REGULASI DAN PENDIDIKAN SEBAGAI ALAT PERBAIKAN MASA DEPAN
Oleh SHIDARTA (Februari 2022)
Pada tahun 2018, Andrew Keen, seorang penulis dan wirausahawan yang banyak mendirikan starts-ups (seperti Audiocafe, AfterTV) menerbitkan buku berjudul “How to Fix the Future: Staying Human in the Digital Age”. Buku ini ditulis dengan semangat yang lebih positif dalam memandang masa depan di tengah era digital. Saya tidak bermaksud mengulas isi buku setebal 331 halaman tersebut, tetapi artikel pendek saya ini memang dipicu oleh pernyataan Keen pada Bab II buku itu (halaman 29-51). Bab ini bertajuk “Five Tools for Fixing the Future”.
Lima alat untuk memperbaiki masa depan itu adalah: (1) regulation; (2) competitive innovation; (3) social responsibiity; (4) worker and consumer choice; dan (5) education. Pilihan Keen atas lima alat ini agak sedikit berbeda dengan daftar alat yang dikemukakan oleh Betawork CEO John Borthwick yang juga dikutip oleh Keen. Menurut John Borthwick, lima alat itu adalah: (1) open technology platform; (2) antritrust regulation; (3) responsible human-centric design, (4) the preservation of public space; dan (5) a new social security system. Keen kemudian menguraikan lima alat; dimulai dari regulasi sampai pendidikan itu dalam Bab V sampai dengan Bab X.
Saya ingin memberi dukungan atas pemikiran yang menempatkan regulasi, yang notabene merupakan wujud hukum paling kasatmata, pada urutan pertama dari alat untuk memperbaiki masa depan. Menarik, bahwa Keen berkaca pada kasus legendaris yang juga pernah saya kutip dalam buku saya berjudul “Hukum Perlindingan Konsumen Indonesia” (Grasindo, 2000: 36), yakni skandal industri pengalengan daging yang dicetus oleh Upton Sinclair dalam novel “The Jungle”. Novel ini menandai tahapan pertama perjalanan hukum perlindungan konsumen di Amerika Serikat (1881-1941) yang memaksa Presiden Roosevelt menandatangani Meat Inspection Act (1906). Aturan ini secara luar biasa mampu memperbaiki karut-marut industri maknanan di negara itu. Model bisnis di area ini terus berbenah dan makin siap tatkala memasuki tahap modernisasi. Keen menulis sebagai berikut (hlm. 46-47):
When regulation came, rather than hampering the business, it actuall sped up the rate at which the industry modernized. The hard-won success of the body of reforms developed over the late nineteenth and early twentieth centuries ended up pushing meatpackers to innovate in technology; in design, and in production efficiency, all of which made meat safer and more affordable for average consumers. It ended up being a win for both producer and consumer.
Tatkala harus mengelaborasi mengenai alat perbaikan bernama regulasi ini, Keen pada halaman 126-164 menyinggung tentang satu area hukum yang paling berperan, yakni hukum persaingan usaha. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Borthwick yang memang dijadikannya sebagai referensi. Era digital seperti ini memerlukan pengaturan agar tidak muncul lansekap “the winner-take-all” sehingga bakal muncul perlakuan yang fair bagi setiap pelaku usaha, khususnya bagi mereka yang hadir sebagai pemain baru di pasar bersangkutan. Bagi kita di Indonesia, pesan ini layak ditujukan pada lembaga seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk makin dioptimalkan kewenangannya.
Demikianlah, disukai atau tidak disukai, hukum pada dasarnya akan menjadi alat perbaikan atas segala kekisruhan yang telah menjadi beban sosial pada setiap era, termasuk di era digital seperti dewasa ini. Hanya orang-orang pesimistis yang kerap mengkambinghitamkan hukum karena dianggap menghambat kemajuan. Mereka berprinsip mirip seperti ucapan Dick ‘The Butcher’ dalam drama Shakespeare, “The first thing we do, let’s kill all the lawyers!”
Tentu saja, regulasi sebagai alat perbaikan bagi masa depan, menuntut sejumlah syarat. Regulasi ini harus dibentuk dengan penekanan pada kualitas, bukan kuantitas. Prosedur pembuatannya tidak harus berlama-lama, tetapi jangan pula “potong kompas” yang menyisakan banyak cacat. Obesitas peraturan perundang-undangan yang menjadi alasan lahirnya pemangkasan hukum model omnibus law memang suatu permasalahan. Hanya saja, obsesitas ini lahir dari akibat pembentukan hukum yang terlalu menekankan pada kuantitas dan semangat ego-sektoral. Kondisi ini pasti berbuah pada kebingungan dan ketidakpastian akibat ketidaksinkronan pegangan di antara berbagai sektor. Ketika aturan-aturan itu sudah saling berhimpit dan melilit, maka terpaksa gaya amputasi ala omnibus dipakai, dengan menebas sekian banyak pasal dari berbagai undang-undang dengan sekali ayunan pedang.
Saya ingin melewatkan alat kedua sampai keempat yang disampaikan oleh Keen. Satu alat terakhir yang menarik untuk disinggung dalam tulisan ini, yaitu pendidikan. Pada halaman 268, Keen menulis:
And so, finally, we’ve arrived at the question of education. Education we are told, particularly by those who don’t teach or work in school, is the answer. Education is how people are supoosed to be retrained to work in the new economy. Education is where kids develop Albert Wenger’s “psychological freddom” in order to break their online addiction. Education, to borrow some of Daniel Straub’s language, is where we learn to be human. And though none of this is exactly wrong, the problem is that education has become the default solution to everything. When we don’t know how to solve a big problem, we shove it into the classroom and make underpaid and overworked teachers responsible for fixing it. The bigger and more amorphous the problems, the more we hand it off to schools to fix.
Dua alat perbaikan masa depan yang dicuplik dari pandangan Keen, yaitu regulasi (dalam arti lebih luas, berarti hukum) dan pendidikan, memberi aksentuasi agar kita memberi perhatian penuh pada pembangunan dua bidang super-strategis ini. Apabila kita berekspektasi pada kualitas regulasi, maka permintaan ini pertama-tama juga harus menilik kepada kualitas sumberdaya para pembentuk regulasi itu sendiri. Secara kewenangan, para pembentuk regulasi itu memang dapat dirujuk posisi mereka sebagai anggota legislatif, eksekutif, yudikatif, dan seterusnya. Namun, mereka semua pernah mengenyam dunia pendidikan, yang juga harus disentuh dengan kualitas secara substansial. Bukan kualitas yang semu dan sekadar dekoratif. Pendek kata, regulasi hanyalah ujung pedang dari alat perbaikan masa depan tersebut, sementara gagang pedangnya terletak pada pendidikan. (***)
Published at :
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...