REZA ZAKI SEBAGAI AHLI DALAM PERKARA PKPU DI PN JAKARTA PUSAT
Pada tangal 11 Agustus 2022, Dr. Muhammad Reza Syariffudin Zaki, S.H., MA atau Reza Zaki, dosen Business Law BINUS University, menjadi Ahli pada Perkara nomor 165/Pdt.Sus-PKPU/2022/PN.Niaga.Jkt.Pst.
Zaki memaparkan dalam persidangan mengenai bagaimana mengidentifikasi kepailitan terhadap perorangan atau badan hukum. Pasalnya terjadi perdebatan mengenai hal tersebut hingga terdapat argumentasi error in persona. Namun, Zaki mencoba menjelaskan dari pengertian dasar sebuah perjanjian hingga bagaimana mengidentifikasi sebuah perjanjian yang dilakukan oleh perorangan atau badan hukum.
Ia mengutip Ricardo Simanjuntak dalam bukunya Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, yang menyatakan bahwa kontrak merupakan bagian dari pengertian perjanjian. Perjanjian sebagai suatu kontrak merupakan perikatan yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat para pihak yang pelaksanaannya akan berhubungan dengan hukum kekayaan dari masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut.
Pada intinya, kontrak adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang melahirkan suatu kewajiban, baik untuk berbuat maupun tidak berbuat sesuatu.
Pasal 1320 KUHPerdata mengatur 4 syarat sah perjanjian yaitu:
- Kesepakatan para pihak
Kesepakatan berarti ada persesuaian kehendak yang bebas antara para pihak mengenai hal-hal pokok yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal ini, antara para pihak harus mempunyai kemauan yang bebas (sukarela) untuk mengikatkan diri, di mana kesepakatan itu dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam. Bebas di sini artinya adalah bebas dari kekhilafan, paksaan, dan penipuan. Secara a contrario, berdasarkan Pasal 1321 KUHPerdata, perjanjian menjadi tidak sah, apabila kesepakatan terjadi karena adanya unsur-unsur kekhilafan, paksaan, atau penipuan.
- Kecakapan para pihak
Menurut Pasal 1329 KUHPerdata, pada dasarnya semua orang cakap dalam membuat perjanjian, kecuali ditentukan tidak cakap menurut undang-undang.
- Mengenai suatu hal tertentu
Hal tertentu artinya adalah apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak, yang paling tidak barang yang dimaksudkan dalam perjanjian ditentukan jenisnya dan merupakan barang-barang yang dapat diperdagangkan.
- Sebab yang halal
Sebab yang halal adalah isi perjanjian itu sendiri, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum.
para pihak juga harus taat kepada substansi perjanjian yang telah disepakati seperti halnya yang diatur di dalam asas Pacta Sunt Servanda atau ‘janji harus ditepati’ (agreements must be kept) berdasarkan Vienna Convention 1969.
Pengaturan tentang asas pacta sunt servanda pada hukum positif, diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) dan (2) KUHPerdata yang mengatur:
(1) Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya;
(2) Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Dalam Hukum Islam, asas pacta sunt servanda dikenal dengan asas al-hurriyah (kebebasan). Asas al-hurriyahmerupakan prinsip dasar dalam hukum perjanjian/akad. Berdasarkan asas al-hurriyah, para pihak diberikan kebebasan melakukan perjanjian. Para pihak diberikan kebebasan untuk melakukan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi/materi, mekanisme, model perjanjian, menetapkan mekanisme penyelesaian sengketa, dan sebagainya.
Perbuatan hukum dengan membuat perjanjian, dimana di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.
Oleh karena itu, akibat hukum yang timbul salah satunya adalah kepailitan sebagaimana yang diatur menurut Pasal 1 ayat (11) UU 37/2004, setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi termasuk korporasi yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum dalam likuidasi. Artinya, pengaturan kepailitan berdasarkan hukum kepailitan di Indonesia tidak membedakan antara kepailitan badan hukum maupun orang perorangan. Dengan demikian, ruang lingkup akibat kepailitan baik orang perorangan maupun korporasi sama-sama diatur di UU 37/2004. Berbicara mengenai akibat hukum dari kepailitan, sejak saat putusan pernyataan pailit diucapkan, maka seluruh kekayaan debitur perseorangan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan akan berada dalam sitaan umum.
Oleh sebab itu, perlu dilihat dalam perjanjian awal apakah perjanjian dilakukan oleh orang per orangan atau badan hukum. Cara membedakannya sangat mudah. Pertama, jika perorangan, di dalam keterangan biodata hanya menyebutkan nama, alamat lengkap, NIK, pekerjaan/jabatan. Kedua, jika badan hukum, maka di dalam perjanjian disebutkan kalimat (Nama Direktur) bertindak untuk dan atas nama PT X, beralamat di…, sebuah perusahaan Badan Hukum Perseroan Terbatas yang didirikan berdasarkan Akta Pendirian Nomor….., yang dibuat dihadapan Notaris X, S.H. tanggal… dan telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM RI berdasarkan Surat Keputusan tanggal…, Nomor…, Selanjutnya disebut PERUSAHAAN/PIHAK PERTAMA.
Dari sisi inilah maka persoalan kepailitan baik ditujukan kepada perorangan maupun badan hukum bisa dibuktikan secara tegas dan terang benderang melalui the original agreement yang sudah dibuat oleh PARA PIHAK sebelumnya. (***)
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...