People Innovation Excellence

METODE “OMNIBUS LAW” DENGAN KETERLIBATAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

Oleh SHIDARTA (Februari 2023)

Konon pada tahun 1823, di pinggiran kota Nantes, Prancis, seorang pengusaha bernama Stanislas Baudry membangun pabrik penggilingan tepung dengan teknologi uap air. Alhasil, setiap hari tersedia banyak air panas di pabriknya. Hal ini menimbulkan ide baru di benak Baudry. Ia lalu memutuskan untuk membuka bisnis mandi sauna di sebelah pabriknya, dengan memanfaatkan ketersediaan air panas yang melimpah tersebut. Sayangnya, lokasi pabrik ini jauh dari permukiman penduduk, sehingga Baudry harus menyiapkan sarana transportasi dari dan ke tempat sauna tadi. Demikianlah, tiga tahun kemudian Baudry meluncurkan bisnis transportasi yang mengangkut sejumlah orang sekaligus dari pusat kota Nantes menuju ke lokasi pabriknya, yang ternyata bermanfaat tidak hanya bagi mereka yang ingin mandi sauna, tetapi bagi penumpang pada umumnya. Kendaraan yang awalnya ditarik kuda ini diberi nama “omnibus” (dalam bahasa Latin, omni = semua). Omnibus bahkan menjadi ladang bisnis yang menguntungkan, sehingga Baudry membuka jasa transportasi serupa di kota-kota lain, seperti Bordeaux dan Lyon.

Pada masa sekarang, “omnibus” ternyata tidak hanya dipakai sebagai label untuk menamakan kereta panjang yang ditarik kuda. Omnibus juga melekat sebagai metode pembentukan peraturan. Dan, Indonesia telah melakukan eksperimen untuk menggunakan metode omnibus ini melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Undang-Undang Cipta Kerja ini telah sempat diajukan pengujian ke Mahkamah Konsitutusi dan melalui putusan nomor 91/PUU-XVIII/2020 Mahkamah Konstitusi menyatakan pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan’. Mahakmah Konstitusi juga menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan Mahkamah Konstitusi itu. Mahkamah memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka Undang-Undang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.

Salah satu isu yang digaungkan sebagai kelemahan dari Undang-Undang Cipta Kerja adalah adanya cacat formil, yakni bahwa metode omnibus ini tidak sesuai dengan metode pembentukan peraturan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019. Selain itu, disinyalir bahwa terjadi sedikitnya keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna dalam proses pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja itu. Hal inilah yang rupanya ingin sekalian ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Artinya, undang-undang ini memuat misi khusus, yaitu bertujuan untuk menambahkan satu metode baru, yaitu metode omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Tentu saja, kata “menambahkan” di sini terbilang terlambat karena kehadiran metode ini sudah terlanjur digunakan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020. Di dalam konsiderans menimbang Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 terdapat kata-kata: “[B]ahwa untuk mewujudkan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang terencana, terpadu, dan berkelanjutan dibutuhkan penataan dan perbaikan mekanisme Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sejak perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan hingga pengundangan dengan menambahkan antara lain pengaturan mengenai metode omnibus dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna.”

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, metode omnibus adalah metode penyusunan peraturan perundang-undangan dengan cara: (1) memuat materi muatan baru; (2) mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama; dan/atau (3) mencabut peraturan perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama, dengan menggabungkannya ke dalam satu peraturan perundang-undangan” untuk mencapai tujuan tertentu. Redaksi “satu peraturan perundang-undangan” ini sebenarnya kurang tepat, karena kata “peraturan perundang-undangan” sendiri tidak sekadar berarti norma hukum tertulis sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, melainkan berkonotasi jamak seperti yang dimaknai Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Akan lebih jelas apabila digunakan kata-kata “…dengan menggabungkannya ke dalam satu undang-undang.” 

Cara pertama yang disebutkan di atas, jika digunakan sebagai satu-satunya cara, tentu bukan ciri khas dari metode omnibus. Di dalam metode omnibus, keunikannya justru muncul karena ada tindakan mengubah dan/atau mencabut. Justru karena ada yang diubah dan dicabut itulah, maka timbul kebutuhan pengaturan materi muatan baru. Setelah itu, semua perubahan, pencabutan, dan pengaturan baru itu digabung menjadi satu jenis (tunggal) peraturan perundang-undangan. Jenis peraturan perundang-undangan yang paling memungkinkan adalah undang-undang. Jika jenisnya di bawah undang-undang, maka risiko perbenturan norma-norma di level berbagai undang-undang yang memayungi peraturan omnibus itu bakal menjadi problematika tersendiri yang lebih kompleks.

Banyaknya peraturan perundang-undangan yang saling bersilangan kerap dituding sebagai penyakit yang menghinggapi sistem hukum kita. Obesitas peraturan seperti itu membuat pengambilan kebijakan menjadi lamban dan menjadi ongkos eksternalitas negatif. Logika sederhananya adalah bahwa memangkas ongkos eksternalitas sama dengan memangkas peraturan. Logika seperti ini pada era Orde Baru dulu dikenal sebagai deregulasi dan debirokratisasi.

Metode omnibus, dengan demikian, sangat memerlukan kecepatan dalam pembentukannya. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat dibiarkan untuk membahas puluhan undang-udang itu satu per satu, dipastikan akan menyita waktu yang sangat lama. Sebagai gambaran, kinerja fungsi legislasi DPR periode 2019–2024 pada Masa Persidangan I hingga Masa Persidangan V Tahun Sidang 2021–2022, hanya mampu merampungkan 32 RUU untuk disetujui menjadi undang-undang. Di luar itu ada 24 RUU yang sedang dalam tahap penyusunan dan sembilan RUU yang masuk tahap pembicaraan tingkat satu. Jangan pula ditanya mengenai materi muatan dari berbagai undang-undang yang lahir dari periode tersebut, karena sebenarnya produk fungsi legislasi DPR itu banyak yang memuat materi yang repetitif, misalnya sejumlah undang-undang serupa tentang provinsi-provinsi di Indonesia. Apabila kinerja DPR itu dibandingkan dengan satu undang-undang yang bernama Undang-Undang Cipta Kerja, akan terlihat betapa fantastisnya metode omnibus ini. Undang-Undang Cipta Kerja itu saja berisi 11 klaster dengan menggabungkan 79 undang-undang yang di dalamnya menyangkut aturan tentang ketenagakerjaan, penyederhaan perizinan, persyaratan investasi, hingga administrasi pemerintahan.

Sangat lazim terjadi bahwa tuntutan kecepatan akan bersandingan dengan kekuranghati-hatian. Hal ini terjadi pada Undang-Undang Cipta Kerja yang mencatat rekor kesalahan ketik yang terkadang mengernyitkan alis.

Namun, hal itu bukan satu-satunya catatan yang mengganggu. Proses pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja yang kurang melibatkan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) telah menjadi keprihatinan. Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 mencoba menjawab hal ini dengan mengatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secaralisan dan/ atau tertulis dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun, seperti apakah partisipasi itu harus dilakukan? Pasal 96 ayat (5) mengatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dalam Peraturan DPR, Peraturan DPD, dan Peraturan Presiden.”

Ini berarti konsiderans menimbang dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tidak terjawab di dalam batang tubuh undang-undang ini. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tidak memuat aturan itu, melainkan melimpahkan kewenangannya pengaturannya ke DPR, DPD, dan Presiden melalui jenis peraturan lain.

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 hanya memuat pesan singkat, “Penguatan keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna dilakukan secara tertib dan bertanggung jawab dengan memenuhi tiga prasyarat; yaitu pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).”

Ironisnya, bahwa di tengah keinginan kita untuk mencari tahu tentang metode omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan itu, kita tetap belum menemukan jawaban yang memuaskan. Undang-undang ini memang sudah mendengarkan dan mempertimbangkan pertanyaan fundamental kita tentang metode ini dan pentingnya keterlibatan dan partisipasi masyarakat, tetapi ia belum mampu — atau paling tidak masih menunda — untuk memberikan penjelasan. (***)


 


Published at : Updated

Periksa Browser Anda

Check Your Browser

Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

We're Moving Forward.

This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

  1. Google Chrome
  2. Mozilla Firefox
  3. Opera
  4. Internet Explorer 9
Close