People Innovation Excellence

FILSAFAT HUKUM ISLAM DAN SUFISME

Oleh SHIDARTA (Januari 2023)

Dalam sebuah diskusi di kelas Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), saya mendapati satu pernyataan (bukan pertanyaan) menarik dari seorang peserta mata kuliah Filsafat Ilmu Hukum yang mengatakan bahwa kajian-kajian filsafat itu tidak tepat jika dihubungkan dengan wacana keagamaan. Dengan perkataan lain, diskursus agama tidak membutuhkan filsafat. Ia bahkan memberikan contoh, bahwa untuk memahami hukum Islam, kita tidak perlu menggunakan perspektif filsafat. Apabila ini dilakukan, maka akhirnya hukum Islam bakal mengarah ke sufisme.

Kendati pendapatnya berangkat dari perspektif Islam, sebenarnya pandangan seperti ini dapat saja muncul dari sudut pandang agama-agama lain di luar Islam. Oleh sebab itu, tulisan ini mudah-mudahan dapat menjadi bahan renungan, mewakili skeptisisme serupa, terlepas dari apapun kaca mata agama yang digunakan. Apabila penulis, dengan segala keterbatasan yang dimiliki, berusaha memberi catatan dengan menggunakan referensi [hukum] Islam, semata-mata demi mencari fondasi yang sama dengan basis pernyataan dari peserta program doktor itu.

Demikianlah, bahwa tidak dapat dihindari bahwa sumber utama yang digunakan untuk kajian hukum pada setiap agama adalah kitab suci masing-masing. Dalam Islam, Al-Quran adalah sumber yang paling utama, yang kemudian diikuti dengan Sunnah Rasul di tempat kedua. Sumber berikutnya yang kerap dijadikan referensi adalah ijtihad (kendati ada juga yang memasukkan urutan sesudah sunnah adalah ijma dan qiyas). Dari ijtihad inilah kita menemukan pintu masuk ke area filsafat.

Para filsuf biasanya mencari justifikasi atas pintu masuk itu dengan menceritakan satu kasus semasa Rasulillah Muhammad SAW masih hidup. Diceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah menugaskan seorang sahabat bernama Mu’adz bin Jabal untuk menjadi hakim di Negeri Yaman. Terjadi dialog di antara keduanya. Rasul bertanya kepada Mu’adz, tentang cara Mu’adz harus memutus perkara hukum yang bakal dihadapinya di tempatnya bertugas nanti. Mu’adz menjawab bahwa ia akan memutus dengan dasar Al-Quran. Jawaban ini diteruskan oleh Rasul dengan pertanyaan berikutnya, yaitu  bagaimana jika dalam Al-Quran itu tidak ditemukan ketentuannya. Mu’adz menjawab bahwa ia mengacu ke Sunnah Rasul. “Bagaimana jika dalam Sunnah Rasul tidak kau temukan juga ketentuannya?” Mu’adz berkata, “Saya akan berijtihad dengan akalku dan tidak akan membiarkan suatu perkara tanpa ada penyelesaiannya!” Mendengar jawaban itu, Rasulullah menepuk dada Mu’adz dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik-Nya kepada utusan dari Rasulullah, sesuai dan melegakan hati Rasulullah.” (Hadis riwayat Al_Baghawi berasal dari Mu’adz bin Jabal).

Ijtihad dengan akal seperti yang disampaikan Mu’adz bin Jabal dipandang sebagai tindakan berfilsafat. Filsafat mengajarkan kita untuk berani untuk tahu (sapere aude) dengan mengerahkan semua kemampuan olah pikir kita. Berijtihad memiliki kesamaan dengan itu, yaitu berani untuk mencari jawaban dengan akal sehat. Seperti halnya berfilsafat, tentu berijtihad tidak dapat dilakukan tanpa modalitas berpikir yang mumpuni. Kata “akal sehat” di sini menunjukkan persyaratan lain, yaitu iktikad baik yang bertujuan mencari kebenaran sejati, bukan sekadar mengejar pembenaran pragmatis.

Sekalipun demikian, tetap dapat dimaklumi, apabila ada sejumlah kalangan yang mengharamkan filsafat karena berangkat pada persepsi bahwa “akal sehat” di sini bukan segalanya, bahkan pemujaan pada “akal sehat” bakal menjerumuskan orang pada kekufuran. Filsafat diyakini kalangan ini, pastilah akan mendorong orang untuk terlalu memuja penggunaan rasio, sehingga hal-hal yang tidak rasional, akan ditolak mentah-mentah. Sebagai contoh, dikatakan bahwa filsafat tidak akan mau menerima keberadaan Tuhan atau meyakini ada kehidupan sesudah kematian.

Rasio atau akal sehat memang menjadi modalitas yang sangat penting dalam berfilsafat, namun mengidentikkan filsafat (secara epistemologis) dengan rasionalisme saja, adalah suatu kekeliruan yang berujung fatal. Konklusi dari kekeliruan ini bakal sampai pada stigmatisasi dengan melabelkan aktivitas filsafat sebagai kekufuran (lihat misalnya ceramah Assim al Hakeem di platform Youtube).

Bagaimana kita dapat membenarkan pemikiran demikian tatkala kita disodorkan nama-nama besar seperti Ibn Rusyd (1126–1198) yang berhasil melahirkan karya-karya monumental dalam filsafat, fiqih, kedokteran, astronomi, fisika, dan linguistik? Bagaimana mungkin kita dapat menafikan kualitas karya-karya yang penuh kedalaman filsofis itu dengan menstigmasisasinya secara negatif? Terbukti karya-karya itu telah menghiasi khazanah keemasan Islam dan masih dibaca secara luas sampai sekarang.

Ibn Rusyd hanya sedikit dari deretetan nama-nama filsuf besar yang dilahirkan di dalam dunia Islam, yang notabene mereka tidak lalu bergeser meninggalkan akidah mereka atau berubah dari semula percaya kepada Tuhan menjadi sebaliknya. Bahkan, boleh jadi mereka justru berusaha menjawab pesan di dalam al-Quran yang banyak terdiri dari ayat-ayat yang diakhiri dengan kata-kata: afala ta’qilun (apakah kamu tidak berakal), afala tatafakkarun (apakah kamu tidak berpikir) atau afala yatadabbarun (apakah mereka tidak merenung). Dari sini dapat disimpulkan bahwa manusia memang ditakdirkan untuk menjadi mahluk yang berpikir dan reflektif. Dalam arti luas, takdir seperti itu bermakna sebagai berfilsafat. Persis seperti kata Aristoteles (382-322 SM), bahwa manusia adalah ens metaphysicum, yang berarti mahluk yang menurut kodratnya: berfilsafat.  

Benar, bahwa tidak semua mereka yang mempelajari filsafat Islam atau bahkan diklaim sebagai pengemuka filsafat Islam adalah penganut agama Islam. Hal ini dapat dibaca antara lain dalam buku karya Peter Adamson, yang membedakan antara “Islamic Philosophy” dengan “Arabic Philosophy” dan “Philosophy in the Islamic World”. Terminologi yang terakhir ini lebih disukai oleh Peter Adamson dan digunakannya sebagai judul bukunya. Para pembelajar filsafat Islam tidak harus Muslim, bukanlah sesuatu yang istimewa karena fenomena serupa juga terjadi pada pengkaji filsafat Kristen, Buddhisme, Hinduisme, dan sebagainya.  Artinya, fenomena itu  tetap tidak relevan untuk membenarkan hubungan kausalitas antara filsafat dan kekufuran.

Jika kita kembali pada  kisah Mu’adz bin Jabal di atas, dapat dipahami bahwa tugas untuk memutuskan suatu perkara hukum, bukanlah pekerjaan yang ringan. Tugas ini membutuhkan kedalaman berpikir dengan segala iktikad baik untuk memberi keputusan terbaik. Hal ini sejalan dengan makna kata “al-hukmu” (الحكم  ) atau jamaknya “ahkam,”  yang secara etimologis berarti putusan, penetapan, dan berkaitan juga dengan kekuasaan. Demikiran seriusnya “hukum” itu dalam pandangan Islam, sehingga kata “hukum” beserta kata-kata lain yang berakar dari kata ini tercantum setidaknya dalam 88 tempat di dalam AlQur’an. 

Satu kata yang dekat dengan kata “hukum” adalah kata “hikmah” yang dalam bahasa Indonesia kerap diartikan sebagai kebijaksanaan. Bahkan sila ke-4 dari Pancasila memuat kedua kata ini sekaligus, yaitu “hikmat kebijaksanaan”. Kata-kata ini berasal dari satu kata yang sama: “hakama” yang bermakna memutuskan atau menetapkan. Tentu saja, jika dikaitkan dengan makna dari “hikmah” berarti memutuskan secara bijaksana.

Dalam salah satu blognya, Quraish Shihab pernah menulis: “Hikmah diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan/diperhatikan akan menghalangi terjadinya mudharat dan atau kesulitan yang lebih besar, atau mendatangkan kemaslahatan dan  kemudahan yang lebih besar. Makna ini ditarik dari kata hakamah, yang berarti kendali, karena kendali menghalangi hewan/kendaraan mengarah ke arah yang tidak diinginkan atau menjadi liar. Memilih perbuatan yang  terbaik dan sesuai adalah perwujudan dari hikmah. Memilih yang terbaik dan sesuai dari dua hal yang buruk pun dinamai hikmah, dan pelakunya dinamai hakîm (bijaksana). Siapa yang tepat dalam penilaiannya dan dalam pengaturannya, maka dialah penyandang hikmah. Yang menonjolkan perbedaan dan memaksakan pendapatnya bukanlah orang bijak, bahkan  sikap semacam itu bertentangan dengan ajaran agama. Lebih-lebih, jika pelakunya mengatasnamakan agama. Sikap semacam ini dapat menjadikan orang lain berputus asa dari peranan agama, yakni menanamkan rasa damai, menghilangkan ketakutan dan kesedihan (QS.  al-Baqarah [2]: 38).”

Sejalan dengan pemahaman tersebut, maka seorang ahli hukum, terlebih-lebih yang berprofesi sebagai hakim, seharusnyalah ia memahami hukum dengan penuh hikmah, yaitu mengendalikan diri dengan mencari kebenaran yang sejati dan sebaliknya, berusaha menghindari keburukan. Singkatnya, ahli hukum tatkala berhujah (berargumentasi) tentang hukum, pada dasarnya harus memposisikan dirinya sedekat mungkin seperti seorang ahli hikmah.

Sangat menarik, bahwa kata “falsafah” pun mengandung makna yang kurang lebih sama dengan tuntutan berhikmah itu. Kata “falsafah” dalam bahasa Arab sangat dekat dengan terminologi serupa dari bahasa Yunani, yang menurut sejumlah literatur diintroduksi pertama kali oleh Pythagoras (570-490 SM). Pythagoras berkata, “Filsuf itu adalah pencinta kebijaksanaan.” Pecinta kebijaksanaan adalah pencari hikmah.

Persoalannya adalah bagaimana caranya mencari kebijaksanaan dalam berhukum? Secara teknis, caranya sama saja dengan belajar filsafat pada umumnya. Belajar filsafat hukum Islam pun mengajak kita untuk mencarinya tidak semata-mata dari teks (nas), tetapi melalui pendalaman makna yang melampaui teks. Untuk itu, di dalam filsafat hukum Islam dikenal satu istilah yang disebut dengan “illat.”  Bagi pembelajar filsafat hukum Islam, ada satu kaidah fikih yang kerap dikutip yakni “hukum itu berkisar bersama ‘illat-nya, baik ada atau tidak adanya.” Artinya, jika illat-nya ada, maka hukumnya ada. Sebaliknya, jika illat-nya tidak ada, maka hukumnya juga tidak ada. Kata “illat” di sini lazim dalam pembelajaran ilmu hukum disebut prinsip atau asas, atau bahkan lebih abstrak lagi, sebagai pesan-pesan moral.

Lalu, bagaimana dengan sufisme? Apakah benar seorang pembelajar filsafat Islam akan terbawa menjadi seorang sufis?

Dewasa ini, para pembelajar filsafat tidak selalu harus melakoni pandangan hidup dari ajaran filsafat yang dikuasainya. Para akademisi yang mengajarkan filsafat, sangat mungkin tahu banyak pemikiran filsafat tanpa harus berkewajiban melahirkan ajaran filsafatnya sendiri. Sebaliknya ada juga tokoh-tokoh yang memperkenalkan ajaran filsafatnya sendiri tanpa harus memahami pemikiran-pemikiran para filsuf lain. Contoh dari mereka ini, dalam khazanah Islam diwakili antara lain oleh penganut ajaran tasawuf yang disebut dengan sufisme tadi. Mereka ini sebenarnya sedang mengamalkan ajaran moral yang diyakini sebagai way of life (falsafah), yang pada hakikatnya berada pada aras yang berbeda dengan filsafat yang lebih kita maknai sebagai genetivus objectivus.

Hal yang ekstrem dari tasawuf dan sangat dikhawatirkan adalah sisi mistik dari gerakan zuhud (menjauhi hal-hal berbau duniawi) yang berlebihan. Porsi berlebihan dari aspek mistis inilah yang dihindari oleh filsafat yang memang pada hakikatnya mengalihkan cara bernalar dari mitos ke logos.

Patut dicatat bahwa tidak berarti semua pandangan sufisme itu selalu mempromosikan sisi mistis ini. Diogenes dari Sinope (413-323 SM) mendasarkan “gerakan zuhud” yang dilakoninya itu karena berpendapat bahwa itulah keutamaan hidup yang baik. Tidak ada pertimbangan mistis di sini. Demikian pula, dalam khazanah Islam, ada pula pemikir seperti Hamka (1908-1981) yang berpendapat sufisme tidak identik dengan gerakan zuhud. Hamka pernah menulis buku berjudul “Tasawuf Modern” (1983) yang mengajak orang untuk menerapkan sifat qanaah, ikhlas, dan tidak takut pada kefakiran dengan cara giat bekerja karena Allah SWT, apapun profesi atau pekerjaan yang ditekuni. Tasawuf, di mata Hamka, tidak dimaknai sebagai zuhud yang menyepi atau menjauhi dunia normal, melainkan justru harus aktif bekerja menghadapi tantangan duniawi.

Kesadaran untuk hidup dengan menjalankan kehidupan duniawi yang normal seperti itu tentu memiliki pembenaran juga secara filosofis. Filsafat mengajak kita untuk mengarungi dunia ini dengan memahami sebaik mungkin tentang dirinya dengan segala problem kemanusiaannya (sehingga terdapat cabang filsafat antropologia), alam semesta tempatnya hidup (kosmologia), dan Tuhan yang menciptakan diri dan alam semesta (teodecia). Pemahaman itu dilakukan secara reflektif melalui semua modalitas yang dikarunia-Nya, apakah itu berupa rasio, empiri, emosi, maupun intuisi.

Dengan demikian, belajar filsafat, terlebih-lebih bagi pembelajar hukum, adalah bagian dari ikhtiar untuk menjadikan si pembelajar menjadi lebih kritis dalam menjalankan profesinya dan pada gilirannya, juga dalam rangka mendapatkan pemahaman lebih mendalam dan penuh hikmah mengenai dirinya, alam semesta, dan Tuhan-Nya. Kekufuran dan sufisme bukan muara dari belajar filsafat itu dan sama sekali tidak ada hubungan kausalitas deterministis antara filsafat dan dua hal di atas. (***)



Published at : Updated

Periksa Browser Anda

Check Your Browser

Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

We're Moving Forward.

This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

  1. Google Chrome
  2. Mozilla Firefox
  3. Opera
  4. Internet Explorer 9
Close