People Innovation Excellence

KONSEP DAN DEFINISI DALAM HUKUM

Oleh SHIDARTA (Maret 2022)

Tulisan ini dibuat berkenaan dengan kegiatan diskusi “Membaca Bruggink” yang diselenggarakan sejak tanggal 11 Maret 2022 sampai dengan 8 April 2022. Buku J.J.H. Bruggink yang dibahas adalah karya beliau pada tahun 1993 berjudul “Rechtsreflecties: Grondbegrippen uit de Rechtstheorie”. Buku ini telah diterjemahkan atas seizin Bruggink ke dalam bahasa Indonesia oleh guru saya, Alm. Prof. Bernard Arief Sidharta, dengan judul “Refleksi tentang Hukum: Pengertian-Pengertian Dasar dalam Teori Hukum.” Dalam acara diskusi yang diadakan oleh BINUS, Unpar, UAJ Yogyakarta, bekerja sama dengan AFHI tersebut, saya kebetulan mendapat tugas untuk mengulas dua bab dari buku ini, yaitu Bab III (Recht en Begrip) dan Bab IV (Recht en Definitie). Dalam translasi bahasa Indonesia, Prof. Arief menerjemahkan kedua bab itu dengan “Hukum dan Pengertian” serta “Hukum dan Definisi”. Untuk keperluan kegiatan diskusi ini, saya ingin memberikan beberapa catatan dari hasil pembacaan saya atas kedua bab tersebut. Isi tulisan ini dan paparan lisan pada acara itu, tidak cukup dalam rangka merangkum apa yang ditulis oleh Bruggink, tetapi diharapkan bisa mengelaborasi berdasarkan penangkapan saya atas karya dari dosen Universitas Utrecht (Belanda) tersebut.

Bab III: Hukum dan Konsep

Kata “begrip” pada judul Bab III ini sengaja saya ganti kali ini dengan kata “konsep” (concept) dan bukan sekadar “pengertian” (understanding). Hal ini saya pahami berangkat dari definisi yang diberikan oleh Bruggink tentang kata “begrip” itu sendiri. Ia mengatakan, “Het begrip is de gedachteninhoud die door een bepald woord wordt opgroepen als een object of een persoon een naam krijgt.” Secara bebas, terjemahannya kurang lebih: “begrip” itu adalah sekumpulan pikiran yang muncul atas suatu terminologi, yaitu tatkala suatu objek atau seorang diberi nama. Prof. Arief mengartikan kata “begrip” ini sebagai “… isi-pikiran (gedachteninghoud) yang dimunculkan oleh sebuah perkataan tertentu jika sebuah objek atau seorang pribadi memperoleh sebuah nama.”

Saya sendiri yakin, baik Bruggink maupun Arief Sidharta tidak menolak untuk menyamakan maksud dari kata ‘pengertian’ dengan ‘konsep’. Pada halaman 24 buku Bruggink, ia menulis, “Dit ‘iets’ noemt men het ‘begrip’ of het ‘concept’ van het object, waarover iets wordt gezegd.”  Terjemahannya muncul dalan buku edisi bahasa Indonesia pada halaman 23, dengan kata-kata: “‘Sesuatu’ ini disebut orang ‘pengertian’ (het begrip) atau ‘konsep’ dari objek itu, yang tentangnya sesuatu dikatakan.”

Tatkala kita, misalnya, melihat ada objek yang dijadikan sebagai tempat duduk, maka kita memberinya nama di dalam bahasa Indonesia dengan istilah “kursi”. Jadi, kursi itu adalah sebuah nama konsep berkenaan dengan tempat duduk. Nama “kursi” yang diserap dari bahasa Sansekerta ini dapat diganti dengan terminologi lain dalam berbagai bahasa (chair, stoel, silla, dan lain-lain),  tetapi sebagai konsep ia tetap sama di pikiran masing-masing penuturnya. Dengan perkataan lain, konsep itu adalah sekumpulan [isi] pikiran kita tentang tempat duduk.

Bruggink memandang penting untuk mengaitkan hal ini dalam wacana ilmu hukum dogmatik, khususnya terkait peraturan perundang-undangan. Hal ini karena di dalam bahasa peraturan perundang-undangan itu selalu dihadirkan terminologi-terminologi. Tidak ada jaminan bahwa kesamaan konsep sebagai isi-pikiran di benak para pembentuk undang-undang akan sama persis dengan konsep sebagai isi-pikiran di benak para pembaca undang-undang. Di sini kita mencermati selalu ada potensi perbedaan pengertian (understanding) karena faktor keterbatasan bahasa, termasuk bahasa hukum.

Persoalan lebih jauh terjadi ketika bahasa tulisan itu kemudian berjumpa dengan konteks yang timbul dari kasus-kasus konkret. Dalam hal ini, seorang hakim, misalnya, akan mengkualifikasi fakta-fakta itu ke dalam makna aturan (kaidah), selanjutnya makna itu ditafsirkan lagi seberapa cocok dengan fakta-fakta itu. Demikian dilakukan berulang-ulang, sampai hakim itu yakin bahwa hasil kualifikasi dan interpretasi itu memang sesuai atau sebaliknya: tidak sesuai. Proses yang berulang-ulang ini membentuk lingkaran spiral, yang menunjukkan selalu terbuka adanya pengertian-pengertian konseptual yang baru atas suatu terminologi hukum, yang dipicu oleh fakta-fakta yang berlainan di dalam kasus-kasus yang juga berbeda.

Ruang pengertian konseptual itu tentu akan makin melebar apabila intensinya lebih sedikit. Karena intensi itu berbanding terbalik dengan eksensi. Di dalam banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia, konsekuensi dari perumusan pengertian konseptual atas suatu terminologi hukum kerap tidak memperhitungkan aspek intensi dan ektensi ini. Diskusi tentang hal ini akan makin jelas ketika Bruggink membahas tentang hukum dan definisi di dalam Bab IV.


Bruggink mengatakan bahwa konsep hukum itu selalu terbuka untuk mengalami pergeseran makna, terlepas isi-inti pengertiannya jelas atau tidak jelas. Pada skema di atas (note: sedikit sudah saya modifikasi), Bruggink menjelaskan tentang ruang lingkup dari suatu konsep, yang membentuk rentang ‘jelas’ (ke arah kanan) dan ‘tidak jelas’ (ke arah kiri). Berdasarkan rentang itu, ada konsep-konsep yang kabur dan konsep-konsep yang tidak dibatasi.

Konsep yang kabur memuat pengertian yang memang sejak semula tidak jelas, antara lain bermakna ganda. Misalnya konsep “kesusilaan yang baik”. Apa tolok ukur dari kesusilaan yang baik ini? Sepanjang waktu orang dapat berdebat tentang hal ini, sehingga pemaknaannya didekati secara kasuistis. Kesulitan seperti inilah yang membuat konsep yang kabur ini menjadi sengaja tidak dibatasi (note: kata ‘tidak dibatasi’ ini mungkin lebih tepat disebut ‘tidak didefinisikan’).

Lalu, ada konsep-konsep deskriptif yang dipertentangkan dengan konsep-konsep normatif. Bruggink tidak memberi uraian yang tegas dan jelas tentang apa itu konsep deskriptif, tetapi kita dapat memahami maksudnya dengan contoh Pasal 363 KUHP berkenaan dengan pencurian di malam hari. Konsep ‘malam hari’ di sini tentu memiliki pasangannya, yaitu ‘siang hari’. Apabila ada pencurian di malam hari, tentu ada juga pencurian di siang hari. Terkadang, pembentuk undang-undang menganggap semua orang sudah paham apa itu ‘malam hari’ sehingga tidak memerlukan elaborasi lebih jauh. Lebih jauh, kita dapat menunjuk contoh yang ada dalam Pasal 1 butir 27 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di situ konsep ‘siang hari’ dimaknai sebagai waktu antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00, tetapi undang-undang ini tidak menganggap perlu untuk mengartikan konsep ‘malam hari’.

Lalu, apa pula konsep normatif yang dimaksud oleh Bruggink? Ia hanya mengatakan bahwa konsep normatif itu adalah konsep yang memiliki muatan evaluatif. Dalam hal ini, kita dituntut untuk memberi penilaian, sehingga diperlukan adanya tolok ukur yang relatif objektif, mengingat tidak semua orang menggunakan indikator yang sama,  Sebagai contoh, ia merujuk pada konsep ‘diskriminasi’. Konsep ini sangat terbuka untuk dimaknai secara berbeda.

Konsep deskriptif dan normatif itu seringkali juga bertumpang tindih. Konsep ‘malam hari’ yang dijadikan contoh oleh Bruggink itu dapat dimasukkan sebagai konsep deskriptif, tetapi dalam kasus-kasus tertentu ia juga adalah konsep normatif. Jika kita mengacu pada Pasal 98 KUHP yang mengatakan malam adalah antara matahari terbenam dan matahari terbit, maka waktu persis matahari terbenam dan terbit pun senantiasa berubah. Pukul 18:00 WIB di kota Surabaya akan menampakkan posisi matahari yang berbeda dengan waktu yang sama di kota Banda Aceh.

Pembentuk undang-undang menyadari hal di atas, sehingga secara kasuistis, konsep-konsep normatif ini sebagian harus tampil sebagai konsep-konsep diskresioner. Di luar konsep diskresioner ini adalah konsep-konsep normatif lainnya, dengan gradasi kejelasan yang lebih tinggi. Dalam hal terjadi kasus di pengadilan, maka konsep diskresioner akan terlihat apabila penilaian atas konsep itu diserahkan pada pandangan pribadi (subjektif) dari hakim. Kita dapat mencari satu contoh; katakan Pasal 156a KUHP yang menyebut kata ‘penodaan’ terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Konsep ‘penodaan’ ini adalah konsep diskresioner karena untuk beberapa kasus terlihat sangat bervariasi pemaknaannya. Variasi ini terjadi mungkin saja tidak sepenuhnya berangkat dari keyakinan subjektif hakim, karena dapat saja justru bertolak dari semangat untuk melahirkan putusan yang populis, dengan menggunakan argumentum ad populum.

Bab IV: Hukum dan Definisi

Definsi dipahami oleh Bruggink sebagai konsep dengan sifat-sifat khusus (een definitie is namelijk een begrip met bijzondere eigenschappen). Sifat-sifat khusus yang dimaksud oleh Bruggink ini, apabila ditelusuri, mengacu pada differentiam specificam (pembeda yang spesifik).Jadi, ketika sebuah genus proximum (genus terdekat) ditambahkan dengan pembeda yang spesifik, maka jadilah ia sebuah definisi.

Dengan bertumpu perkembangn teori pengetahuan, Bruggink lalu membedakan antara definisi urusan (zaakdefinities) dan definisi nama (naamdefinities). Definisi urusan atau definisi riil adalah definisi yang mengikuti teori pengetahuan kuno yang bermaksud menjembatani antara bahasa dan kenyataan (gejala) dengan harapan dapat memberikan makna yang hakiki atas suatu konsep. Hal ini hampir tidak mungkin lagi dilakukan (kecuali untuk istilah yang gejala-gejalanya sekadar teramati secara inderawi) mengingat sifat-sifat khusus dari suatu konsep itu ternyata tidak pernah abadi dan universal, sehingga orang lalu cenderung menggunakan definisi nama atau definisi nominal.

Bruggink lalu memberikan beberapa jenis definisi. Pertama-tama ia menggolongkan definisi menjadi definisi intensional dan ekstensional. Penggolongan ini mengingatkan kita pada perbedaan antara intensi dan ekstensi yang sudah dibahas dalam bab sebelumnnya. Dua jenis definisi ini sangat lazim dipelajari dalam logika.

Tampaknya akan menarik untuk masuk ke penggolongan definisi kedua yang disampaikan oleh Bruggink. Ia menyebutkan ada definisi leksikal, definisi presisi, dan definisi stipulatif.

Jika kita menggunakan definisi yang ada di dalam kamus-kamus (baik kamus umum, maupun kamus teknis), maka ini termasuk definisi leksikal. Definisi presisi adalah definisi yang diberikan demi menghindari pemaknaan ganda atau kabur sebagaimana sering ditemukan di dalam bahasa pergaulan. Bruggink ingin mengatakan bahwa suatu istilah dapat saja dimaknai secara berbeda, antara yang muncul dalam bahasa pergaulan (sehari-hari) dan bahasa ilmiah, termasuk dalam ilmu hukum (tepatnya lagi dalam perundang-undangan). Kita mungkin dapat memberi contoh yang bernuansa domestik keindonesiaan, yakni kata ‘Indonesia asli’ terkait persayaratan untuk menjadi Presiden di Indonesia. Apakah ‘asli’ di sini ingin kembali diartikan sebagai ‘bumiputera’ yang notabene tolok ukurnya juga sangat psikologis dan/atau sosiologis-kultural, atau perlu diartikan sebagai ‘warganegara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri’? (note: sebagai pembanding, imigran asal Indonesia dari etnis Jawa, misalnya, yang kemudian menjadi wargaanegara Malaysia, secara administratif di sana digolongkan sebagai bumiputera Malaysia; berbanding terbalik dengan puak India atau China yang justru sejak lahir sudah berkewarganegaraan Malaysia),  Pilihan definisi yang terakhir ini dapat digolongkan sebagai definisi presisi. Kemudian, ada jenis definisi stipulatif, yakni definisi yang masih mencari pengakuan. Definisi stiputlatif ini tidak berurusan dengan benar-salahnya pemaknaan yang diberikan, melainkan lebih pada seberapa ia dipakai dan tidak dipakai. Para penyusun kamus akan mempertimbangkan apakah sebuah kosa-kata atau frasa (lema) akan dimasukkan atau tidak dalam edisi terbaru kamus itu. Jika dimasukkan, berarti kosa-kata atau frasa yang semula stipulatif itu telah menjadi leksikal.

Ada catatan penting dari Bruggink yang perlu direnungkan, yang diletakkannya pada bagian pentup Bab IV. Dengan memodifikasi redaksi Bruggink, saya garisbawahi pesan beliau sebagai berikut:

  1. Oleh karena tidak semua definisi hukum itu memenuhi syarat-syarat pembentukan definisi yang baik, maka penstudi hukum sebaiknya lebih memprioritaskan pemahaman atas pengertian (konsep) daripada rumusan definisi.
  2. Harus disadari bahwa sekalipun sudah dibuat definisi, ternyata definisi itu tidak pernah lepas dari titik berdiri (subjektivitas) si pembuat definisi. Kendati dilakukan pendefinisian ulang pun, subjektivitasi itu tidak bisa benar-benar dihilangkan. Jadi, ketika harus membuat definisi, maka: (1) ketahuilah titik berdiri si pembuat definisi dan (2) cari kesepakatan bagaimana pembahasaannya.
  3. Dengan konsensus kebahasaan itu akan dapat mengantarkan pengguna definisi lebih baik lagi tatkala memandang masalah yang sesungguhnya terjadi.

Saya kira catatan nomor tiga di atas, dapat juga dielaborasi menjadi pesan khusus agar setelah sebuah definisi selesai dirumuskan (dengan tutur bahasa yang disepakati), maka definisi itu perlu diuji dengan membenturkannya dengan [contoh-contoh] permasalahan konkret. Tujuannya tentu agar definisi itu tidak sekadar cantik secara bahasa atau dipercaya siap pakai, padahal mungkin keandalannya baru sebatas asumsi atau hipotetis belaka. (***)


 

 


Published at :

Periksa Browser Anda

Check Your Browser

Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

We're Moving Forward.

This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

  1. Google Chrome
  2. Mozilla Firefox
  3. Opera
  4. Internet Explorer 9
Close