PANDUAN JAWABAN UJIAN PENALARAN HUKUM (GANJIL T.A. 2021-2022)
Oleh SHIDARTA (Februari 2022)
Pada semester ganjil tahun akademik 2021/2022, saya mengampu mata kuliah Penalaran Hukum (Legal Reasoning) untuk beberapa kelas di program S-1 di Universitas Bina Nusantara. Sebagai ujian akhir, sesuai dengan luaran pembelajaran* yang dijanjikan, disajikan tiga soal seperti yang akan disampaikan nanti di bawah.
Oleh karena banyak mahasiswa yang ingin tahu seperti apa ekspektasi dosen untuk jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, maka dibuatlah tulisan ini. Tujuannya selain sebagai pertanggungjawaban dosen terhadap mahasiswa yang mengikuti mata kuliah ini, juga sebagai bahan pembelajaran bagi mahasiswa berikutnya yang akan mengikuti mata kuliah ini. Tulisan ini hanyalah suatu panduan jawaban, sehingga mahasiswa tetap memiliki kebebasan berkreasi dengan argumentasi masing-masing.
Soal diawali dengan paparan salah satu pasal yang dicuplik dari Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Di dalam soal terdapat kesalahan ketik, yaitu Pasal 28 terketik Pasal 26 dan Pasal 45A terketik Pasal 45. Beberapa mahasiswa sempat meminta klarifikasi atas kesalahan ketik ini. Hal ini sangat menggembirakan karena menandakan bahwa mahasiswa-mahasiswa itu memeriksa langsung rumusan asli dari ketentuan-ketentuan normatif yang dicantumkan di dalam soal.
Pasal 28 ayat (2) tersebut adalah norma primer (norma perilaku) yang di dalamnya tidak disertakan norma sanksi sebagai norma sekundernya. Norma sanksinya terdapat pada Pasal 45 ayat (2). Namun, ketentuan Pasal 28 ayat (2) ini ditulis ulang di dalam Pasal 45A ayat (2) versi UU Nomor 19 Tahun 2016, yang membuat Pasal 28 ayat (2) sudah kehilangan signifikansinya kecuali sekadar untuk menunjukkan posisinya sebagai norma primer. Apabila kedua pasal itu digantungkan atau Pasal 45A dibaca utuh, maka akan tampak formulasi sebagai berikut:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dosen lalu menyodorkan sebuah fakta fiktif dengan deskripsi sebagai berikut:
Seorang pria bernama Hasnito (45) tahun bertugas sebagai staf di sekretariat sebuah sekolah menengah di Jakarta. Sebagai staf ia bertugas membaca dan membalas surat elektronik (email) dan pesan-pesan yang masuk di saluran komunikasi/media sosial resmi milik sekolah itu. Pada tanggal 6 April 2020, ada sebuah email yang dikirimkan oleh seseorang (tanpa identitas jelas) yang menginformasikan telah terjadi tindakan diskriminasi oleh kepala sekolah di dalam penerimaan guru di sekolah itu. Email ini menyatakan kepala sekolah ini lebih memprioritaskan calon-calon dari suku, asal daerah, dan agama yang sama dengannya untuk dijadikan guru di sekolah itu. Hasnito kemudian meneruskan email ini kepada seorang guru bernama Sukirman untuk meminta pendapat. Sukirman tidak membalas email Hasnito, tetapi beberapa hari kemudian isi email itu telah tersebar luas di berbagai media sosial. Kepala sekolah merasa terpojok dengan berita yang tersebar luas tersebut dan sudah membantah telah berlaku diskriminatif. Karena tahu Hasnito adalah orang yang pertama kali membaca email tersebut, ia lalu melaporkan Hasnito ke Kepolisian. Konon polisi sedang mempertimbangkan untuk mengenakan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A UU tentang ITE terhadap Hasnito.
Kemudian tampil tiga soal sebagai berikut:
- Strukturkan norma Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A UU ITE tersebut, yaitu hanya pada norma primernya saja. Strukturkan menurut subjek norma, operator norma, objek norma, dan kondisi norma.
- Hasnito datang menghubungi Anda (mahasiswa hukum BINUS) untuk minta pendapat hukum (legal opinion) atas kasus yang tengah dihadapinya. Pertanyaan yang diajukan kepada Anda adalah: apakah Hasnito dapat memenuhi semua unsur Pasal 28 ayat (2) UU ITE itu? Hasnito minta agar pendapat hukum dapat dibuat mengikuti contoh format pada tautan berikut ini: https://business-law.binus.ac.id/2020/05/04/latihan-penulisan-legal-opinion/ dan dikirimkan ke alamatnya di jalan Kemangisan Ilir III No. 50 Jakarta Barat. Buatlah pendapat hukum seperti permintaan Hasnito!
- “Karena Hasnito adalah orang yang pertama menerima dan membaca email itu, maka ketika email itu tersebar luas ke masyarakat, maka pastilah Hasnito yang menyebarkannya.” Jika Anda kaitkan dengan jenis-jenis kesesatan bernalar (fallacies), maka argumentasi seperti di atas termasuk jenis kesesatan yang mana. Berikan penjelasan atas jawaban Anda!
Panduan Jawaban Soal Nomor 1:
Norma primer pada soal di atas terletak pada kata-kata: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”. Apabila distrukturkan, akan tampak sebagai berikut:
Subjek Norma | Setiap Orang |
Operator Norma | dilarang |
Objek Norma | menyebarkan informasi |
Kondisi Norma | dengan sengaja dan |
tanpa hak | |
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu | |
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)” |
Operator norma “dilarang” tidak terdapat pada teks asli Pasal 28 ayat (2) karena memang penulisan pasal itu pada dasarnya keliru. Jika dibaca, ketentuan ayat itu tidak utuh sebagai satu pokok pikiran. Hal ini karena operator normanya hilang dan baru bisa dipahami apabila judul bab dari pasal itu ikut dicermati ketika membaca teks ayat tersebut. Sekalipun tidak terdapat di dalam rumusan pasalnya, keberadaan norma sanksi secara logis dapat dipahami tentang apa operator normanya, yakni larangan.
Perlu dicatat juga bahwa kata “informasi” di dalam ketentuan norma di atas juga keliru karena seharusnya “Informasi Elektronik” dengan huruf I dan E ditulis dengan huruf kapital. Penulisan dengan huruf kapital ini menandakan bahwa terminologi itu sudah didefinisikan di dalam Bab Ketentuan Umum. Hal ini logis karena undang-undang ini adalah tentang informasi dan transaksi elektronik, sehingga tidak mungkin yang dimaksud di sini adalah informasi pada umumnya, melainkan harus “Informasi Elektronik”.
Panduan Jawaban Soal Nomor 2:
Jawaban atas soal nomor 2 ini membutuhkan uraian yang agak sepesifik, yang variasinya bisa sangat banyak antara satu mahasiswa dan mahasiswa lain tatkala jawaban itu dituangkan di dalam format pendapat hukum mereka. Contoh format pendapat hukum itu, mahasiswa dapat mengacu pada artikel lain yang ditulis oleh dosen, dengan tautan yang sudah disebutkan di dalam soal.
Untuk soal ini, dosen menekankan pada pentingnya mahasiswa tahu bagaimana penalaran hukum dibangun guna menjawab pertanyaan klien itu. Pertanyaan itu adalah: apakah Hasnito dapat memenuhi semua unsur dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE itu? Unsur-unsur dari Pasal 28 ayat (2) itu, dengan demikian, perlu disilogismekan secara kategoris. Ada enam hal yang perlu disilogismekan, yaitu: (1) setiap orang, (2) menyebarkan informasi, (3) dengan sengaja, (4) tanpa hak, (5) ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu, dan (6) berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Jika keenam hal di atas terpenuhi, maka kesimpulannya Hasnito [dengan perilakunya itu] telah memenuhi semua unsur Pasal 28 ayat (2) UU ITE itu. Jika ada satu saja yang konklusi dari silogismenya bernada negatif (tidak terpenuhi), maka kesimpulannya Hasnito tidak memenuhi semua unsur Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Mari kita coba silogismekan dengan silogisme kategoris beberapa di antaranya:
Premis mayor | [Setiap] orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum adalah Orang sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (2) UU ITE. |
Premis minor | Hasnito adalah orang perseorangan, |
Konklusi | Hasnito adalah Orang sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (2) UU ITE. |
Terminologi “Orang” di atas diposisikan terma Predicatum (P) dan terma dalam frasa “orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum” sebagai terma tengah (M). Jadi, M di sini sebenarnya adalah definiens untuk terminologi “Orang” yang diambil dari Pasal 1 butir 21 UU No. 19 Tahun 2016. Hasnito dalam silogisme ini menempati terma Subjectum (S).
Berikutnya adalah objek norma yang terdapat pada kata-kata “menyebarkan informasi”. Oleh karena objek norma ini terdiri dari dua kata yang layak dicermati, maka masing-masing kata ini dapat saja disilogismekan tersendiri. Mahasiswa dapat mulai dari kata “menyebarkan”. Perhatikan bahwa UU ITE sama sekali tidak memberi definisi konotatif tentang apa itu “menyebarkan”, tetapi justru menambah kompleksitas dengan memunculkan terminologi lain, yaitu “menyebarluaskan”. Perhatikan di sini bahwa di dalam penalaran hukum, kemampuan mahasiswa untuk menyusun silogisme sangat menuntut kejelian karena terkait dengan kemampuan membuat definisi atas suatu konsep hukum.
Katakan bahwa mahasiswa lalu mencoba mencari di Kamus Besar Bahasa Indonesia tentang apa itu “menyebarkan”. Definisi leksikal ini sah saja untuk digunakan. Hasil silogismenya akan terlihat kurang lebih seperti di bawah ini. Perhatikan bahwa rumus silogismenya tetap menggunakan model M-P, S-M, dan S-P.
Premis mayor | Tindakan membagi-bagikan dan/atau mengirimkan adalah menyebarkan sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (2) UU ITE. |
Premis minor | Perbuatan Hasnito yang membaca email untuk pertama kali dan mengirimkannya kepada Sukirman adalah tindakan membagi-bagikan dan/atau mengirimkan. |
Konklusi | Perbuatan Hasnito yang membaca email untuk pertama kali dan mengirimkannya kepada Sukirman adalah menyebarkan sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (2) UU ITE. |
Mungkin ada mahasiswa yang berpandangan bahwa perbuatan Hasnito yang membaca email untuk pertama kali ini seharusnya tidak dijadikan bagian dari objek norma “menyebarkan” karena perbuatan membaca email yang masuk di media resmi sekolah itu memang merupakan tugasnya. Fokus perhatian justru pada perbuatan Hasnito yang meneruskan email itu kepada Sukirman. Dosen akan memberi penilaian terhadap argumentasi-argumentasi seperti itu.
Hal berikutnya adalah informasi. Seperti telah disinggung sebelumnya kata “informasi” ini tidak dicantumkan definisinya di dalam UU ITE, beda halnya dengan “Informasi Elektronik”. Untuk itu, kita dapat menggunakan logika bahwa kata “informasi” di sini adalah genus dari “Informasi Elektronik”, sehingga apabila pesan yang disampaikan oleh Hasnito itu sudah berbentuk Informasi Elektronik, maka dengan sendirinya ia juga adalah suatu “informasi”. Silogismenya adalah sebagai berikut:
Premis mayor | Informasi Elektronik berupa satu atau sekumpulan data elektronik, [termasuk |
Premis minor | Pesan yang diterima oleh Hasnito dan dikirimkannya ke Sukirman adalah Informasi Elektronik berupa satu atau sekumpulan data elektronik, [termasuk |
Konklusi | Pesan yang diterima oleh Hasnito dan dikirimkannya ke Sukirman adalah informasi sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (2) UU ITE. |
Kata “tetapi tidak terbatas” sengaja ditandai dengan coretan, untuk mengajak mahasiswa berhati-hati terhadap kata-kata yang berkonotasi negatif karena munculnya kata “tidak” atau “bukan” (ingat dalil-dalil pembuatan definisi). Kata-kata “tetapi tidak terbatas” tersebut hanya bermaksud memberi penegasan, sehingga jika dihilangkan pun, sebenarnya tidak mengubah makna. Kata “termasuk” di sini sudah menunjukkan uraian sesudahnya adalah contoh-contoh saja.
Nah, ketika berbicara tentang contoh-contoh, maka dengan sendirinya mahasiswa paham bahwa definisi “Informasi Elektronik” dalam Pasal 1 butir 25 itu tidak murni sebagai definisi konotatif. Contoh-contoh itu adalah suatu definisi denotatif. Definisi konotatif tentang “Informasi Elektronik” hanya terdiri dari kata-kata “Informasi Elektronik berupa satu atau sekumpulan data elektronik yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Dengan pemahaman seperti itu, apabila mahasiswa ingin langsung menggunakan definisi denotatifnya saja, maka tetap valid untuk membuat silogisme sebagai berikut:
Premis mayor | Semua surat elektronik (electronic mail) sebagai bagian dari Informasi Elektronik adalah informasi sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (2) UU ITE. |
Premis minor | Pesan yang diterima oleh Hasnito dan dikirimkannya ke Sukirman adalah surat elektronik (electronic mail) sebagai bagian dari Informasi Elektronik. |
Konklusi | Pesan yang diterima oleh Hasnito dan dikirimkannya ke Sukirman adalah informasi sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (2) UU ITE. |
Sekarang kita masuk ke hal lain yang perlu disilogismekan, yaitu pada kondisi norma. Saya akan melompati pembahasan tentang kondisi “dengan sengaja”. Dalam berbagai peraturan perundangan-undangan, terma “dengan sengaja” atau “dengan maksud” tidak ditemukan definisinya. Mahasiswa tentu sudah mendapatkan materi ini di dalam kuliah Hukum Pidana, bahwa dengan sengaja ini lazim dimaknai sebagai “menghendaki dan mengetahui”. Tokoh yang kerap dirujuk adalah van Hatum, yang mengatakan bahwa “menghendaki” di sini adalah menghendaki perbuatan dan akibat dari perbuatan itu (opzet als oogmerk), sedangkan “mengetahui” adalah mengetahui perbuatan dan akibat dari perbuatan itu (opzet als wetenschap).
Untuk itu, premis mayornya dapat ditulis, misalnya, sebagai berikut: “Sikap menghendaki perbuatan dan akibat dari perbuatan itu serta mengetahui perbuatan dan akibat dari perbuatan itu adalah “dengan sengaja” sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (2) UU ITE.”
Persoalannya adalah, perbuatan apa dan akibat perbuatan apa? Perbuatan yang dimaksud di sini tentu adalah perbuatan menyebar informasi berupa surat elektronik. Akibat perbuatan di sini ternyata disebutkan di dalam kondisi norma, yaitu [timbulnya] “rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu.”
Apabila kita ingin lebih lengkap dengan menyertakan sekaligus kondisi norma yang lain, maka tampilan rumusan premis mayornya dapat juga dituliskan seperti di bawah ini, dan kemudian diikuti premis minor dan konklusi sebagai berikut:
Premis mayor | Sikap menghendaki dan mengetahui perbuatan serta akibat perbuatan berupa rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu adalah ‘dengan sengaja’ sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (2) UU ITE. |
Premis minor | Tindakan Hasnito yang mengirimkan surat elektronik kepada Sukirman pribadi untuk meminta pendapat atas isi surat elektronik tersebut adalah BUKAN Sikap menghendaki dan mengetahui perbuatan serta akibat perbuatan berupa rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu. |
Konklusi | Tindakan Hasnito yang mengirimkan surat elektronik kepada Sukirman pribadi untuk meminta pendapat atas isi surat elektronik tersebut adalah BUKAN ‘dengan sengaja’ sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (2) UU ITE. |
Rangkaian silogime kategoris sebagaimana dipaparkan di atas, ternyata menemukan satu silogisme yang konklusinya negatif. Dengan adanya satu silogisme yang konklusinya negatif, maka dengan sendirinya seluruh ketentuan norma primer dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE itu gugur (tidak terpenuhi). Sebagaimana sering disampaikan dalam perkuliahan, rangkaian silogisme kategoris tersebut, pada akhirnya akan ditutup dengan silogisme hipotetis (jika… maka…_) untuk memperlihatkan keterkaitannnya dengan norma sanksi. Seluruh rangkaian silogisme kategoris berdasarkan Pasal 28 ayat (2) itu diposisikan sebagai anteseden, sedangkan akibat hukum di dalam Pasal 45A sebagai konsekuensnya.
Nah, materi yang disampaikan di atas adalah dasar argumentasi dari pendapat hukum yang dibuatnya untuk soal nomor 2 tersebut. Tentu saja, mahasiswa boleh mengelaborasi pendapat hukumnya dengan kalimat yang lebih populer (mengingat klien tidak selalu membutuhkan uraian yang rigid). Mahasiswa dipersilakan mengelaborasi pendapat hukumnya, namun dosen akan menilai apakah pendapat hukum tersebut dibangun mendekati dasar argumentasi seperti di atas.
Panduan Jawaban Soal Nomor 3:
“Karena Hasnito adalah orang yang pertama menerima dan membaca email itu, maka ketika email itu tersebar luas ke masyarakat, maka pastilah Hasnito yang menyebarkannya.”
Pernyataan tersebut langsung bisa diidentifikasi sebagai kesesatan bernalar. Kesesatan muncul karena ada dua fakta yang digiring ke satu konklusi. Pertama, fakta bahwa Hasnito adalah orang pertama yang menerima dan membaca surat elektronik (email). Kedua, fakta bahwa email tersebut tersebar luas ke masyarakat. Karena yang satu terjadi lebih dulu daripada yang lain, maka keduanya dianggap menjadi sebab-akibat. Kesesatan ini dikenal sebagai post hoc ergo propter hoc.
Kesesatan terjadi karena fakta yang terjadi lebih dulu ditempatkan sebagai anteseden. Fakta ini dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum (dilakukan secara tanpa hak). Padahal, dalam kasus ini Hasnito memang guru yang ditugaskan untuk membaca semua email yang masuk, dan membalasnya. Oleh sebab itu, fakta ini tidak dapat dianggap sebagai anteseden dari tersebarnya email itu ke masyarakat. Ini adalah juga sebuah kesesatan yang memperlihatkan konklusi yang tidak relevan (irrelevant conclusion) yang lebih dikenal sebagai kesesatan ignorantio elenchi. (***)
*) NoteL Luaran pembelajaran (learning outcome) ini terdiri dari tiga LO yang dirumuskan sebagai berikut: “LO1: Explain the problems of legal definition and legal concept. LO2: Construct propositions and syllogisms related to legislation and judicial decision. LO3: Analyze legal cases to find the substance of judicial law-making and fallacies.”
Published at :
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...