mie instan dalam kemasan. Pada suatu ketika, ia ingin mengkonsumsi mie ini bersama keluarganya dan mie itu diambil dari warungnya sendiri, apakah pemilik warung ini dapat mengklaim dirinya sebagai konsumen akhir? Tampaknya, kita cenderung untuk menganggapnya masih dalam kategori sebagai konsumen akhir yang dilindungi oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dengan demikian, kata “manufacturing process” menjadi kata kunci. Pada kasus kedelai menjadi tempe, ada proses itu, sedangkan dalam hal mie instan, tidak ada proses tadi. Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia, menurut saya, perlu mempertegas hal ini.

Kata “a person” di dalam definisi konsumen di Australia dan Malaysia memang lebih mengacu ke orang perserorangan. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, rujukan ini masih mungkin diperdebatkan, yakni apakah sebuah badan usaha yang memakai suatu barang/jasa di luar keperluan proses produksinya masih layak disebut sebagai konsumen. Sebagai contoh, sebuah universitas membeli meja dan kursi untuk diletakkan di ruang kerja dosen. Apakah badan usaha penyelenggara universitas tadi dapat dianggap sebagai konsumen meja dan kursi itu? Dalam the Consumer Protection (Fair Trading) Act 2003 yang berlaku di Singapura, misalnya, kata konsumen digarisbawahi sebagai “any individual”. Penegasan seperti ini juga perlu dipertimbangkan dalam revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.

Hal lain yang dikecualikan dari predikat “konsumen” menurut ketentuan di Australia dan Malaysia adalah apabila seseorang menggunakan sesuatu barang dalam rangka memperbaiki atau merawat barang atau perlengkapan lainnya yang diperdagangkannya. Misalnya, seorang pedagang ikan membutuhkan lemari pendingin untuk menjaga agar ikan-ikan yang dijualnya tetap dalam kondisi segar. Di sini, orang tersebut tidak dapat mengkategorikan dirinya sebagai konsumen dari lemari pendingin yang dibelinya itu. Tentu saja ia sangat mungkin akan tetap dilindungi sebagai pembeli yang beriktikad baik (misalnya ia mendapat garansi layanan purnajual apabila ada kerusakan lemari pendingin itu di kemudian hari), tetapi konteksnya bukan sebagai konsumen menurut hukum perlindungan konsume.

Satu terminologi yang perlu dijelaskan terkait definisi konsumen dalam hukum di Malaysia dan Australia adalah kata-kata “fixtures on land” yang secara harfiah mungkin dapat diterjemahkan sebagai “perlengkapan lain di darat”. Terjemahan harfiah seperti itu berpotensi menyesatkan karena kata “darat” mungkin akan dilawankan dengan “udara” atau “angkasa”. Padahal konotasinya tidak demikian! Saya berusaha untuk menerjemahkannya secara lebih bebas menjadi “perlengkapan pada benda tetap lainnya”.  Rumah atau bangunan, dengan sendirinya, adalah contoh paling lazim untuk benda tetap yang melekat pada tanah. Dalam konsep hukum Barat, rumah adalah suatu fixture (benda tetap), yang mungkin berbeda dengan konsep hukum adat di Indonesia yang masih mengenal konsep pemisahan horisontal. Jadi, apabila Anda seorang pemilik real estate yang menjual berbagai unit rumah, maka mesin-mesin pompa air yang jadi fasilitas di bangunan rumah-rumah yang dijual tadi harus dikategorikan sebagai perlengkapan lain yang melekat pada benda tetap. Dalam konteks ini, Anda bukanlah konsumen dari mesin-mesin pompa air yang Anda beli. Hukum perlindungan konsumen tidak dapat digunakan untuk melingkupi transaksi yang terjadi antara Anda dan penjual mesin pompa air. Hal demikian juga tidak cukup jelas tertuang di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Indonesia.

Perjalanan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 sudah lumayan jauh sejak diundangkan tahun 2000. Catatan-catatan kecil di atas boleh jadi dapat menjadi pertimbangan dalam pembahasan revisi undang-undang tersebut. (***)


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close