People Innovation Excellence

HAK ATAS INFORMASI DAN HEGEMONI MEDIA

Oleh SHIDARTA (2022)

Ada pemandangan menarik bagi yang mengakses Russia Today (RT) pada subuh tanggal 3 Maret 2022 (Waktu Indonesia Barat) melalui layanan Firstmedia. Monitor pada saluran berita itu menampilkan layar diam yang terkesan ada gangguan teknis serius. Monitor hanya berisi headline bahwa India dan China menolak bergabung untuk menekan Rusia terkait invasi Rusia ke Ukraina. Kejadian ini patut disayangkan. Bagi pemirsa di Indonesia yang terus-menerus dikepung berita dari media Barat atau cenderung pro-Barat seperti BBC, France24, ABC, Al-Jazeera, bahkan TRT, maka berita-berita dari RT ini sebenarnya sedikit mampu mengimbangi asupan informasi yang sedang menghangat di Eropa Tengah akhir-akhir ini.

Beberapa jam kemudian, saluran berita itu memang tampil normal kembali (lihat *note di bagian akhir tulisan ini). Entah kebetulan atau tidak dengan kejadian itu, segala jenis sanksi Barat memang sedang diarahkan ke Rusia. Perusahaan-perusahaan asal Amerika Serikat, yakni Google, Facebook, dan Twitter telah menghentikan penyebaran apa yang mereka sebut sebagai “disinformasi” dan melakukan demonetisasi iklan yang ditayangkan di akun media Pemerintah Rusia. Spotify bahkan dikabarkan telah menutup kantornya di Rusia.

Presiden Dewan Uni Eropa Ursula von der Leyen sebelumnya mengatakan bahwa Uni Eropa tidak dapat membiarkan propaganda besar-besaran dan disinformasi terus beredar, menuangkan kebohongan-kebohongan beracun yang membenarkan perang yang diadakan oleh Putin atau menabur benih perpecahan di Uni Eropa. Untuk itu Dewan memutuskan untuk menangguhkan distribusi disinformasi dari saluran-saluran milik Pemerintah Rusia seperti RT dan Sputnik di seluruh Uni Eropa.

Walaupun tidak persis sama duduk perkaranya, fenomena blokir-memblokir seperti ini mengingatkan pada kejadian di internal kita tatkala Pemerintah Indonesia memblokir Internet di Papua, yang kasusnya sampai dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Kesamaan isunya terletak pada soal hak setiap orang atas informasi. Semua tindakan di atas mempengaruhi akses setiap orang untuk mendapatkan informasi yang memadai dan berimbang. Tidak dapat diaksesnya lagi RT (kendati mungkin sementara waktu) sebagai salah satu alternatif sumber informasi dari media arus utama (mainstream) adalah juga pemutusan hak atas informasi itu. Di sini terlihat betapa absurd-nya ketika satu kelompok secara sepihak menilai berita dari media lain telah mengalami disinformasi, sehingga layak untuk dibatasi aksesnya atau bahkan diblokir. Pemutuisan hak ini bakal bertambah pelik apabila praktik tadi menjalar ke pembatasan di ruang-ruang media sosial. Kemampuan untuk  mengambil tindakan sepihak seperti ini terjadi karena arus informasi di dunia memang ada di bawah pengaruh kuat korporasi-korporasi besar yang berafilisasi pada kekuatan-kekuatan politik yang berkuasa. Inilah yang sekarang dipandang sebagai “the new rulers of the world”. Sengketa Ukraina mempertontonkan bahwa hegemoni media atau dalam terminologi yang lebih halus, “konsentrasi kepemilikan media”, telah ikut berperan secara signifikan.

Manuel Castells dalam bukunya “Communication Power” (2013: 74), mengatakan bahwa konsentrasi kepemilikan dalam media bukan hal baru. Sejarah sejak lama penuh dengan contoh-contoh itu, termasuk ketika Gereja mengontrol sepenuhnya penerbitan Injil dan pemerintah mengontrol sistem pengiriman surat-menyurat. Pada abad ke-20 di Amerika Serikat muncul “the big three networks” ABC, CBS, dan NBC yang mendominasi radio dan televisi. Juga ditunjukkan Reuters (Inggris), Havas (Prancis), dan Wolf News (Jerman) yang membuat kartel yang mendominasi transmisi berita-berita internasional. Pada halaman 76 dari buku ini, Manuel Castells menyajikan ragaan skematik (figure) yang memperlihatkan relasi kepemilikan dari korporasi papan atas, seperti ViaCom, CBS, TimeWarner, Yahoo, Apple, Google, NBC. Disney, Newscorp, dan masih banyak lainnya, baik melalui strategi investasi maupun partnership. Perkembangan berikutnya perusahaan-perusahaan tersebut bergerak melakukan diversifikasi platform.

Bagaimana kondisinya di Indonesia? Ross Tapsell pernah menulis buku berjudul “Media power in Indonesia; oligarch, citizens and the digital revolutions” (2018). Dalam buku setebal 208 halaman ini, dijelaskan bahwa semula perkembangan media di Indonesia cukup memberi harapan pada perbaikan pilar demokrasi pasca-keruntuhan rezim Soeharto. Hanya saja, dari hari ke hari, media arus utama makin kehilangan kepercayaan publik di Indonesia akibat konsentrasi kepemilikannya ada di tangan tokoh-tokoh politik dan mereka secara partisan ikut menentukan konten informasi yang disebarkan di media itu. Keadaan ini mendorong lahirnya platform alternatif seperti Kompasiana, Liputan 6, dan Indonesiana yang mendukung debat publik dan kerapkali ikut pula dipantau oleh media arus utama tadi.  Hal ini sekilas cukup menggembirakan, tetapi tidak berarti platform alternatif tadi ada di wilayah yang aman-aman saja.

Apa yang sedang terjadi di Ukraina saat ini mencuri perhatian kita. Terlepas dari simpati kita terhadap penderitaan rakyat negeri itu, sikap kita selanjutnya terhadap perang tersebut akan sangat bergantung pada asupan informasi yang kita terima dari waktu ke waktu. Harap hati-hati saja, bahwa hak kita atas informasi yang memadai dan berimbang, sedang ikut diuji oleh pemilik hegemoni media di jagat maya. Saya membayangkan, bakal ada yang ganjil, seandainya tayangan-tayangan yang dibuat oleh siapapun, termasuk karya orang Indonesia yang dikesankan pro-Rusia di Youtube, tiba-tiba menghilang karena dinilai sebagai disinformasi dan penebar kebohongan. (***) 


*) Note: Setelah beberapa hari tulisan ini ditayangkan, ternyata benar bahwa hilangnya siaran RT dari kanal televisi kabel tersebut terkait dengan pemblokiran. Hal ini dijelaskan dari pengumuman di layar saluran tersebut dengan kalimat sebagai berikut: “Mohon maaf untuk sementara kami tidak dapat menyiarkan saluran ini karena situasi geopolitik, siaran ini sedang mengalami masalah penyiaran. Terima kasih atas pengertian Anda.”

 



Published at : Updated

Periksa Browser Anda

Check Your Browser

Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

We're Moving Forward.

This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

  1. Google Chrome
  2. Mozilla Firefox
  3. Opera
  4. Internet Explorer 9
Close