People Innovation Excellence

PERTIMBANGAN FILOSOFIS DALAM SUATU KEPUTUSAN PRESIDEN

Oleh SHIDARTA (April 2022)

Presiden Joko Widodo pada tanggal 24 Februari 2022 mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Keputusan ini sebenarnya sederhana saja, yaitu dalam rangka menetapkan tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Namun, keputusan ini menjadi menarik karena konsiderans “menimbang” huruf c dari keputusan ini secara eksplisit menyebutkan beberapa nama, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono IX (sebagai pengagas Serangan Umum 1 Maret 1949), Panglima Besar Jenderal Soedirman (sebagai pihak yang memerintahkan), serta Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta (sebagai pihak yang menyetujui). Lalu, mengapa Letkol Soeharto tidak disebutkan? Padahal, di dalam film “Janur Kuning” peran Soeharto begitu menonjol [atau ditonjolkan].

Isu tidak dicantumkannya nama Soeharto ini kemudian diangkat dalam berbagai diskusi. Salah satunya, dalam Jaya Suprana Show tanggal 6 April 2022 yang mengundang seorang peneliti/pengajar dari Universitas Leiden, Dr. Surya Suryadi, M.A. Dalam acara yang disiarkan melalui kanal Youtube itu, Suryadi mengatakan Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2022 itu sebagai a-historis karena tidak menyebutkan nama Soeharto. Hal ini, menurutnya, bertentangan dengan kenyataan bahwa media-media berbahasa Belanda yang terbit di Negeri Belanda dan Indonesia era itu, telah menempatkan Soeharto sebagai figur penting pada peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 itu. Ketertarikan media pada Soeharto sebenarnya mengherankan karena atasan beliau, yaitu Kolonel Bambang Sugeng, justru hampir tidak disebut namanya di media massa pada momentum tersebut.

Saya tidak bermaksud untuk terlalu jauh memasuki area perdebatan ini karena satu alasan, bahwa saya bukan ahli sejarah Indonesia. Saya tergelitik untuk mencari tahu bagaimana sebuah konsiderans yang kerap diabaikan dalam pembacaan sebuah peraturan dan/atau keputusan, kini tiba-tiba begitu menarik perhatian. Untuk itu, mari kita telaah redaksional konsiderans yang dipilih perancang keputusan ini:

a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 adalah negara yang merdeka dan berdaulat sehingga dapat mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial;

Konsiderans huruf a ini memberi penekanan tentang “visi dan misi” Negara Kesatuan Republik Indonesia. Visi-misi ini telah dinyatakan secara tegas di dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya:

b. bahwa setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 upaya bangsa Indonesia untuk memperoleh pengakuan kedaulatan dari dunia internasional mendapat perlawanan dari Belanda dengan melakukan agresi militer dan propaganda politik di Perserikatan Bangsa-Bangsa;

Konsiderans huruf b ini membawa pertimbangan ke arah yang lebih spesifik, bahwa ada visi-misi Negara Kesatuan Republik Indonesia itu telah diuji oleh kondisi setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Di situ ditunjukkan bahwa upaya bangsa Indonesia  untuk memperoleh pengakuan kedaulatan dari dunia internasional itu tidaklah mudah. Pihak Belanda telah melakukan perlawanan dengan melakukan agresi militer dan propaganda politik di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selanjutnya:

c. bahwa peristiwa Serangan Umum I Maret l949 yang digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman serta disetujui dan digerakkan oleh presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan didukung oleh
Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, laskar-laskar perjuangan rakyat, dan segenap komponen bangsa Indonesia lainnya, merupakan bagian penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang mampu menegakkan kembali eksistensi dan kedaulatan Negara Indonesia di dunia internasional serta telah berhasil menyatukan kembali kesadaran dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia;

Konsiderans huruf c ini kemudian menyatakan bahwa visi-misi bernegara yang mendapat perlawanan dari pihak Belanda itu ditandai oleh satu peristiwa penting, yaitu Serangan Umum 1 Maret 1949. Serangan ini adalah upaya gagah berani dari segenap komponen bangsa Indonesia. Peristiwa yang dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret 1949 itu merupakan bagian penting di dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk menegakkan kembali eksistensi dan kedaulatan negara di dunia internasional dan telah berhasil menyatukan kembali kesadaran dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Jika redaksional dari konsiderans huruf c ini membatasi diri pada uraian di atas, sesungguhnya tidak akan ada masalah sama sekali.

Konsiderans tersebut memang menjadi problematis dan bahkan cenderung “kontraproduktif” tatkala kata-kata “… yang digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman serta disetujui dan digerakkan oleh presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta…” diselipkan di antara kata-kata konsiderans itu. Benarkah ada niat untuk menghilangkan peran satu figur di dalam rumusan ini? Tentu saja perancang keputusan dapat berkilah bahwa niat itu sama sekali tidak ada. Jika yang dimaksud dari figur itu adalah Soeharto, maka kontribusi Soeharto telah terwakili dengan penyebutan kata-kata “… dan didukung oleh
Tentara Nasional Indonesia,…” Posisi Jenderal Soedirman sebagai panglima tertinggi dari Tentara Nasional Indonesia ketika itu seharusnya sudah cukup untuk menjadi representasi dari institusi ini, mengingat Soeharto adalah bagian dari Tentara Nasional Indonesia. Bahkan, secara hierarkis Letkol Soeharto bukanlah bawahan langsung Jenderal Soediman, karena masih ada Kolonel Bambang Sugeng (Gubernur Militer III sekaligus Panglima Divisi III) sebagai atasan Soeharto. Lalu, di mana letak kelirunya rumusan dari konsiderans huruf c ini?

Apabila ingin dicari “keliru”nya (bagi yang mendesak untuk melakukan pencarian itu), maka rumusan tadi harus dikembalikan kepada fungsi dari konsiderans ini sebagai peletak pokok-pokok pikiran filosofis [serta sosiologis dan yuridis]* dari kehadiran Keppres No. 2 Tahun 2022 ini. Benarkah kata-kata “… yang digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman serta disetujui dan digerakkan oleh presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta…” tadi masih dalam semangat untuk menunjukkan bahwa mereka semua sebagai figur-figur penting dengan perannya masing-masing di dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 itu? Jika jawabannya adalah ya, maka secara filosofis, polemik yang tidak menyebutkan nama Letkol Soeharto seharusnya tidak perlu muncul.

Lain halnya, jika pembacaan konsiderans huruf c itu dibaca dari optik politik. Apabila kaca mata inilah yang menjadi biang dari polemik ini, maka berarti kita harus mencurigai bahwa memang ada politik hukum tersembunyi di luar penetapan tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Politik hukum itu [sebagaimana ditarik dari konklusi sejumlah pihak, termasuk Dr. Suryadi dengan kata-kata ‘a-historis’-nya] adalah keinginan untuk mendegradasi peran Soeharto dalam peristiwa itu. Biarlah urusan kecurigaan dan duga-dugaan ini dikembalikan ke komunitas para pemerhati/pengamat politik untuk menjawabnya.

Dari kaca mata hukum, oleh karena konsiderans huruf c itu bukan diposisikan sebagai diktum, maka ia bukan bagian dari substansi yang ditetapkan dalam Keppres No. 2 Tahun 2022 tadi. Artinya, secara yuridis isi dari konsiderans huruf c itu tidak memiliki konsekuensi bagi kita yang memperingati Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Konsiderans huruf c ini adalah landasan berpikir (pokok pikiran) si perancang keputusan tatkala menyusun keputusan ini, yang boleh-boleh saja tidak sepenuhnya disetujui oleh segenap bangsa Indonesia. Dengan demikian, kita mungkin saja sangat setuju dengan gagasan untuk menetapkan tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara, walaupun kita memiliki pertimbangan tersendiri untuk menyetujuinya.

Konsiderans huruf d dan e dari Keppres No. 2 Tahun 2002 ini, kemudian menyatakan:

d. bahwa dalam rangka menanamkan kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai sejarah perjuangan bangsa guna memperkuat kepribadian dan harga diri bangsa yang pantang menyerah, patriotik, rela berkorban, berjiwa nasional, dan berwawasan kebangsaan, serta
memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional, perlu menetapkan tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Keputusan Presiden tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara;

Pesan yang ingin disampaikan dari tulisan sederhana ini adalah bahwa pertimbangan filosofis yang dimunculkan dalam suatu keputusan dan/atau peraturan, selayaknya diformulasikan dengan hati-hati. Sangat bijak apabila perancangnya memperhatikan potensi reaksi yang kontraproduktif atas produk hukum itu. Sangat ironis apabila sebuah produk hukum yang diberlakukan dengan harapan mendapat dukungan luas dari segenap masyarakat, justru kemudian membelah masyarakat dengan menyelipkan pernyataan-pernyataan yang memicu polemik yang tidak perlu. (***)


Note: *) Dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, konsiderans “menimbang” dikatakan menjadi tempat untuk memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan peraturan perundang–undangan. Pokok pikiran pada konsiderans memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Penjelasan di atas secara mutatis-mutandis berlaku juga untuk bentuk keputusan yang dibahas dalam tulisan ini


 

REFERENSI:

Jaya Sprana Show, Dr Suryadi, MA – SU 1 Maret versi Media Belanda, <https://www.youtube.com/watch?v=NeB2-0vmJts> menit 35:23.



Published at :

Periksa Browser Anda

Check Your Browser

Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

We're Moving Forward.

This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

  1. Google Chrome
  2. Mozilla Firefox
  3. Opera
  4. Internet Explorer 9
Close