KETERANGAN AHLI REZA ZAKI DALAM KASUS WARNAARTHA LIFE
Pada kamis, 16 Februari 2023, dosen Business Law BINUS University, Dr. Muhammad Reza Syariffudin Zaki, S.H., MA (Reza Zaki) didampingi Pengacara Benny Wullur, S.H, M.H.Kes, memberikan keterangan ahli pada sidAng lanjutan gugatan PKPU di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Sidang yang seharusnya dijadwalkan pada Selasa, 14 Februari 2023 diundur karena ada dukungan dari kreditor yang berdatangan setelah merasa tidak percaya terhadap proses likuidasi perusahaan Wanaartha Life yang disinyalir cacat hukum.
Zaki sebagai Ahli Hukum Bisnis menerangkan beberapa hal, mencakup antara lain tentang hal-hal sebagai berikut:
Kepailitan, Likuidasi, dan PKPU.
Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), kepailitan adalah: “…sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini,“ sedangkan likuidasi, menurut Black’s Law Dictionary 6th Edition adalah: “With respect with winding up of affairs of corporation, is process of reducing assets to cash, dischargng liabilities and dividing surplus or loss. Occurs when a corporation distributes its net assets to its shareholders and ceases its legal existence.” Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, likuidasi adalah: “Pembubaran perusahaan sebagai badan hukum yang meliputi pembayaran kewajiban kepada para kreditor dan pembagian harta yang tersisa kepada para pemegang saham.”
Berdasarkan pasal 142 ayat (2) Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur mengenai beberapa mekanisme pembubaran PT antara lain berdasarkan keputusan RUPS, karena jangka waktu berdirinya telah berakhir dalam anggaran dasar, berdasarkan penetapan pengadilan, harta PT tidak cukup untuk membayar kepailitan, harta pailit PT dalam keadaan insolvensi, atau karena dicabutnya izin usaha PT sehingga mewajibkan likuidasi. Namun di pasal 143 Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dijelaskan pula bahwa Pembubaran Perseroan tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungiawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan. Pencabutan izin usaha tidak lantas membubarkan sebuah badan hukum. Yang berwenang membubarkan badan hukum diatur di dalam pasal 143 ayat 1 Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yakni hanya RUPS atau Pengadilan.
Sementara itu mengenai Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) diatur di dalam pasal 222 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dimana pada pasal 224 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dikatakan bahwa “Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 harus diajukan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh advokatnya”. Sementara itu Pengadilan Niaga adalah Pengadilan Khusus yang dibentuk di lingkungan peradilan umum yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perkara kepailitan dan penundaan kewajiban dan pembayaran utang (PKPU).[1]
Permohonan PKPU lebih didahulukan jika dibandingkan dengan kepailitan (Pasal 229 ayat [3] dan ayat [4] UU Kepailitan). Sementara itu kurator bertanggung jawab ke hakim pengawas, likuidator bertanggung jawab ke RUPS. Jika aset debitor ada sengketa hukum disita oleh kreditor maka langkah PKPU akan lebih relevan dibandingkan likuidasi.
Dalam hal proses, likuidasi bisa memakan waktu 2 hingga 3 tahun, sedangkan PKPU sementara hanya diberi tenggat waktu 45 hari dan PKPU tetap maksimum 270 hari. Namun jika PKPU Sementara tidak memberikan hasil dalam proposal perdamaian (homologasi), maka berdasarkan Pasal 228 ayat (6) belum tercapai persetujuan terhadap rencana perdamaian, pengurus pada hari berakhirnya waktu tersebut wajib memberitahukan hal itu melalui Hakim Pengawas kepada Pengadilan yang harus menyatakan Debitor Pailit paling lambat pada hari berikutnya.
Jangka Waktu PKPU Sementara
Prosedur PKPU mencakup tahap PKPU Sementara dan PKPU Tetap yang merupakan satu rangkaian prosedur. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU 37/2004”), PKPU Sementara bermula dari permohonan PKPU pada pengadilan niaga yang diajukan baik oleh debitur maupun kreditur dengan ketentuan:
- Surat permohonan berikut lampirannya, bila ada, harus disediakan di Kepaniteraan Pengadilan, agar dapat dilihat oleh setiap orang dengan cuma-cuma;
- Dalam hal permohonan diajukan oleh debitur, pengadilan niaga dalam waktu paling lambat 3 hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan harus mengabulkan PKPU Sementara dan harus menunjuk seorang hakim pengawas dari hakim pengadilan niaga serta mengangkat 1 atau lebih pengurus yang bersama dengan debitur untuk mengurus harta debitur;
- Dalam hal permohonan diajukan oleh kreditur, pengadilan niaga dalam waktu paling lambat 20 hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan, harus mengabulkan PKPU Sementara dan harus menunjuk seorang hakim pengawas dari hakim pengadilan niaga serta mengangkat 1 atau lebih pengurus yang bersama dengan debitur untuk mengurus harta debitur;
- Segera setelah putusan PKPU Sementara diucapkan, pengadilan niaga melalui pengurus wajib memanggil debitur dan kreditur yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir, untuk menghadap dalam sidang yang diselenggarakan paling lama pada hari ke-45 (empat puluh lima) terhitung sejak putusan PKPU Sementara diucapkan; dan
- Dalam hal Debitor tidak hadir dalam sidang PKPU Sementara berakhir dan pengadilan niaga wajib menyatakan debitur pailit dalam sidang yang sama.
Dengan demikian, PKPU Sementara berlaku sejak tanggal putusan PKPU Sementara diucapkan sampai dengan tanggal sidang diselenggarakan, sehingga masa berlangsungnya PKPU Sementara adalah 45 hari.
Pengumuman PKPU Sementara
Setelah PKPU sementara diputuskan, menurut Pasal 226 UU PKPU, Pengurus wajib untuk segera mengumumkan putusan PKPU sementara dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit dalam dua surat kabar harian yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas. Pengumuman tersebut juga harus memuat undangan untuk hadir pada persidangan yang merupakan rapat permusyawaratan hakim disertai dengan tanggal, tempat, dan waktu sidang, nama Hakim Pengawas dan nama serta alamat pengurus. Selain itu, apabila pada waktu PKPU sementara diucapkan telah diajukan rencana perdamaian oleh Debitor, maka hal ini juga harus disebutkan dalam pengumuman dan pengumuman tersebut harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 21 hari sebelum tanggal sidang yang direncanakan.
Jangka Waktu PKPU Tetap
Jangka waktu PKPU Tetap berikut perpanjangannya maksimal 270 hari dihitung dari setelah putusan PKPU Sementara diucapkan, sehingga mencakup pula masa 45 hari yang menjadi jangka waktu PKPU Sementara. Pemberian PKPU Tetap ini bermula dari pengajuan rencana perdamaian oleh debitur, kemudian kreditur harus menentukan suara mereka mengenai rencana perdamaian untuk mempertimbangkan dan menyetujui rencana perdamaian dalam proses PKPU Tetap.
PKPU Tetap berikut perpanjangannya juga harus telah mendapatkan persetujuan dari kreditur sebagaimana diatur dalam Pasal 229 ayat (1) UU 37/2004 yang berbunyi: “Pemberian penundaan kewajiban pembayaran utang tetap berikut perpanjangannya ditetapkan oleh Pengadilan berdasarkan: 1. persetujuan lebih dari 1/2 jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau yang sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut; dan 2. persetujuan lebih dari 1/2 jumlah Kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan Kreditor atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut.
Berakhirnya PKPU
Menurut ketentuan dalam Pasal 255 UU PKPU, PKPU dapat diakhiri atas permintaan Hakim Pengawas, satu atau lebih Kreditor, atau atas prakarsa Pengadilan dalam hal:
- Debitor, selama waktu penundaan kewajiban pembayaran utang, bertindak dengan itikad buruk dalam melakukan pengurusan terhadap hartanya
- Debitor telah merugikan atau telah mencoba merugikan kreditornya
- Debitor melakukan melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya tanpa persetujuan pengurus
- Debitor lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan kepadanya oleh Pengadilan pada saat atau setelah penundaan kewajiban pembayaran utang diberikan, atau lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang disyaratkan oleh pengurus demi kepentingan harta Debitor
- Selama waktu penundaan kewajiban pembayaran utang, keadaan harta Debitor ternyata tidak lagi memungkinkan dilanjutkannya penundaan kewajiban pembayaran utang; atau
- Keadaan Debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya terhadap Kreditor pada waktunya
Dari sisi waktu, tentu saja PKPU lebih memberikan kepastian dan kemanfaatan hukum bagi para kreditor dikarenakan tidak memakan waktu yang panjang bila dibandingkan dengan likuidasi. Di dalam POJK 28 tahun 2015 tentang likuidasi membutuhkan waktu maksimum 2 tahun. Di UU Perasuransian, pemegang polis punya hak diatas kreditur yang lain (Bank, kantor pajak, dll). Disamping itu, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2022 menjelaskan bahwa Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (PKPU S) ataupun PKPU Tetap tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi. Hal ini menunjukan bahwa makin kuat alasan mengapa PKPU jauh lebih memberikan kepastian dan kemanfaatan hukum bagi nasabah. Dikarenakan kepailitan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2022 masih bisa diajukan upaya hukum kasasi. Sedangkan likuidasi jika menemukan aliran dana yang bermasalah, dia tetap harus mengajukan gugatan ke pengadilan. Artinya likuidasi harus menempuh jalan yang lebih berliku.
Apabila memang jalan terbaik penyelesaian adalah melakukan restukturisasi menyeluruh melalui jalan PKPU, maka OJK tidak perlu ragu untuk memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada proses hukum di Pengadilan Niaga. Keputusan tegas OJK selaku otoritas pembina dan pengawas industri jasa keuangan sangatlah krusial agar jangan sampai OJK justru menjadi grey area dalam penyelesaian polemik ini.
PKPU adalah upaya mencari iktikad baik dari debitur dengan memberikan waktu kewajiban pembayaran hutang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dan pilihan apakah PKPU, kepailitan, maupun likuidasi juga merupakan pilihan dari kreditor. (***)
[1] Muhammad Reza Syariffudin Zaki, Pengantar Ilmu Hukum dan Aspek Hukum dalam Ekonomi, Prenadamedia: Divisi Kencana, Jakarta, 2021, hlm 50
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...