People Innovation Excellence

KISAH RAJA REX DAN MORALITAS INTERNAL HUKUM

Oleh SHIDARTA (Januari 2022)

Raja Rex naik tahta. Ia melihat hukum yang berlaku dan diwariskan padanya sudah kuno, tidak efisien, dan dilaksanakan oleh aparat yang korup. Rex berniat untuk mengubahnya. Ia yakin dengan iktikad baik dan semangat sebagai seorang reformis, ia mampu mengubah sistem hukum yang bobrok ini.

Sebagai seorang raja, Rex memutuskan untuk mencabut seluruh kewenangan institusi hukum yang ada dan mengumumkan bahwa selanjutnya dirinya sendiri yang akan menyelesaikan setiap perselisihan, kasus per kasus. Demikianlah, rakyat datang menghadap Rex setiap kali mereka berselisih dan meminta penyelesaian.

Sayangnya, Raja mendapati satu kasus itu tidak pernah benar-benar sama dengan kasus lainnya, sekalipun misalnya ada dua kasus yang sama-sama pencurian. Pada kasus pertama, Rex mendapati ada seorang pria tua renta mencuri setandan pisang dari kebun tetangganya karena sudah tiga hari ia kelaparan. Pada kasus kedua, ia mendapati seorang wanita hamil telah memerah susu dari sapi milik tetangganya tanpa terlebih dulu meminta izin. Wanita ini perlu susu untuk membuat bayi di dalam kandungannya tetap sehat dan ia tidak punya uang untuk membelinya di pasar. Apakah dua peristiwa ini dapat diadili dengan pola yang sama? Jika ya, apakah hukumannya harus sama beratnya? Antara pria tua renta kelapran dan wanita hamil itu, mana yang lebih jahat?

Raja mengadili berdasarkan intuisinya. Dan, intuisi tidak selalu dapat diduga seperti apa bakal mengantarkannya ke arah putusan akhir. Terkadang rasa ibanya muncul melihat orang-orang tua yang kelaparan sementara tetangganya tidak rela berbagi. Terkadang ia marah mendapati masih ada saja wanita hamil yang egois mencuri susu milik tetangganya, padahal tetangganya itu juga sama butuhnya atas susu itu sebagai sumber penghasilan keluarganya satu-satunya. Ternyata ada begitu banyak nuansa pada setiap kasus. Variabel-variabel ini membuat setiap kasus harus didekati secara unik dan berbeda. Intuisi yang dibalut rasa iba atau kemarahan saat mengadili adalah hal-hal yang tidak dapat diungkapkan di dalam putusan. Rakyat hanya tahu bahwa Raja sudah membuat keputusan, tetapi tidak pernah benar-benar peduli detail peristiwa yang menyelimuti setiap kasus.

Rakyat bingung menghadapi cara pengadilan intuitif seperti itu. Mereka menilai Raja tidak konsisten karena rakyat tidak melihat ada satu pola yang dapat dijadikan pegangan bersama. Misalnya, mengapa untuk dua kasus pencurian, ada dua pola berbeda yang digunakan oleh Raja? Namun, jika Raja memutuskan sama, mereka juga bingung, mengapa harus sama padahal latar belakang pelaku dan motif para pelakunya berbeda? Mereka protes.

Raja menanggapi protes ini dengan cepat. Ia kemudian menuliskan alasan yang telah memandunya setiap kali ia menjatuhkan putusan, tetapi panduan ini tidak diumumkannya ke publik. Ia berpikir, cukuplah itu menjadi pegangannya secara pribadi setiap kali ia menjatuhkan putusan.

Rakyat tahu bahwa Raja telah menuliskan panduannya dalam membuat putusan, tetapi mereka tidak puas karena pola-pola penjatuhan putusan itu masih dirahasiakan. Mereka tetap curiga bahwa Raja ingin memelihara inkonsisten sikapnya (dan ini sama artinya tidak adil) di dalam menyelesaikan perselisihan rakyatnya. Rakyat protes lagi.

Baiklah. Raja Rex pun setuju menerbitkan panduan itu secara bertahap. Caranya adalah dengan memberitahukan pola yang digunakannya setiap kali ia selesai memutuskan suatu kasus. Ia ingin pola-pola ini dapat dipelajari dan dijadikan pegangan yang sama bagi rakyatnya agar tidak mengulangi tindakan serupa seperti kasus-kasus yang telah diputuskannya.

Tetap saja, rakyat menilai cara yang ditempuh Raja Rex ini tidak ada gunanya karena mereka baru tahu suatu pola penjatuhan kasus, hanya setelah  putusan atas kasus itu diumumkan. Hal ini sudah terlambat, menurut mereka. Mengapa pola seperti itu tidak mereka ketahui sebelumnya, sehingga rakyat dapat mengantisipasi seperti apa putusan bakal dijatuhkan? Lagi-lagi rakyat protes.

Menghadapi protes seperti ini, Raja Rex lalu memutuskan untuk menerbitkan keseluruhan dari pola yang sudah ditulisnya selama ini. Ia berharap kali ini kecurigaan dan protes dari rakyatnya berhasil diredam.

Ternyata tidak demikian yang terjadi. Pada publikasi pola-pola itu ditemukan banyak ketidakjelasan. Raja Rex memang tidak mampu menuliskan dengan baik pola-pola yang digunakannya selama ini. Jangankan rakyat biasa, bahkan para ahli hukum terlatih pun tidak paham maksud dari publikasi [aturan] yang dibuat oleh raja mereka. Pernah suatu ketika, Raja Rex diminta untuk mengklarifikasi beberapa pola yang ditemukan di dalam publikasi itu, dan ternyata Raja gagal memberikan jawaban yang memuaskan. Rakyat bingung. Protes lagi!

Raja terpaksa mencabut publikasi tersebut. Ia menyadari bahwa ia tidak sanggup meluruskan semua inkonsistensi yang tercermin dari pola-pola yang telah digunakannya selama ini. Ia lalu membentuk sebuah tim dan meminta tim inilah yang harus meluruskannya. Hal-hal yang tidak konsisten, harus dibuat menjadi konsisten. Rakyat sedang menuntut ada kepastian (di antara pola-pola yang tidak konsisten itu) untuk dijadikan pegangan bersama. Tim ini bekerja sangat keras. Namun, mereka menghadapi masalah. Karena sumber dari aturan itu sendiri sudah penuh inkonsistensi dan tidak dapat dijelaskan dengan baik, maka tim ini juga kerepotan menjalankan tugas tersebut. Hasil pekerjaan tim ini tidak pernah dapat maksimal.

Di sisi lain, rakyat menunggu-nunggu apa hasil dari tim ini dan menuntut agar hasil kerja mereka segera diumumkan. Ketika tim ini melaporkan hasil pekerjaannya kepada Rex, Sang Raja tidak punya pilihan lain. Ia harus tetap mengumumkannya. Untuk itu, hasil tim ini diberlakukan oleh Raja Rex sebagai undang-undang. Dengan undang-undang ini, Raja mengatakan bahwa ia tidak lagi harus memutuskan setiap perselisihan. Biarlah perselisihan diselesaikan oleh hakim-hakim yang diangkat oleh Raja. Mereka diminta bekerja berdasarkan undang-undang itu.

Namun, undang-undang yang dijadikan pegangan baru itupun menimbulkan kehebohan. Rakyat curiga, bagaimana mungkin sebuah tim bentukan Raja dapat membuat undang-undang  yang sedemikian rendah kualitasnya. Kata-kata yang digunakan tidak mudah dipahami dan multitafsir. Antara hakim yang satu dengan hakim yang lain, berbeda pula dalam memberi makna atas suatu pasal. Raja Rex kembali menjadi sasaran protes rakyatnya.

Raja mulai kehilangan kesabarannya. Ia memerintahkan untuk segera mencabut undang-undang yang bikin heboh itu. Ia kemudian membentuk tim baru. Kali ini Raja bermaksud memberi pelajaran bagi rakyatnya yang terkenal suka protes. Tim ini ditugaskan menyusun undang-undang baru. Tidak lagi mengambil pola-pola penjatuhan putusan yang sudah ada, melainkan bebas berkreasi membuat aturan-aturan baru. Berbagai tindak pidana yang belum pernah dikenal, tetapi perilaku seperti itu tidak disukai oleh Raja Rex, harus ikut dimasukkan ke dalam undang-undang ini sebagai tindak pidana. Cara pengundangan seperti ini sesuai dengan asas legalitas, yaitu bahwa aturan pidanannya harus dibuat lebih dulu sebelum Raja dapat menghukum pelanggaran atas aturan tersebut. Demikianlah saran yang ia sering dengar dari para ahli hukum!

Raja Rex yang sudah sangat kesal karena terlalu sering diprotes, kali ini ingin memakai kekuasaan yang dimilikinya itu (sebagai pembuat undang-undang) untuk memberi pelajaran bagi rakyatnya. Ia memodifikasi kebiasaan lama atau menciptakan tindak pidana baru yang menyadarkan rakyatnya bahwa pembuat undang-undang dapat mengatur perilaku mereka sesuai kehendak si penguasa. Ia memasukkan beberapa aturan yang aneh-aneh dan mustahil, yang membuat para pemrotes itu menjadi takut. Apabila selama ini rakyat diberi jangka waktu sepuluh hari untuk bisa datang menghadap Raja setiap kali ada panggilan untuk mengajukan protes, maka sekarang ini waktunya dipersingkat, yaitu harus dalam datang dalam waktu sepuluh detik saja. Raja juga memasukkan larangan batuk, bersin, cegukan, atau pingsan ketika Raja ada di dekat mereka.

Undang-undang baru ini menuai reaksi marah dari rakyat. Namun, Raja Rex sudah menyiapkan pasukan khusus untuk menindas setiap gerakan yang menentang undang-undang ini. Aparat penegak hukum yang melihat peluang untuk korup, mulai mengajak rakyat “bermain mata”. Dengan menerima sogokan, setiapkali ada jeratan undang-undang, pelakunya dapat diloloskan. Praktik koruptif ini telah menjadi pemandangan umum di mana-mana.

Orang-orang di sekitar Raja Rex yang melihat peluang untuk melengserkannya dari tahta tertinggi kerajaan, merasa sudah saatnya melakukan pemberontakan. Pada saat yang sama, Raja Rex jatuh sakit dan tidak lama kemudian meninggal dunia. Di dalam sejarah kerajaannya, ia dikenal sebagai penguasa yang buruk, yang mewariskan sistem hukum yang bobrok, bahkan lebih buruk daripada sistem hukum yang ada sebelum ia berkuasa.

Kisah Raja Rex versi di atas adalah modifikasi dari cerita Lon L. Fuller pada Bab II dari bukunya yang terkenal “The Morality of Law”. Ia memberi judul bab ini dengan kata-kata: “The Morality that Makes Law Possible”.

Apa pesan moral dari cerita fiktif (yang sudah saya bumbui di sana-sini) tersebut? Lon L. Fuller mengidentifikasi ada delapan hal yang membuat Rex gagal sebagai seorang pembuat hukum yang baik.

  1. A failure to achieve rules at all, so that every issue was decided on an ad hoc basis;
  2. a failure to publicize or at least to make available to [at least] the affected party (the rules he is expected to observe);
  3. the abuse of retroactive legislation, which not only cannot itself guide action, but undercuts the integrity or rules prospective in effect, since it puts them under the threat of retrospective change;
  4. a failure to make rules understandable;
  5. the enactment of contradictory rules; or
  6. rules that require conduct beyond the powers of the affected party;
  7. introducing such frequent changes in the rules that the subject cannot orient his action by them; and
  8. a failure of congruence between the rules as announced and their actual administration.

Fuller menyatakan delapan kegagalan itu adalah prinsip-prinsip penting yang menunjukkan moralitas dari hukum yang jelas-jelas dilupakan oleh Rex. Delapan prinsip tersebut jika sampai diabaikan, maka sebuah “hukum” benar-benar tidak layak disebut hukum. Delapan prinsip ini kemudian dikenal luas sebagai prinsip legalitas dari Fuller, yang diklaimnya sebagai moralitas internal dari hukum (inner morality of law). (***)



Published at : Updated

Periksa Browser Anda

Check Your Browser

Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

We're Moving Forward.

This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

  1. Google Chrome
  2. Mozilla Firefox
  3. Opera
  4. Internet Explorer 9
Close