DISKUSI PENYUSUNAN DRAF UNDANG-UNDANG PERSAINGAN USAHA
Pada tanggal 28 Januari 2022, Shidarta, dosen Jurusan Hukum Bisnis (Business Law) BINUS diundang oleh Sekretariat DPR RI untuk menjadi narasumber dalam diskusi bersama dengan Tim Kerja Penyusun Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Hadir dalam diskusi secara daring itu antara lain ketua tim Arif Usman, S.H., M.H., sekretaris tim Noor Ridha Widiyani, S.H. dan Mohammad Gadmon Kaisar, S.H., serta anggota tim Dewi Wuryandani, S.T., M,M,, Niken Paramita Purwanto, S.E., M.Ak., dan Olsen Peranto, S.H. Juga ikut hadir tenaga ahli Komisi VI DPR F.X. Wawolangi, S.Hum., M.Si. Salah satu dosen dari Jurusan Hukum Bisnis BINUS Siti Yuniarti menyempatkan diri pula untuk mengikuti acara ini.
Dalam pengantar diskusi, Ketua Tim Kerja menjelaskan bahwa DPR telah berinisiatif untuk meninjau UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kemungkinannya dapat berupa perubahan, tetapi juga tidak tertutup kemungkinan berupa pergantian secara total. Tim ini akan melengkapi naskah akademiknya dengan mengundang beberapa narasumber dan hasilnya akan digunakan untuk menyusun draf undang-undangnya.
Shidarta mencatat bahwa pada tahun lalu sudah tersedia rancangan tersebut, namun ia melihat masih banyak catatan yang perlu didiskusikan. Ia mencatat antara lain pentingnya analisis metakaidah dilakukan oleh tim kerja ini. Menurutnya, banyak rumusan norma perilaku dalam UU No. 5 Tahun 1999 yang tidak koheren satu sama lain, serta tidak didukung oleh norma-norma sekundernya, khususnya norma definisi. Ia memberi beberapa contoh konkret, seperti formulasi larangan [praktik] monopoli dalam Pasal 17 yang tidak sejalan dengan rumusan norma definisi “praktek monopoli” di dalam bab ketentuan umum. Hal yang sama terjadi di banyak ketentuan, sehingga menuntut Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk membuat panduan-panduan dalam rangka menafsirkan maksud pasal-pasal itu. Sayangnya, upaya yang dilakukan oleh KPPU juga tidak maksimal karena hal yang ingin dijelaskan ternyata tidak membuatnya lebih jelas. Sebagai contoh, Shidarta menunjuk Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2011 yang bermaksud memperjelas larangan praktek diskriminatif sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1999. Unsur praktek diskriminatif dimaknai oleh KPPU sebagai tindakan atau perlakuan dalam berbagai bentuk yang berbeda yang dilakukanoleh satu pelaku usaha terhadap pelaku usaha tertentu. Panduan seperti ini tidak menambah kejelasan apa-apa karena diskriminatif artinya memang perlakuan berbeda. Shidarta mempertanyakan, mengapa misalnya tidak mengambil kata kunci seperti tertera dalam Penjelasan Pasal 19 huruf a (yang seharusnya bisa dipakai juga untuk huruf d), yaitu kata “tidak wajar” atau alasan “non-ekonomis”. KPPU justru penting di dalam peraturan komisi memperjelas apa makna dari perlakuan tidak wajar dan alasan-alasan non-ekonomis yang mencerminkan praktik diskriminatif itu.
Rumusan Pasal 19 itu juga menarik untuk dikritik apabila pasal ini dibuat struktur normanya. Terlihat bahwa rincian norma perilaku dalan huruf a, b, c, dan d itu tidak paralel. Terlihat bahwa proposisi mencakupi atau tumpang tindih dengan proposisi yang lain. Belum lagi jika kondisi norma yang mencerminkan pendekatan per se illegal dan rule of reason ikut ditelaah. (***)
Materi paparan selengkapnya dapat dilihat pada:
Published at :
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...