PENELITIAN KUALITATIF DAN KAJIAN TERKAIT NILAI PANCASILA
Kedeputian Bidang Hukum, Advokasi, dan Pengawasan Regulasi, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pada tanggal 23-25 Maret 2022 mengadakan program Bimbingan Teknis (In-House Training) Penyusunan Kajian terhadap Kebijakan dan Regulasi yang Bertentangan dengan Nilai Pancasila. Kegiatan ini berlangsung di Hotel Des Indes, Menteng, Jakarta Pusat.
Pada sesi malam tanggal 24 Maret 2022, dosen Jurusan Hukum Bisnis BINUS, Shidarta, mendapat kesempatan untuk berbagi pengalaman dengan para peserta, dengan membawakan materi mengenai teknis penelitian kualitatif dan penulisan kajian hukum. Sesi yang dimoderatori oleh Tri Budi Haryoko, AMd.IP, S.H.,M.H ini ikut dihadiri pula oleh Drs. R.D.M. Johan J. Mulyadi, M.H. (Direktur Penyusunan Rekomendasi Kebijakan dan Regulasi) BPIP.
Shidarta dalam paparannya menyatakan bahwa metode penelitian kualitatif dan kuantatif perlu diposisikan secara proporsional karena keduanya tidak saling menafikan, melainkan saling melengkapi. Penelitian kuantitatif menekankan pada keluasan, sedangkan kualitatif pada kedalaman. Ia tidak menampik bahwa tugas-tugas BPIP memang menuntut kajian-kajian yang perlu kedalaman substansi, apalagi dimensinya sudah bersentuhan dengan nilai-nilai. Untuk itu, beliau menyarankan agar rekan-rekan pengkaji regulasi dan kebijakan di BPIP menguasai analisis yang akan menyentuh dimensi tadi, yakni kajian metakaidah. Kajian ini tidak lagi ada di area dogmatika hukum, melainkan sudah masuk pada teori ilmu hukum dan filsafat hukum.
Indikator-indikator yang telah dikembangkan oleh BPIP, seringkalii belum cukup operasional untuk mengantarkan para analis sampai pada kesimpulan bahwa sebuah regulasi atau kebijakan sebagai menyimpang atau tidak menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. Hal ini karena ditemukan sangat banyak konsep dan konstruk yang dihadirkan dari tiap-tiap rumusan indiktor tersebut. Masing-masing konsep atau konstruk pasti membutuhkan batasan secara intensional dan ekstensional. Tanpa batasan ini, semua orang akan memilki cara pandang berbeda-beda dan bakal memicu polemik yang kontraproduktif.
Perlu juga dicermati bahwa suatu konsep dengan terma yang sama, tetapi muncul pada butir indikator yang berbeda, tidak menjamin konsep itu mengandung pengertian yang sama pula. Shidarta memberi contoh, terma “adil” dan “kaadilan” yang muncul pada indikator untuk sila ke-3, sangat mungkin berbeda maknanya dengan “adil/keadilan” menurut indikator sila ke-5. Untuk itu, langkah pertama yang dapat digagas adalah semua konsep/konstruki itu diinventarisasi, lalu diklasifikasi, sampai kemudian diberi pemaknaan secara reflektif-kritis. Hasil kerja ini dapat dituangkan dalam bentuk [semacam] glossary. Ia mengingatkan agar glossary ini jangan sekadar memberi pemaknaan leksikal, tetapi harus dibuat proposisi-proposisinya, dan di mana perlu ada contoh-contoh penerapannya dalam konteks penyusunan regulasi, pembuatan kebijakan, dan/atau penyelesaian kasus-asus konkret). Tugas demikian tentu tidak mungkin diselesaikan dalam durasi waktu yang pendek dan harus pula dikerjakan lintas unit kerja, namun perlu dimulai. Paling tidak, para pengkaji di internal BPIP sendiri sudah membutuhkan kesamaan cara memahami terma-tema tadi untuk tugas keseharian mereka.
Di sisi lain, bentuk-bentuk publikasi juga disarankan agar dikembangkan di BPIP, seperti working paper, policy [discussion] paper, position paper, sampai white paper, yang pada giirannya akan berguna untuk ditunjukkan sebagai wujud konkret kontribusi pemikiran dari BPIP. Berbagai wujud paper ini tinggal disesuaikan saja dengan derajat kebutuhannya, serta dari waktu ke waktu dapat ditingkatkan gradasi kedalaman dan/atau keluasan pengkajiannya. Misalnya, dari semula berupa kertas-kertas kerja yang hanya beredar untuk kebutuhan iinternal BPIP dapat dielaborasi menjadi position paper yang justru menjadi rujukan bagi institusi lain di pemerintahan. (***)
Published at :
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...