Ulas Kasus: PENELANTARAN DAN PERLAKUAN SALAH PADA ANAK
Oleh AHMAD SOFIAN (Mei 2022)
Saya sering mendapat pertanyaan, dan permintaan keterangan ahli tentang kasus-kasus penelantaran anak dan perlakuan salah pada anak. Atas dasar itu, saya pun berinisiatif membuat tulisan pendek terhadap perbedaan perbuatan ini serta indikator juridisinya. Dapat saya jelaskan bahwa tindak pidana “perlakuan salah dan penelantaran anak” sebagaima dimaksud dalam Pasal 76B Jo Pasal 77B UU RI No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah termasuk dalam kategori delik materiil, yaitu yang perlu dibuktikan adalah adanya akibat dilarang yang muncul dari perbuatan seseorang. Dan akibat yang dilarang tersebut harus memiliki hubungan sebab akibat (kausalitas) dari perbuatan perlakuan salah dan penelantaran.
Penelantaran berasal dari kata telantar yang dimaknai sebagai tidak terpelihara, serta ketidakcukupan, hidupnya tidak terplihara, tidak terawat,tidak terurus, tidak ada yang mengurusnya, terbelengkalai. Menelantarkan artinya membuat terlantar, membiarkan terlantar sedangkan penelantaran adalah proses atau cara perbuatan menelantarkan. Dalam Pasal Pasal 76B Jo Pasal 77B UU RI No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak tidak dijelaskan pengertian perlakuan salah dan penelantaran, karena itu, dalam menggunakan tafsir perlakuaan salah dan penelantaran digunakan tafsir doktrinal dan tafsir sistematis yang dapat menjelaskan unsur tindak pidana dari perbuatan tersebut. Biro Pusat Statistik dalam buku Profil Anak Indonesia tahun 2016 yang kemudian dikutip oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyatakan bahwa ketelantaran pada anak-anak terjadi jika memenuhi minimal 3 dari 8 kriteri yaitu (1) tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi dan tidak tamaht Pendidikan dasar (2) frekuensi mengkonsumi makanan pokok kurang dari 14 kali dalam seminggu (3) frekuensi mengkonsumsi protein nabati tinggi kurang 4 kali atau makanan protein hewani tinggi (3)tidak memiliki pakaian layak pakai kurang dari 4 stel (5) tidak memiliki tempat tetap untuk tidur (6) bila sakit tidak diobati (7)yatim piatu atau tidak dalam satu rumah dengan bapak sekandung (8) bekerja/membantu memperolah penghasilan.
Dalam konteks hukum pidana penelantaran anak merpakan praktik melepaskan tanggung jawab dan klaim atas keturunan dengan cara illegal. Artinya setiap anak mempunyai hak terhadap perlakuan yang layak dari orang tua atau walinya yang meliputi tidak melakukan diskriminasi, melakukan langkah-langkah untuk kepentingan terbaik anak, memenuhi standard kebutuhan hidup yang layak, kelangsungan hidup dan harkat martabat anak dan memberikan ruang bagi anak untuk menyampaikan aspirasi dan pendapatnya.
Sementara itu perlakuan salah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesa, dibagi dalam dua frase yaitu (1) perlakuan dan (2) salah. Perlakuan adalah perbuatan, gerak-gerik, tindakan, cara menjalankan atau berbuat. Perlakuan berarti perbuatan yang dikenakan terhadap sesuatu atau orang. Sedangkan kesalahan menurut para ahli memiliki dua makna, kesalahan psikologis dan kesalahan normatif. Secara psikologis berarti menitikberatkan pada keadaan batin yang tertentu dari si pembuat dan hubungan antara keadaan batin tersebut dengan perbuatannya semikian rupa, sehingga pembuat dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Sedangkan dari sisi normatif, maka setidaknya ada 3 komponen yaitu dapat dicela, dilihat dari sisi masyarakat dan dapat berbuat lain. Dapat dicela artinya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum pidana dan dapat dijatuhi pidana.
Dalam konteks normatif yang diatur dalam Konvensi Hak Anak, perlakuan salah (abuse) memiliki penafsiran yang sangat luas, yakni segala macam perilaku yang merugikan atau mungkin membahayakan keselamatan, kesejahteraan, martabat dan perkembangan anak. Atau dengan kata lain, adanya suatu tindakan yang mengakibatkan anak dirugikan.
Dalam konteks Undang-Undang Perlindungan Anak sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU No. 35 tahun 2014 jo UU No. 23 tahun 2002 disebutkan:
- Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan :
- Diskriminasi
- Eksploitasi baik ekonomi maupun seksual
- Penelantaran
- Kekejaman, kekerasan dan penganiyaan
- Ketidakailan; dan
- Perlakuan salah lainnya.
- Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Perlu saya jelaskan rentang waktu perbuatan perlakuan salah dan penelantaran tidak ditentukan dalam undang-undang, Hal ini disebabkan jenis tindak pidana perlakuan salah dan penelantaran ini dirumuskan secara materiil, jadi yang perlu dibuktikan adalah apakah telah timbul akibat dari perlakuan salah dan ketelantaran pada anak. Jika jawab “ya” maka dicarilah perbuatan yang menimbulkan perlakuan salah dan penelantaran tersebut misalnya tidak memberikan nafkah untuk kebutuhan anak sehingga anak tidak bisa sekolah, anak tidak terpenuhi kebutuhan yang harus diberikan oleh orang tuanya dan seterusnya. Oleh karena perlakuan salah dan penelantaran adalah delik materiil maka semua akibat yang merugikan anak harus bisa dibuktikan, misalnya jika anak mengalami gangguan psikis, maka perlu ada bukti gangguan psikis tersebut dari psikolog atau psikiater.
Sebagai contoh A (lak-laki) dan B (perempuan) melakukan perkawinan siri dan melahirkan seorang anak perempuan (C). A membantah telah melakukan perkawian sirih dengan B dan membantah C sebagai anak biologisnya. A dilaporkan ke polisi dan diduga melakukan perbuatan termasuk dalam kategori perlakuan salah dan penelantaran pada anak, yang menimbulkan akibat anak mengalami ketidakstabilan emosi, dan tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Perbuatan perlakuan salah dan penelantaran yang diduga dilakukan oleh A adalah (1) tidak memberikan biaya persalinan anak (2) tidak pernah berkomunikasi dengan anak (3) tidak mau mengakui anak dari hasil perkawinan siri.
Namun demikian, akibat yang dialami oleh anak ini harus bisa dibuktikan terutama melalui pemeriksaan hasil psikologis atau psikiater untuk memastikan bahwa benar anak mengalami ketidakstabilan emosi yang diakibatkan oleh perbuatan A. Perlu juga dibuktikan pemeriksaan DNA untuk memastikan anak tersebut memiliki hubungan biologis dengan A. Selain itu harus bisa dibuktikan tentang perkawinan siri antara kedua belah pihak karena dalam keterangan A telah membantah keberadaan perkawinan siri dan anak yang dilahirkan dari perkawinan siri tersebut. Pembuktian ini tentunya melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap bahwa anak tersebut adalah anak biologis dari perkawinan siri antara A dan B. Jika bisa dibuktikan, maka keduanya memiliki kewajiban hukum untuk memenuhi hak-hak anak dan tidak melakukan perbuatan yang merugikan anak termasuk perlakuan salah dan penelantaran. Putusan MK 46/PUU-VIII/2010 memberikan penegasan sepanjanga bisa dibuktikan anak tersebut memiliki hubungan biologis dengan ayahnya, maka sang ayah biologis memiliki kewajiban hukum terhadap anak-anaknya. (***)
Published at :
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...