HUKUM MENJADI GAS SEKALIGUS REM KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
Pada tanggal 8 Maret 2023, berlangsung peringatan milad ke-80 Universitas Islam Indonesia. Guru besar dari Jurusan Hukum Bisnis BINUS, Shidarta, diundang sebagai keynote speaker, untuk mengawali seminar tersebut. Beliau membawakan topik berjudul Hukum dan Kebijakan Pembangunan. Ia menyampaikan pandangannya secara daring.
Menurutnya, hukum harus diposisikan sebagai gas sekaligus rem dalam kebijakan pembangunan. Ia menjadi rem apabila ada nilai-nilai dalam kehidupan sosial yang harus dipertahankan. Sebaliknya, ia menjadi rem apabila ada sikap dan perilaku yang harus diubah. Pembangunan, menurutnya, pada hakikatnya memang adalah perubahan itu sendiri. Dengan demikian, posisi hukum adalah instrumen (tekne) dalam perekayasaan sosial.
Shidarta mengingatkan ada sejumlah tantangan dan ancaman yang harus diwaspadai. Ia mengatakan bahwa di era data yang melimpah ruah, tidak semua dapat dikelola menjadi informasi yang akurat. Ini karena pihak-pihak yang menjadi pengendali data itu sendiri memiliki kepentingan. Akibatnya tekne menjadi tidak sepenuhnya netral. Informasi ini perlu dikelola agar menjadi pengetahuan. Pada akhirnya,pengetahuan yang dipakai sebagai pengambilan kebijakan harus sampai pada tingkat kebijaksanaan (wisdom).
- Apakah keadilan itu bagi situasi kemanusiaan kita dewasa ini dan mengapa ia terasa makin utopis? Pertanyaan ini layak diajukan karena kohesi sosial kita cenderung makin melemah. Pelemahan itu membuat gagasan-gagasan ideal seperti keadilan, terasa seperti barang usang, sehingga tiap orang dan/atau kelompok lebih mementingkan kepentingan pragmatis mereka sendiri-sendiri. Politik identitas, retribalisasi, insensibilitas sosial, dan narsisme menjadi ciri-ciri yang menyertai keterbelahan sosial tersebut. Fenomena pamer kekuasaan dan kekayaan, misalnya, bakal diperlihatkan secara masif melalui media sosial tanpa mempertimbangkan dampak destruktifnya secara sosial. Kalaupun ada keadilan, maka keadilan prosedural dianggap sudah memadai daripada harus bersusah payah menggapai keadilan yang substansial.
- Sampai kapan profesi hukum akan bertahan dalam format tradisionalnya tanpa kemudian teralihkan oleh pemeran-pemeran pengganti non-human atas nama kecanggihan teknologi informasi? Otomasi yang melanda kehidupan manusia tidak menjamin akan membuahkan penyikapan manusia secara lebih rasional. Oleh karena teknologi informasi sendiri bukan instrumen yang netral, maka substansi data, informasi, dan pengetahuan yang diproses di dalamnya pun akan lebih sulit direfleksikan secara rasional. Dengan demikian, hukum yang dihasilkan melalui instrumen seperti ini sangat mungkin justru akan makin irasional. Kekeliruan pembentukan, penemuan, pengadvokasian, dan pengadministrasian hukum bakal makin kasatmata karena didorong oleh ketergesa-gesaan (dromologi budaya). Ciri-cirinya dapat dikenali dari pragmatisme sempit dalam berhukum, produk hukum yang sok-moralis (legal moralism), dan kematian demokrasi dengan mengatasnamakan rakyat secara semu (argumentum ad populum). Akan banyak produk hukum, seperti peraturan perundang-undangan, putusan hakim, dan kebijakan administratif yang isinya “membingungkan” karena diproses secara tidak proporsional menurut standar keilmuan hukum yang tepat.
- Apakah masih relevan berbicara tentang konsepsi negara hukum? Kegalauan yang ditunjukkan melalui pertanyaan ini dapat dibenarkan karena kedaulatan negara telah tereduksi oleh kehadiran penguasa-penguasa baru (quasi states), khususnya para pemilik kapital. Mereka inilah penguasa baru dunia. Korporasi-korporasi besar, bahkan berkelas dunia, itu tentu menciptakan figur-figur yang “menyeberang” menjadi penguasa politik pula. Fenomena demikian terlihat, misalnya, dari lahirnya partai-partai politik yang dibidani oleh para pemilik kapital dan mereka tidak puas sekadar sebagai pendiri, melainkan juga tampil sebagai tokoh sentral politik. Apabila hukum pada satu sisi adalah suatu produk politik, maka dapat dimaklumi munculnya kecurigaan mengenai politik hukum yang mewarnai [sistem] hukum yang dikreasikan oleh situasi “negara hukum” seperti itu. (***)