People Innovation Excellence

HAK BERAGAMA SEBAGAI HAK YANG TIDAK DAPAT DIKURANGI DALAM KEADAAAN APAPUN (NONDEROGABLE RIGHT) DI INDONESIA

Oleh ERNA RATNANINGSIH (Juni 2022)

Tulisan ini adalah versi tertulis dari naskah orasi yang disampaikan penulis dalam acara Dies Natalis ke-11 Jurusan Hukum Bisnis (Business Law) BINUS, tanggal 6 Juni 2022.

1. Pendahuluan

Konflik antar-umat beragama sama tuanya dengan umat beragama itu sendiri. Sejarah mencatat bahwa konflik yang terjadi di dunia seperti konflik antar umat Islam dengan Kristen di Eropa yang terkenal dengan perang Salib (1096-1271 M), konflik Islam dan Kristen di Moro (Filipina), pembantaian muslim Rohingnya oleh umat Budha di Myanmar. Di Indonesia yaitu konflik di Poso antara umat Islam dan kristen, Ahmadiyah serta konflik Syiah di Jawa Timur. Baru-baru ini ustad Abdul Somad dideportasi dari Singapura dengan alasan dianggap sebarkan ajaran eskremis dan segregasi yang tidak diterima di mayarakat multi-ras dan multi-agama di Singapura, pernah ceramah bahwa bom bunuh diri adalah sah dalam konflik Israel dan Palestina dan dianggap syahid, pernah merendahkan agama lain dengan menggambarkan salib sebagai tempat tinggal jin kafir dan menyebut non-muslim “kafir”. Agama di sini menjadi sumber konflik yang menimbulkan perpecahan di kalangan umat/masyarakat yang pada akhirnya akan banyak menimbulkan korban, hidup dalam ketakutan dan ancaman kematian; sehingga ada yang berpendapat “tanpa adanya agama dapat menimbulkan kedamaian” sebagaimana penggalan lirik lagu Imagine oleh John Lennon (The Beatles):

Imagine there’s no countries; It isn’t hard to do; Nothing to kill or die for; And no religion too; Imagine all the people; Living in peace… You.

Upaya untuk menciptakan kedamaian di masyarakat sekaligus menciptakan suasana aman, tertib dan sejahtera dalam keberagaman masyarakat Indonesia tidaklah mudah. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat religius sehingga aspek-aspek kehidupan berdasarkan pada nilai-nilai keagamaan. Indonesia tidak mengakui kebebasan untuk tidak beragama (ateisme), namun hak beragama. Dalam Konstitusi ditegaskan negara Indonesia berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu, dalam orasi ilmiah ini saya akan memaparkan “Hak Beragama sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (nonderogable rights)” kedalam tiga bagian yaitu pentingnya hak beragama yang akan ditinjau berdasarkan konvensi internasional. Kedua, hak beragama sebagai nonderogable right dalam kerangka hukum nasional dan penafsiran Mahkamah Konstitusi tentang hak beragama di Indonesia.

2. Hak Beragama, Mengapa Penting?

Masalah HAM yang sering melahirkan perdebatan dan kontroversi adalah hak kebebasan beragama. Kebebasan untuk memilih dan menentukan keyakinan atau agama merupakan hak paling fundamental. Agama tidak bisa dipaksakan karena hal ini akan menafikan nilai keyakinan itu sendiri. Hak atas kebebasan beragama atau hak beragama telah dijamin dalam UUD 1945 dan UU HAM. Dalam rumusan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945, Pasal 4 UU HAM, maupun Pasal 18 Ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights (ICPPR), hak beragama selalu dirangkaikan dengan kebebasan berpikir dan kebebasan nurani. Menurut Franz Magnis-Suseno, kebebasan beragama sebagaimana kebebasan berpikir, merupakan realisasi terpenting kebebasan suara hati atau nurani. Kebebasan berpikir maupun kebebasan beragama, termuat langsung dalam kebebasan suara hati.[1]

Franz Magnis-Suseno selanjutnya menjelaskan, sebagai makhluk yang berakal budi, maka pengakuan nurani manusia terhadap Realitas Adikodrati dan mutlak tidak dapat dipaksakan, melainkan hanya dapat diberikan secara bebas. Oleh karenanya, dalam kebebasan beragama setiap orang berhak untuk menentukan sendiri apakah dan bagaimanakah ia beragama atau tidak, untuk hidup sesuai dengan keyakinan keagamaannya sendiri, mengamalkan dan mengkomunikasikan agamanya kepada orang lain, memilih kepercayaan atau agama yang diyakininya, meninggalkan agamanya yang lama dan memeluk agama baru yang diyakininya, dan untuk tidak didiskriminasikan karena agama atau keyakinannya.[2] Kebebasan beragama juga memuat kebebasan untuk tidak beragama. Orang tidak bisa dipaksa untuk mengakui Tuhan. Demi alasan yang sama, seseorang juga tidak boleh dipaksa untuk beragama. Untuk itu, negara wajib untuk menghormati kebebasan agama dan melindunginya dari segala rongrongan. Tugas negara untuk menjamin agar kebebasan beragama satu pihak tidak merugikan orang lain, merampas hak-haknya dan menganggu ketertiban umum.[3]

Penjelasan Franz Magnis-Suseno menyentuh aspek internal dan eksternal hak beragama. Kedua aspek tersebut sudah diakui universal, tidak hanya secara historis sebagai norma internasional, tetapi juga sebagai prinsip-prinsip demokrasi. Seperti dikemukakan Dawood Ahmed, tidak ada negara yang dianggap demokratis jika tidak menjamin kebebasan berkeyakinan dan menjalankan agama.[4] Dawood menambahkan, pengakuan universal hak beragama bersama pengakuan hak-hak kebebasan lainnya, sebagai dasar-dasar konstitusional untuk menetapkan negara demokratis tidak dapat: (a) melarang ekspresi keagamaan secara damai selama tidak mengganggu ketertiban umum atau melanggar hak orang lain; (b) menegakkan kesatuan atau kepatuhan dalam hal keyakinan atau praktik keagamaan; atau (c) menghukum atau mendiskriminasi terhadap orang-orang karena keyakinan atau identitas agama mereka.[5]

Pengakuan tersebut menunjukkan betapa pentingnya hak beragama. Namun apa yang membuat hak beragama menjadi penting. Dalam hal ini W. Cole Durham menjelaskan, pentingnya hak beragama karena melindungi keyakinan individu maupun komunitas yang sangat berbeda untuk mendapatkan penghormatan, martabat dan kesetaraan atas dasar keyakinannya. Kebebasan beragama memberikan dasar perlindungan hukum tanpa merasa terancam atau diperlukan diskriminasi. Lebih dari itu, kebebasan beragama sangat penting karena memfasilitasi kemampuan manusia untuk membangun dunia sosial yang terbuka untuk menjadi manusia lebih baik lagi.[6] John Rawls bahkan menegaskan, kebebasan yang setara dalam berkeyakinan adalah satu-satunya prinsip yang dapat diakui individu-individu dalam posisi yang asali. Sehingga tidak dapat dibiarkan doktrin religius atau moral yang dominan untuk menganiaya atau menindas orang lain sekehendaknya.[7]

Pendapat Durham dan Rawls membantu menguatkan pemahaman akan justifikasi normatif pentingnya hak beragama. Penempatan hak beragama sebagai salah satu hak yang tidak dapat dikurangi (nonderogable right) dalam konstitusi maupun kovenan internasional, menjadi dasar bahwa hak beragama harus selalu diutamakan, tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun. Ini satu penanda penting bagi hak beragama. Disamping itu, diyakini hak atas kebebasan beragama dapat berkontribusi pada pencapaian tujuan perdamaian dunia, keadilan sosial, persahabatan serta penghapusan idiologi dan diskriminasi rasial. Keyakinan ini menjadi penanda kedua yang dinyatakan dalam Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan, “Meyakini bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan juga harus berkontribusi pada pencapaian tujuan perdamaian dunia, keadilan sosial dan persahabatan di antara orang-orang dan penghapusan ideologi atau praktik kolonialisme dan diskriminasi rasial. (Convinced that freedom of religion and belief should also contribute to the attainment of the goals of world peace, social justice and friendship among peoples and to the elimination of ideologies or practices of colonialism and racial discrimination)”.[8]

3. Hak Beragama Sebagai Nonderogable Right vs Pembatasan

Jaminan dan perlindungan atas hak beragama, ditentukan pula dengan mengelompokkan hak beragama sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (nonderogable rights).Pengelompokkan hak-hak nonderogable ini tercantum dalam Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 4 UU HAM, yang mengatur sebagai berikut;[9]

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

 Rumusan Pasal 28I Ayat (1) seakan menegaskan bahwa hak beragama bersama hak-hak lainnya yang diidentifikasi sebagai nonderogable rights, harus selalu dijamin dan dilindungi dalam keadaan apapun, termasuk keadaan perang, sengketa senjata dan atau keadaan darurat sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 4 UU HAM.  Frase “dalam keadaan apapun” memberikan arti lebih bahwa hak beragama sebagai nonderogable right bersifat mutlak atau absolut, yang harus dilaksanakan setiap saat, tidak boleh dilanggar, ditangguhkan ataupun dikurangi. Perlakuan berbeda ini menjadi sesuatu yang wajar  karena seperti dikatakan Teraya Koji, hak-hak yang tidak dapat dikurangi (nonderogable) adalah sebagai bagian yang sangat berharga dari hak asasi manusia.[10]

Pengelompokkan beberapa hak sebagai nonderogable rights pada faktanya terdapat dalam ICCPR dan konvensi hak asasi manusia regional Eropa, Amerika dan Afrika. Perlakuan ini menyiratkan adanya perbedaan antara hak-hak yang bisa dikurangi dengan hak-hak yang tidak boleh dikurangi, dan wajar kemudian jika ada yang menyimpulkan bahwa hak-hak dalam nonderogable rights lebih fundamental atau asasi.[11] Bahkan dapat dianggap mempunyai karakteristik sebagai ius cogens,[12] yaitu norma-norma yang tidak pernah boleh dicabut, tidak dapat diubah (peremptory) atau dibatalkan, yang berlaku dan diterima masyarakat internasional baik dalam hukum hak asasi manusia internasional maupun dalam hukum internasional pada umumnya.[13] Hanya saja konsep jus cogensmasih menjadi perdebatan, dikarenakan selain tidak mudah untuk mengidentifikasi norma-norma jus cogens, juga belum ada kesepakatan apa yang saat ini merupakan norma-norma jus cogens.[14]

Terlepas dari itu, pengaturan non derogable rights dalam berbagai konvenan internasional, terkait dengan pengaturan tentang keadaan darurat (public emergency). Seperti halnya dalam ketentuan ICCPR, yang membolehkan negara jika keadaan darurat (public emergency) untuk mengambil langkah-langkah yang dapat mengurangi kewajiban hak asasi manusia (derogation rights), asalkan tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang lain, hukum internasional dan mengandung diskriminasi.[15] Namun, meski dalam keadaan darurat, pengurangan hak tidak berlaku bagi sejumlah hak asasi yang telah ditentukan (nonderogable rights) yaitu; hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperbudak, hak atas kebebasan berpikir dan beragama serta berkeyakinan, hak untuk diperlakukan sama di muka hukum, hak untuk tidak dipenjara karena kegagalan memenuhi kewajiban kontrak, serta hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut (retroactive).[16]

Berdasarkan ketentuan ICCPR, non derogable right diletakkan dalam konteks pengaturan negara dalam keadaan darurat (public emergency). Nonderogable rights adalah pengecualian dalam keadaan darurat, yang tidak membenarkan tindakan negara untuk melanggar, menangguhkan atau mengurangi beberapa hak asasi yang telah ditentukan. Dalam keadaan darurat, non derogable rights tetap dilaksanakan secara maksimal dan negara atau penguasa darurat pada pokoknya tetap menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Namun apa yang dimaksud “keadaan darurat”, tidak dijelaskan dalam ICCPR.

Dalam hal ini Jimly Asshiddiqie menjelaskan, keadaan darurat dalam hukum tata negara dikenal dengan istilah state of emergency (Inggris, Amerika Serikat), etat de siege (Prancis), staatsnood (Belanda) dan lain-lain. Semua istilah itu menunjuk kepada pengertian keadaan luar biasa atau keadaan di luar kebiasaan yang memberikan pembenaran bagi berlakunya hukum yang juga luar biasa, di luar kebiasaan normal.[17] Oleh karena itu, keadaan darurat disebut juga sebagai “state of exception”, keadaan yang tidak normal. Dalam keadaan itu, masing-masing berlaku hukum yang berbeda. Dalam keadaan normal, berlaku hukum yang norma yang bersifat tetap, sedangkan dalam keadaan tidak normal, berlaku hukum darurat yang bersifat sementara.[18] Jimly menambahkan, selain bersifat sementara, keadaan darurat harus dimaksudkan untuk mengatasi keadaan darurat atau krisis, dan mengembalikan keadaan normal sebagaimana biasanya guna mempertahankan hak-hak asasi manusia yang bersifat fundamental.[19]

Keadaan darurat atau keadaan yang tidak normal cukup luas dimensinya. Setiap negara dapat mengalami keadaan darurat yang timbul dari dalam ataupun dari luar negara seperti perang, invasi, pemberontakan bersenjata, serangan teroris, bencana alam, epidemi, atau jenis krisis atau bencana lainnya.[20] Dalam menghadapi keadaan darurat, sebagian besar konstitusi demokratis dunia memasukkan ketentuan darurat yang memungkinkan pihak berwenang untuk melakukan tindakan khusus dan pengurangan hak konstitusional tertentu (biasanya tidak semua), demi mempertahankan keamanan dan integritas negara serta melindungi warga negaranya.[21] Tindakan pengurangan hak ini dilakukan melalui (a) undang-undang yang dibuat legislatif selama keadaan darurat, atau (b) perintah eksekutif yang disahkan oleh konstitusi atau undang-undang.[22]

Kembali ke pengaturan nonderogable rights, Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 tidak diletakkan dalam konteks pengaturan keadaan darurat, meski UUD 1945 memuat ketentuan tentang keadaan darurat sebagaimana diatur dalam Pasal 12 dan 22 UUD 1945. Dalam Pasal 12 UUD 1945 diatur, Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Sedangkan Pasal 22 (1) UUD 1945 ditentukan, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. UUD 1945 menggunakan istilah “keadaan bahaya” dan “hal ihwal kegentingan yang memaksa”, yang dalam pengertian praktis keduanya menunjuk kepada persoalan yang sama, yaitu keadaan yang dikecualikan atau keadaan darurat.[23]

Pengaturan non derogable rights cenderung dikaitkan dengan pembatasan hak yang diatur dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 sebagai berikut:

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Hukum hak asasi manusia internasional memang mengenal adanya pembatasan hak (limitasi), selain pengurangan (derogasi) hak asasi manusia. Derogasi dan limitasi merupakan cara yang dapat dilakukan oleh negara terkait dengan pertangggungjawaban hukum hak asasi manusia.[24] Jika derogasi bersifat sementara, yang dilakukan oleh negara dalam keadaan darurat, limitasi merupakan pembatasan hak yang dilakukan oleh negara dalam keadaan normal atau kondisi aman, yang waktunya lebih panjang bahkan tetap.[25] Alasan pembatasan ini, untuk mencegah terjadinya benturan atau konflik antara hak yang satu dengan hak yang lainnya. Satu hak dibatasi untuk memberikan ruang hak lain dapat dilaksanakan, sekaligus melindungi hak dan kebebasan yang lain.[26]

Pengaturan pembatasan dalam Pasal 28J Ayat (2) secara sistematika ditempatkan pada bagian akhir sebagai penutup, setelah pengaturan seluruh ketentuan hak asasi manusia dalam struktur Bab HAM UUD 1945. Oleh karena itu, pembatasan dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 dianggap berlaku untuk semua ketentuan hak asasi, termasuk non derogable rights. Dengan kata lain, ketentuan hak asasi yang diatur dalam Pasal 28A-28I UUD 1945 harus tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945.

Hal ini terjadi pada hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (non retroactive).[27] Non retroaktif adalah salah satu non derogable rights,[28] yang pengaturannya kemudian dikaitkan dengan pembatasan Pasal 28J Ayat (2) dalam UU HAM dan UU Pengadilan HAM. Jika dalam UU HAM pembatasan mengecualikan non retroaktif,[29] sebaliknya dalam UU Pengadilan HAM, retroaktif dimungkinkan bagi pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc.[30]

Masuknya retroaktif dalam UU Pengadilan HAM didasarkan atas kewajiban tunduk pada pembatasan Pasal 28J Ayat (2). Hal ini dinyatakan jelas dalam penjelasan umum UU Pengadilan HAM, “…Mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang berat seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berdasarkan hukum internasional dapat digunakan asas retroaktif, diberlakukan pasal mengenai kewajiban untuk tunduk kepada pembatasanyang ditetapkan dengan undang-undang sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 J Ayat (2) UUD 1945…”[31] Meski konteks dan tujuan berbeda sebagai upaya pengungkapan kasus-kasus HAM, namun ketentuan asas retroaktif dalam UU Pengadilan HAM bertentangan dengan pengakuan non retroaktif sebagai non derogable right dalam Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945.

Kewajiban tunduk kepada pembatasan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, bisa terjadi terhadap hak-hak non derogable lainnya. Dalam konteks hak beragama, jika kewajiban tunduk pada pembatasan dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 dilakukan, maka pembatasan tersebut dianggap berlaku untuk semua lingkup hak beragama. Padahal Pasal 18 Ayat (3) ketentuan ICCPR mengatur, hanya kebebasan untuk mengejawantahkan agama atau kepercayaan yang dapat dibatasi (dimensi eksternal/forum externum) oleh hukum. Sedangkan hak beragama dalam lingkup dimensi internal/forum internum, tidak ditentukan adanya pembatasan. Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 tidak mengatur secara jelas dan rinci mengenai lingkup pembatasannya.

Ketidakjelasan pengaturan pembatasan dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 menjadi bertambah dilematis, dikarenakan kewajiban pembatasan yang ditegaskan harus ditetapkan melalui undang-undang sebagai wadah hukumnya. Di satu sisi, penetapan pembatasan melalui undang-undang dapat dikatakan merupakan cara yang tepat, tetapi di sisi lain akan menempatkan ICCPR yang telah diratifikasi menjadi undang-undang harus mengikuti UUD 1945. Sesuai hierarki peraturan (stufentheorie) yang berlaku di Indonesia,[32] setiap jenis peraturan perundang-undangan didasarkan atas asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.[33] Sementara dalam hierarki peraturan hanya mengenal undang-undang di bawah UUD 1945 dan TAP MPR. Tidak dibedakan apakah undang-undang tersebut merupakan undang-undang dalam konteks “biasa” atau dalam konteks undang-undang ratifikasi.[34]

Selain sistematika-formal, substansi-materiil pengaturan hak beragama sebagai non derogable rights juga berbeda dengan pengaturan dalam konvensi internasional hak sipil dan politik. Perbedaan pertama, ketentuan hak beragama jika merujuk pada Pasal 18 Kovenan Hak Sipil dan Politik menyebutkan frase “agama atau kepercayaan” (religion or belief). Kata “agama (religion)” senantiasa disertai dengan kata “kepercayaan (belief)” yang melekat dalam pengaturan Pasal 18 Ayat (1), (2) dan (3) KIHSP. Hal ini berarti nonderogable right juga mencakup dan berlaku bagi para penganut kepercayaan. Sedangkan dalam ketentuan UUD 1945 maupun UU HAM, tidak terdapat frase “agama atau kepercayaan”. Hanya disebutkan hak beragama sebagai salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable right). Jika “kepercayaan” dipahami sebagai sesuatu yang berbeda dari agama, maka akan timbul penafsiran yang berbeda pula, bahwa nonderogable hanya berlaku bagi hak beragama dan tidak berlaku bagi hak kepercayaan.

Perbedaan kedua, pengaturan pembatasan dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD menambahkan “nilai-nilai agama” sebagai salah satu pertimbangan atau syarat pembatasan hak asasi manusia. “Nilai-nilai agama” dijumpai pula dalam UU HAM, sebagai salah satu syarat pembatasan hak untuk mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan melalui media cetak/elektronik.[35] Tidak ada penjelasan dalam UU HAM apa yang dimaksud dengan “nilai-nilai agama”. Anehnya, UU HAM juga mengatur pembatasan bagi semua hak dan kebebasan yang diatur dalam UU HAM tanpa “nilai-nilai agama” sebagai syarat pembatasannya.[36] Jelas pengaturan ini tidak sinkron dan saling bertentangan.

Dalam ICCPR, pengaturan pembatasan diatur melekat menyertai ketentuan jenis haknya, misalnya hak memilih tempat tinggal atau meninggalkan wilayahnya,[37] hak menyatakan pendapat[38] dan hak beragama atau berkeyakinan.[39] Namun tidak satu pun dalam pembatasan hak-hak tersebut menyebutkan “nilai-nilai agama” sebagai alasan pembatasan. Penambahan unsur “nilai-nilai agama” memberi ruang tafsir sangat luas, yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam pengaturan HAM di negara-negara lain maupun di dalam instrumen HAM internasional. Dapat disimpulkan, rumusan pembatasan itu merupakan bentuk pembatasan yang tak lazim dalamprinsip-prinsip pembatasan HAM.[40]

Perbedaan baik dari segi struktur-sistematika maupun materiil tersebut, menunjukkan kekurangan atau kelemahan pengaturan hak beragama sebagai non derogable right yang terdapat dalam UUD 1945 dan UU HAM. Kelemahan pengaturan hak beragama sebagai non derogable right, selain menyangkut masalah konsep non derogable right, terkait pula dengan masalah pengertian atau pemahaman agama dan atau kepercayaan, ruang lingkup hak beragama dan pembatasan hak asasi, yang menunjukkan adanya multi-interpretasi dan ketidaksinkronan dalam satu kesatuan sistem pengaturan.

Hak beragama sebagaimana hak non derogable lainnya, memiliki karakteristik, variable dan konteks yang berbeda. Jika tidak diatur secara jelas dan rinci, maka tidak hanya dapat menimbulkan masalah ketentuan yang rancu, bias dan saling bertentangan, tetapi lebih dari itu dapat mengurangi sifat kemutlakan non derogable rights, atau bahkan membuat tidak ada artinya lagi status sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.Berbagai kelemahan pengaturan hak beragama sebagai non derogable right, menunjukkan pengaturan tersebut tidak didasarkan pada asas-asas yang dinamakan Lon L. Fuller sebagai principles of legality. Salah satu asas dalam principles of legality dari Fuller adalah, pengaturan harus jelas dan tidak boleh mengandung ketentuan yang bertentangan satu sama lain.[41]

4. Tafsir Hak Beragama Pengawal Konstitusi

Jaminan hak beragama dalam kerangka relasi negara-agama yang khas Indonesia, pada satu sisi melahirkan kebijakan-kebijakan berkaitan dengan hak beragama dibuat negara. Kebijakan tersebut dapat dilihat misalnya melalui pembentukan Kementrian Agama dan Peradilan Agama, mengakomodasi hukum agama, khususnya bagi warga negara yang beragama Islam, serta menetapkan undang-undang yang dibuat berdasarkan Pasal 29 UUD 1945. Setidaknya ada lima (5) Undang-Undang yang dibentuk berdasarkan Pasal 29 UUD 1945 yaitu: (1) UU No. 1 Pnps Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama; (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah menjadi UU No 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan; (3) UU No. 38 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat; (4) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan (5) UU No. 13 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 8 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Haji.

Namun konteks kekhasan itu melahirkan pula problema kebijakan agama yang berimplikasi pada pelanggaran hak beragama. Problem kebijakan agama berlangsung sejak masa Orde Lama maupun Orde Baru,[42] dan terus menerus terjadi hingga sekarang ini. Salah satu kebijakan agama yang masih menjadi problem adalah UU No.1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama), yang dikukuhkan oleh UU No. 5 Tahun 1969 Tentang Penyertaan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang.[43] UU ini merupakan produk orde lama yang dikuatkan oleh orde baru dan terus dipergunakan hingga sekarang ini.

Berakhirnya rejim pemerintahan Orde Baru dan akomodasi hak asasi dalam UUD 1945 yang menegaskan status hak beragama sebagai nonderogable rights, tidak menjadikan pelanggaran hak beragama berhenti. Berbagai peraturan dibuat pemerintah pusat (maupun daerah) bertentangan dengan hak beragama,[44] yang berdampak pada maraknya intoleransi dan diskriminasi, bahkan tidak jarang dibarengi dengan tindak kekerasan. Maraknya tindakan pelanggaran atas kebebasan hak beragama, tak luput menjadi sorotan lembaga-lembaga pemerhati HAM baik nasional[45] maupun internasional.[46]

Hadirnya Mahkamah Konstitusi (MK) membuka jalan bagi penguatan perlindungan hak beragama, sekaligus meminimalisir atau mengakhiri berbagai pelanggaran atas hak beragama yang terjadi. MK sebagai pengawal konstitusi (the guardian constitution), berwenang untuk menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD. MK menjaga dan menempatkan kesesuaian undang-udang dengan konstitusi sebagai the supreme law of the land, sumber hukum tertinggi dan terpenting. Hakim konstitusi sebagai aktor utama untuk menjaga kaidah konstitusi, tidak hanya sebatas menilai (menguji), tetapi secara mutatis mutandis seperti dikatakan Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, termasuk menafsirkan konstitusi sebagai sarana aktualisasi atau up dating UUD (living constitution). Penafsiran hakim berperan penting dalam memperluas atau mempersempit kaidah-kaidah konstitusi, bahkan dapat menciptakan kaidah-kaidah konstitusi baru.[47]

Sejak tahun 2003-2020, penulis menemukan bahwa MK telah menguji dan memutus tujuh (7) jenis undang-undang yang judul ataupun substansi materi permohonan berkaitan dengan hak atas kebebasan beragama. Permohonan tersebut diajukan oleh berbagai pihak, yang menggunakan Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945 sebagai dasar atau batu uji permohonan. Ketujuh jenis undang-undang tersebut yaitu: UU Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, UU UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, UU 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, UU Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Diantara undang-undang tersebut, UU Penodaan Agama yang paling banyak dimohonkan dan diputuskan MK.[48]

Dalam memutus permohonan perkara-perkara tersebut, MK tidak hanya sekedar memberikan putusan yang mengabulkan atau menolak permohonan pengujian undang-undang, MK melalui pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan dalam putusan memberikan pula penjelasan atau penegasan terhadap masalah yang terkait dengan pengaturan hak beragama sebagai non derogable right. Namun demikian, penjelasan yang diberikan dalam putusan MK tidak selalu menjadi jawaban terhadap masalah tersebut. Selain karena putusan MK masih memerlukan tindak lanjut, terdapat persoalan keterbatasan ruang gerak MK dalam menafsirkan dan memberikan penjelasan dalam pertimbangan-pertimbangan putusannya.

Dalam putusannya MK mengakui, hak atas kebebasan beragama merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar (basic) dan fundamental bagi setiap manusia. Hak atas kebebasan beragama telah disepakati oleh masyarakat dunia sebagai hak individu yang melekat secara langsung, yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[49] Namun pada sisi lain MK juga berpandangan perlunya keseimbangan, HAM, bahwa kebebasan beragama yang diberikan kepada setiap manusia bukanlah merupakan kebebasan yang bebas nilai dan kebebasan an sich, melainkan kebebasan yang disertai dengan tanggung jawab sosial untuk mewujudkan HAM bagi setiap orang.[50]

Putusan MK juga menjelaskan bahwa hak dasar untuk menganut agama yang di dalamnya mencakup hak untuk menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, adalah bagian dari hak asasi manusia dalam kelompok hak-hak sipil dan politik. Artinya, hak untuk menganut agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu hak dalam kelompok hak-hak sipil dan politik yang diturunkan dari atau bersumber pada konsepsi hak-hak alamiah (natural rights). Sebagai hak asasi yang bersumber pada hak alamiah, hak ini melekat pada setiap orang karena ia adalah manusia, bukan pemberian negara. Dalam konteks Indonesia, pernyataan ini, bukan lagi sekadar sesuatu yang bernilai doktriner melainkan telah menjadi norma dalam hukum dasar (konstitusi) dan oleh karena itu mengikat seluruh cabang kekuasaan negara dan warga negara.[51]

Putusan MK menolak adanya tindakan atau praktik diskriminasi, terutama bagi penganut kepercayaan yang merupakan masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam meyakini kepercayaannya sesuai dengan jaminan yang diberikan dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945.[52] Dijelaskan dalam putusan MK, pengertian diskriminasi terdapat unsur perbedaan perlakuan tetapi tidak setiap perbedaan perlakuan serta-merta merupakan diskriminasi. Diskriminasi baru dapat dikatakan ada jika terdapat perlakuan yang berbeda tanpa adanya alasan yang masuk akal (reasonable ground) guna membuat perbedaan itu. Singkatnya, diskriminasi adalah memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama. Sebaliknya bukan diskriminasi jika memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang memang berbeda.[53]

Selain itu, putusan MK menyetujui adanya forum internum dan forum eksternum sebagai ranah atau wilayah dalam hak atas kebebasan beragama,[54] seperti dinyatakan dalam salah satu putusan sebagai berikut:[55]

“…beragama memiliki dua ranah dalam diri manusia. Pertama, adalah ranah dalam forum internum, yaitu ranah internal atau ranah batin seseorang yang faktanya merupakan ranah yang bersifat personal yang menjadi milik pribadi seseorang, sehingga di dalam ranah tersebutlah sesungguhnya kebebasan beragama menjadi milik pribadi sepenuhnya. Di dalam ranah tersebut seseorang bebas mempercayai atau mengimani suatu ajaran agama yang diyakininya dari Tuhan. Kedua, adalah ranah dalam forum externum, yaitu ranah eksternal atau ranah pelaksanaan atau pengamalan ajaran dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan media fisik, baik berupa tutur kata, tingkah laku, atau perbuatan yang lain, atau dengan menggunakan media harta benda, sehingga forum externum memiliki relasi sosial”.

Dalam ranah hak beragama tersebut, MK menyatakan bahwa peran negara bukan dimaksudkan untuk membatasi keyakinan seseorang (forum internum), melainkan lebih dimaksudkan pada pembatasan terhadap ekspresi beragama melalui pernyataan dan sikap sesuai hati nurani di muka umum (forum eksternum) sehingga tidak menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut.[56]

Putusan-putusan MK mengedepankan pula prinsip “Ketuhanan (teistik)” dalam konteks negara hukum, penghormatan hak asasi manusia maupun hubungan antara negara dan agama berdasarkan falsasah dan konstitusi (UUD 1945). Prinsip Ketuhanan ini dapat dilihat dari pertimbangan putusan MK yang menyatakannya sebagai berikut:[57]

Penghormatan Negara Indonesia atas berbagai konvensi serta perangkat hukum internasional termasuk hak asasi manusia haruslah tetap berdasarkan pada falsafah dan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia; Dalam kerangka itulah kita memaknai prinsip negara hukum Indonesia yang tidak harus sama dengan prinsip negara hukum dalam arti rechtsstaat maupun the rule of law. Prinsip negara hukum Indonesia harus dilihat dengan cara pandang UUD 1945, yaitu negara hukum yang menempatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip utama, serta nilai-nilai agama yang melandasi gerak kehidupan bangsa dan negara, bukan negara yang memisahkan hubungan antara agama dan negara (separation of state and religion), serta tidak semata mata berpegang pada prinsip individualisme maupun prinsip komunalisme…”

“…Bahwa ideologi negara Indonesia yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa juga dinyatakan dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Prinsip Ketuhanan yang diamanatkan dalam UUD 1945 tersebut merupakan perwujudan dari pengakuan keagamaan. Sebagai negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa maka tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh warga negara mempunyai hubungan yang erat dengan agama…”

Bahkan MK tidak menolak penggunaan tafsir atau nilai agama, sebagai salah satu pertimbangan untuk membatasi hak asasi manusia. Bagi MK, walaupun terdapat kebebasan untuk melakukan penafsiran terhadap ajaran suatu agama, namun kebebasan dimaksud harus tetap memperhatikan pokok-pokok ajaran suatu agama dan itupun hanya dapat dilakukan sesuai dengan metodologi yang telah diakui dan diterima dalam forum internum penganut agama yang bersangkutan.[58]

Last but not least adalah ketika putusan MK terkait hak beragama ini, “tunduk” pada pembatasan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945. MK berpendirian bahwa hak asasi manusia bukanlah hak tanpa batas, hak asasi manusia tidaklah bersifat mutlak. Berdasarkan penafsiran secara sistematis hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945 yang merupakan satu-satunya pasal yang mengatur tentang kewajiban asasi.[59] Pendirian untuk tunduk pada pembatasan dalam Pasal 28J UUD 1945 itu sudah dikemukakan MK dalam beberapa putusan perkara lain, bahwa Pasal 28I ayat (1) tidak boleh dibaca secara berdiri sendiri melainkan harus dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2).[60] Meski MK juga pernah berpendapat, semua hak asasi dapat dibatasi, kecuali dinyatakan sebaliknya dalam UUD. Tulisan cetak miring dari penulis dalam pengertian, ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berisi kemungkinan untuk melakukan pembatasan hak asasi manusia tidak dapat diberlakukan terhadap Pasal 28I ayat (1), karena adanya anak kalimat (frasa) dalam keadaan apapun”.[61]

Dari uraian singkat sejumlah putusan, putusan MK dalam mengoreksi ketentuan diskriminasi terhadap penganut kepercayaan dan pengakuan terhadap lingkup hak beragama memberikan penguatan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Namun terhadap beberapa putusan yang menolak, terutama penolakan terhadap semua permohonan pengujian UU Penodaan Agama, membuat UU Penodaan Agama masih berlaku. Terlebih penolakan tersebut didasari atas pembatasan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, membuat jalan perubahan melalui tafsir para pengawal konstitusi sepertinya sudah tertutup.

Konsekuensi penolakan tersebut membuat pelanggaran hak beragama masih terus terjadi, bahkan memburuk.[62] DPR dan pemerintah belum juga menindaklanjuti perubahan (revisi) UU Penodaan Agama sebagaimana diminta MK.[63] Sebaliknya, putusan MK yang mengabulkan permohonan telah ditindaklanjuti dengan perubahan peraturan yang disesuaikan pengaturannya dengan putusan MK.[64] Lantas bagaimana dengan nasib pengaturan hak beragama sebagai non derogable right, adakah jalan lain untuk membuka pintu pengaturan pembatasan dalam UUD 1945?

Dari putusan-putusan MK terkait masalah hak beragama, terlihat adanya keterbatasan yang dimiliki MK. Keterbatasan ini bukan dikarenakan MK tidak bisa mengeksekusi sendiri putusannya, tetapi keterbatasan ini terletak pada masalah pengaturan hak beragama sebagai non derogable rights, yang membatasi ruang tafsir putusan MK. Keterbatasan itu menjadikan putusan MK tidak memberikan jalan keluar dari masalah yang ada. Hingga pada gilirannya membuat perlindungan terhadap hak beragama belum maksimal. Oleh karena itu, perlu dibuka jalan untuk mengubah dan mengatur kembali hak beragama sebagai non derogable right dalam UUD 1945. (***)


NOTE:

[1] Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia, 1987, hlm. 150-151.

[2] Ibid., hlm. 151-152.

[3] Ibid., hlm. 153-154.

[4] Dawood Ahmed, Religion–State Relations, Stockholm: International IDEA, 2014, hlm. 7.

[5] Ibid.

[6] W. Cole Durham Jr, Religious Freedom in a Worldwide Setting: Comparative Reflections, www.pass.va/content/dam/scienzesociali/pdf/acta17/acta17-durham.pdf, diakses 12 Desember 2012.

[7] John Rawls, Teori Keadilan (A Theory of Justice), Terj. Uzair Fauzan-Heru Prasetyo, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-2, 2011, hlm. 259-260.

[8]    Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief Proclaimed by General Assembly resolution 36/55 of 25 November 1981.

[9]    Rumusan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 dengan Pasal 4 UU HAM mengatur 7 (tujuh) jenis hak yang sama, yang dikelompokkan sebagai non derogable right. Hanya terdapat sedikit perbedaan dalam kedua rumusan pasal tersebut. Dalam Pasal 4 UU HAM, rumusan hak untuk hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani dituliskan menjadi hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani dalam Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945. Serta adanya frase “…oleh siapapun” di akhir rumusan Pasal 4 UU HAM, sedangkan dalam rumusan Pasal 28I Ayat (1) frase “…oleh siapapun” tidak tercantum.

[10]   Teraya Koji, Emerging Hierarchy in International Human Rights and Beyond: From the Perspective of Non-derogable Rights, European Journal of International Law (EJIL), 2001, Vol 12, hlm. 921.

[11]   Scott Davidson, Hak Asasi Manusia; Sejarah, Teori dan Praktek Dalam Pergaulan Internasional, Terj. A. Hadyana Pudjaatmaka, Jakarta: Grafiti, 2008, hlm. 55-56.

[12]   Definisi jus cogens dalam The Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, Pasal 53; A peremptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of States as a whole as a norm from which no derogation is permitted and which can be modified only by a subsequent norm of general international law having the same character.

[13]   Scott Davidson, op.cit., hlm. 57.

[14]   Lihat misalnya dalam J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Terj. Bambang Iriana Djajaatmadja, Cet. 12, Jakarta: Sinar Grafika, 2015, hlm. 66-68; juga A.A.A. Nanda Saraswati, Kriteria Untuk Menentukan Hak Asasi Manusia Sebagai “Jus Cogens” Dalam Hukum Internasional, Jurnal Arena Hukum Volume 10, Nomor 2, Agustus 2017, hlm. 163-184.

[15]   Lihat Pasal 4 Ayat (1) ICCPR/KIHSP

[16]   Ibid., Pasal 4 Ayat (2). Khusus hak untuk tidak dipenjara karena kegagalan memenuhi kewajiban kontrak tidak termasuk dalam kualifikasi non derogable rights versi UUD 1945 maupun UU HAM.

[17] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Jakarta: Rajawali Pers, 2007, hlm. 22.

[18]   Ibid.

[19]    Ibid., hlm. 99.

[20]   Elliot Bulmer, Emergency Powers, Stockholm-Swedia: International IDEA, 2018, hlm. 6.

[21]   Ibid.

[22]   Ibid., hlm. 20.

[23]   Jimly, op.cit., hlm. 58. Beberapa putusan MK menjelaskan penafsiran mengenai “kegentingan yang memaksa”, seperti putusan No. 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Pebruari 2010 halaman 19-20 yang menjelaskan sebagai berikut; pengertian kegentingan yang memaksa tidak dimaknai sebatas hanya adanya keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945. Memang benar bahwa keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945 dapat menyebabkan proses pembentukan Undang-Undang secara biasa atau normal tidak dapat dilaksanakan, namun keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang menyebabkan timbulnya kegentingan memaksa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. MK juga berpendapat perlunya tiga (3) syarat kegentingan memaksa yaitu: (1) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; (2) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; (3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-
Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

[24]   Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Ed.), Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008, hlm. 41.

[25]   Knut D. Asplund (Ed.), op.cit., hlm. 51.

[26]   Ibid.

[27] Non retroaktif merupakan suatu norma yang umum dalam aturan internasional. Non retroaktif kebalikannya dari retroaktif, tuntutan atau aturan yang berlaku surut yang muncul sebagai konsekuensi diterapkannya asas legalitas. Namun terdapat pengecualian atau penyimpangan dalam instrumen internasional dan penerapannya. Mahkamah Internasional Nuremberg (1946) dan Tokyo (1948) yang mengadili penjahat perang pada Perang Dunia II, International Criminal Tribunal Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) merupakan contoh penerapan asas retroaktif. Di Indonesia, larangan retroaktif tersirat dalam Pasal 1 KUHP. Kemudian menjadi kontroversi masalah ketika diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan UU Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Asas retroaktif ini juga muncul pada Perpu No. 1 Tahun 2002 (UU No. 15 Tahun 2003) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu No. 2 Tahun 2002 (UU No. 16 Tahun 2003) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Bom di Bali. UU No 16 Tahun 2003 kemudian dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan bernomor 013/PUUI/2003.

[28]   Masuknya non retroaktif sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun adalah sumber kontroversi seputar Pasal 28I (1) UUD 1945. Hal ini membuat hak untuk melawan penuntutan atas pelanggaran hukum yang berlaku surut menjadi absolut, yang bisa menjadi batu sandungan bagi upaya penuntutan hukum atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa lalu. Terutama melindungi pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sepanjang rezim otoriter Soeharto. Periksa Denny Indrayana, op.cit., hlm. 232-236.

[29]   Lihat Pasal 70 dan Pasal 73 UU HAM. Dalam Pasal 73 terdapat penjelasan yang menyatakan bahwa pembatasan ini tidak berlaku terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights) dengan memperhatikan penjelasan Pasal 4 dan Pasal 9. Penjelasan Pasal 4 UU HAM mengecualikan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Sedangkan penjelasan Pasal 9 UU HAM terkait hak untuk hidup menegaskan, hanya pada dua hal hak untuk hidup yang dapat dibatasi yaitu; tindakan aborsi demi kepentingan hidup ibunya dan pidana mati berdasarkan putusan pengadilan.

[30]   Lihat Pasal 43 Ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

[31]   Ibid., Lihat dalam Penjelasan Umum. Sebagai informasi, UU Pengadilan HAM disahkan/diundangkan pada 23 Nopember 2000, selang 3 bulan setelah Amandemen Kedua UUD 1945 yang memuat BAB tentang HAM ditetapkan oleh MPR pada 18 Agustus 2000.

[32]   Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) mengatur jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: (a) UUD 1945; (b) Ketetapan MPR; (c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UU; (d) Peraturan Pemerintah; (e) Peraturan Presiden; (f) Peraturan Daerah Provinsi; dan (g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

[33]   Ibid., penjelasan Pasal 7 Ayat (2).

[34]   Masalah ratifikasi telah diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional. Namun UU ini tidak menjelaskan bagaimana kedudukan, hubungan dan status antara perjanjian internasional dengan hukum nasional. Dalam hal ketidakjelasan status dapat dilihat dalam konteks undang-undang peratifikasian tidak sebagaimana undang-undang pada umumnya. Undang-undang ratifikasi pada dasarnya terdiri dari 2 pasal, yaitu Pasal 1 yang memuat ketentuan pengesahan perjanjian internasional dimaksud dengan melampirkan salinan naskah asli atau bersama termahannya. Sedangkan Pasal 2 mengatur tentang saat berlakunya. Ketidakjelasan status ini bisa menjadi masalah penting jika MK berhak melakukan judicial review dan menganggap bahwa UU ratifikasi sama kedudukannya dengan UU pada umumnya, karena tentunya berpotensi membatalkan UU peratifikasian tersebut. Lebih jauh lihat dalam Sefriani, Peran Hukum Internasional Dalam Hubungan Internasional Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers, 2016, hlm. 117-122.

[35]   Pasal 23 Ayat (2) UU HAM menyatakan, “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa”.

[36]   Ibid., Pasal 70 berbunyi, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

[37]   Pasal 12 Ayat (3) ICCPR/KIHSP.

[38]   Ibid., Pasal 19 Ayat (3).

[39]   Ibid., Pasal 18 Ayat (3).

[40]   Robert W Hefner & Ihsan Ali Fauzi, Mengelola Keragaman dan Kebebasan Beragama di Indonesia: Sejarah, Teori dan Advokasi, Yogyakarta: CRCS-UGM, 2014, hlm. 82.

[41] Lon L. Fuller, The Morality of Law, Indiana Law Jurnal, Volume 40, http://www.repository.law.indiana.edu/ilj/vol40/iss2/5, diakses pada 5 Nopember 2021.

[42]   Studi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB-LIPI) dalam menelusuri problema kebijakan agama berkaitan dengan tiga (3) hal: Pertama, berkaitan dengan hubungan antara agama (terutama Islam) dan negara. Dalam hal ini terjadi kontestasi dan tarik menarik kelompok yang bersifat konstitusional, yang menginginkan negara menjadi “negara agama” dan yang menginginkan “negara nasionalis sekuler”. Kedua, menyangkut hubungan antar-agama, terutama terkait dengan ekspresi keagamaan, yang memunculkan kontestasi tidak hanya intra-agama bahkan konflik antar-agama. Kontestasi atau konflik itu menarik negara (pemerintah) atas nama kebutuhan stabilitas dan tanggung jawab untuk turut campur (intervensi) dalam pengaturan hubungan antar-agama. Ironisnya, campur tangan pemerintah tak jarang justru malah memperkeruh hubungan antar-agama. Ketiga, imajinasi politik yang tak mati dalam tubuh pemerintahan—rejim pemerintahan apapun—untuk memainkan “kartu agama” di dalam politik, baik untuk kepentingan mengontrol dan menguasai maupun mobilisasi untuk meraih dukungan. Periksa dalam Anas Saidi (editor), op.cit., hlm. 53-54.

[43]   UU Penodaan Agama adalah undang-undang pertama yang dianggap secara langsung melegitimasi agama sekaligus mendelegitimasi kebatinan/kepercayaan (sebagai bukan agama), dan bahkan “mengkriminalisasi” kelompok kebatinan/kepercayaan. UU Penodaan Agama yang dibuat untuk menunjang pelaksanaan Pasal 29 Ayat (2) UU 1945, digunakan sebagai tafsir dan legitimasi “agama-agama resmi” yang diakui negara sekaligus menjadikan kelompok aliran kepercayaan/penghayat di luar kategori “agama resmi”. Lebih jauh lihat dalam Syamsul Maarif, op.cit., hlm. 34-35; juga Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi, Yogyakarta: Naufan Pustaka, 2010, hlm. 42-44

[44]   Berbagai kebijakan yang dianggap melanggar hak kebebasan beragama misalnya, memberikan kewenangan Kejaksaan untuk mengawasi aliran kepercayaan yang membahayakan masyarakat dan negara melalu UU No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan; Pembedaan pengisian kolom KK dan KTP bagi Penduduk yang agamanya belum diakui atau bagi Penghayat Kepercayaan dalam UU No 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan; Pasca Orde Baru, UU Penodaan Agama dijadikan pula landasan pembentukan beberapa peraturan pelaksana tentang pengaturan kehidupan beragama, seperti: 1) Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah (Peraturan Bersama Dua Menteri), 2) Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008, Nomor KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat (SKB Tiga Menteri), dan 3) Beberapa peraturan di tingkat daerah yang seringkali menjadi pemicu utama terjadinya beberapa perilaku intoleran dan tindak kejahatan diskriminasi atas hak dan kebebasan beragama, terutama bagi kelompok minoritas.

[45]   Lembaga Setara Institute misalnya mencatat, selama 12 tahun (2007-2018) telah terjadi 2.400 peristiwa pelanggaran atas kebebasan beragama dengan 3.177 tindakan yang tersebar di 34 provinsi yang ada di Indonesia. Halili (editor), Melawan Intoleransi Di Tahun Politik: Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2018, Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2018, hlm. 47-52. Sedangkan khusus terkait kebijakan pemerintah daerah, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada 2009-2015 telah mendokumentasikan 389 kebijakan diskriminatif yang dikeluarkan pemerintah daerah. Sebanyak 50 kebijakan diantaranya dianggap membatasi hak kebebasan beragama. Komnas Perempuan, Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta, 7 Maret 2016, hlm. 74-75.

[46]   Dewan HAM PBB pada tahun 2017 melalui Universal Periodic Review (UPR) menyampaikan 225 rekomendasi dari 101 negara berkaitan dengan hak kebebasan beragama kepada pemerintah Indonesia. Dan Indonesia menerima 167 rekomendasi tersebut. Responses to Recommendations Indonesia, Third Review Session 27, https://www.upr-info.org/en/review/Indonesia/Session-27—May-2017/Responses-to-Recommendations#top, diakses pada 10 Juni 2020; Sedangkan laporan dari US Commission On International Religious Freedom (USCIRF) dari tahun 2004-2019, memberikan perhatian yang khusus dan menempatkan Indonesia pada penilaian yang buruk, karena terlibat atau mentolerir pelanggaran kebebasan beragama secara sistematis dan terus menerus. USCIRF merekomendasikan dan mendesak pemerintah Indonesia di tingkat pusat, provinsi dan daerah untuk mencabut atau merevisi peraturan perundang-undangan yang melanggar kebebasan beragama. United States Commission on International Religious Freedom Indonesia Chapter 2019 Annual Report, https://www.uscirf.gov/sites/default/files/Indonesia%202019_Indonesian%20translation.pdf, diakses pada 10 Juni 2020.

[47] Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, op.cit., hlm. 169-170.

[48]   Terdapat lima putusan MK terkait UU Penodaan Agama, yaitu Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 84/PUU-X/2012, Putusan Nomor 56/PUU-XV/2017, Putusan Nomor 76/PUU-XVI/2018, dan putusan Nomor 5/PUU-XVII/2019. Perkara-perkara ini diajukan oleh pemohon yang berbeda, yang memohon pengujian terhadap sejumlah ketentuan dalam UU Penodaan Agama.

[49]   Lihat putusan Nomor 140/PUU-VII/2009, hlm. 276.

[50]   Ibid., hlm. 278.

[51]   Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016, hlm. 138.

[52]   Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009, hlm. 305-306.

[53]   Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016, hlm. 136-137.

[54]   Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009, hlm 292; Putusan Nomor 86/PUU-X/2012, hlm. 90; putusan Nomor 56/PUU-XV/2017, hlm 531-532 dan putusan Nomor 76/PUU-XVI/2018, hlm 30.

[55]   Ibid., putusan Nomor 86/PUU-X/2012.

[56]   Ibid., putusan Nomor 140/PUU-VII/2009, hlm 288 dan Putusan Nomor 56/PUU-XV/2017, hlm. 532.

[57]   Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009, hlm. 275; putusan Nomor 68/PUU-XII/2014, hlm. 151. Lihat juga dalam Muhammad Iqbal Yunazwardi dan Aulia Nabila “Implementasi Norma Internasional mengenai Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia”, Indonesian Perspective, Vol. 6, No. 1 (Januari-Juni 2021): 1-21.

[58]   Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009, hlm. 274; juga Putusan MK Nomor 56/PUU-XV/2017, hlm. 532.

[59]   Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009, hlm. 292; putusan Nomor 86/PUU-X/2012 hlm. 89-90

[60]   Putusan MK Perkara No. 065 /PUU-II/2004 vide Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007.

[61]   Putusan Nomor 013/PUU-I/2003, hlm. 42.

[62]   Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) dalam Laporan Tahunan 2019 menilai, pelanggaran hak beragama semakin memburuk. Memburuknya pelanggaran hak beragama selama beberapa tahun terakhir berkelindan dengan persolan intoleransi, radikalisme dan ekstrimisme dengan kekerasan. Penilaian itu didasarkan adanya trend peningkatan pelanggaran hak beragama. Dari rata-rata 21 pengaduan yang diterima pada 2013-2018, bertambah menjadi 23 pengaduan hak beragama pada tahun 2019. Komnas HAM mengidentifikasi pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan terjadi karena: a) tekanan yang sangat kuat dari kelompokintoleran; b) lemahnya pengetahuan dan kesadaran aparatur pemerintah pusat dan daerah; c) banyaknya peraturan di tingkat pusat dan daerah yang bertentangan dengan norma HAM; dan d) kebijakan pemerintah daerah yang mengistimewakan agama tertentu. Komnas HAM, Laporan Tahunan KOMNAS HAM Republik Indonesia Tahun 2019”, Komnas HAM, 2020 hlm. 13-15.

[63]   Revisi terhadap UU Penodaan Agama telah diminta MK dalam putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 yang diputus pada 19 April 2010.

[64]   Dalam hal ini, Putusan MK Nomor 86/PUU-X/2012 ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Demikian halnya dengan putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016, ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 118 Tahun 2017 Tentang Blangko Kartu Keluarga, Register Dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil, dan  Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 471.14/ 10666/Dukcapil tanggal 25 Juni 2018 Perihal Penerbitan Kartu Keluarga Bagi Penghayat Kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa.


 

 

 


Published at : Updated

Periksa Browser Anda

Check Your Browser

Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

We're Moving Forward.

This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

  1. Google Chrome
  2. Mozilla Firefox
  3. Opera
  4. Internet Explorer 9
Close