LATIHAN SEDERHANA PENALARAN HUKUM (1)
Oleh SHIDARTA (Desember 2021)
Beberapa waktu yang lalu, segera setelah ujian tengah semester di Program Studi Hukum (S-1) BINUS, beberapa mahasiswa menghubungi saya via WhatsApp. Intinya, mereka menanyakan mengapa hasil akhir ujian tengah semester mereka kurang bagus dan ingin tahu penyebabnya tanpa harus melalui mekanisme “protes nilai” sebagaimana tersedia dalam sistem pembelajaran di BINUS. Walaupun secara sekilas saya telah membahas jawaban ujian yang sesuai dengan ekspektasi dosen pada sesi pertama perkuliahan pasca-ujian tengah semester itu, rupanya tetap banyak mahasiswa yang penasaran. Daripada harus menjawab berkali-kali, maka tulisan singkat di situs business-law BINUS ini diharapkan dapat membantu menjelaskannya kembali. Selain itu, tulisan ini barangkali juga dapat menjadi semacam latihan soal untuk siapa saja yang mminati kajian awal penalaran hukum.
Ada tiga soal yang diajukan sebagai soal ujjian. Dalam tulisan ini, khusus akan dibahas soal pertama saja, sedangkan soal berikutnya akan diulas dalam tulisan berikutnya.
Pada soal pertama ujian itu, dosen menunjukkan sebuah definisi yang diambil dari Pasal 28 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Kita ketahui, bahwa undang-undang ini sangat minimalis dalam memuat definisi pada bab ketentuan umumnya, sehingga berbagai terminologi kunci untuk keperluan undang-undang ini, justru tersebar di dalam berbagai pasal di bab-bab berikutnya. Salah satunya adalah definisi tentang pembina. Pasal 28 menyatakan: “Pembina adalah organ Yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada Pengurus atau Pengawas oleh Undang–undang ini atau Anggaran Dasar.”
Soal pertama dari ujian adalah “meminta mahasiswa mengajukan kritik terhadap definisi tersebut”. Untuk itu mereka dipersilakan menggunakan dalil-dalil pembentukan definisi. Rumus yang lazim digunakan dalam pembentukan definisi adalah mencari genus terdekat (proximum) lalu menambahkannya dengan pembeda yang spesifik (differentias specificas). Jadi, genus terdekat yang diajukan dalam definisi itu adalah organ yayasan. Menurut undang-undang ini, organ yayasan itu terdiri dari pembina, pengurus, dan pengawas. Menarik bahwa di dalam sistematika undang-undang ini, organ yang pertama kali dicantumkan pengaturannya adalah pembina (Pasal 28 s.d. 30), baru setelah itu pengurus (Pasal 31 s.d. 39), dan pengawas (Pasal 40 s.d. 47). Namun, definisi pembina sudah membuat definisi yang bersifat residual.
Dalil yang bersinggungan dengan kritik untuk definisi tersebut adalah bahwa definiens tidak boleh bersifat negatif, yang ditandai dengan penggunaan kata “tidak” atau “bukan”. Jadi, dalam definisi pembina itu, pembentuk undang-undang telah menggunakan teknik residu bahwa pembina itu adalah organ yang kewenangannya adalah sisa-sisa dari kewenangan milik pengurus dan pengawas. Artinyua, untuk benar-benar memahami maksud Pasal 28, pembaca undang-undang diminta melompat ke Pasal 31 s.d. Pasal 47. Itupun belum tentu ada kejelasan karena ia harus berusaha keras mencari sisa-sisa kewenangan apa lagi yang tidak tertampung pada pengurus dan pengawas.
Benar, bahwa model definisi seperti ini sangat memudahkan pekerjaan pembentuk undang-undang, tetapi menunjukkan bahwa mereka sendiri bingung sebenarnya harus memberikan definisi seperti apa berkaitan tentang organ yayasan bernama pembina ini. Mirip seperti kita bingung untuk mendefinisikan ideologi Pancasila, sehingga kita cukup mengatakan pokoknya ideologi Pancasila itu bukan ideologi komunis, kapitalis, liberal, dst. Silakan pembaca mencari sendiri sisa atau residu dari semua ideologi yang ada. Kita ambil yang “bukan-bukan” (bukan ini dan bukan itu). Penalaran yang sehat menolak cara pendefinisian seperti itu.
Selain dalil tersebut, mahasiswa tentu dapat menambahkan dalil lain pembentukan definisi, seperti bahwa definiendum dan definiens harus dapat dibolak-balik untuk memastikan tidak ada ruang lingkup yang lebih luas atau lebih sempit. Dalam konteks soal ini, kita tidak dapat memastikan apakah pendefinisian secara negatif itu memang menghasilkan ruang lingkup yang sama ukuran keluasannya.
Ada satu dalil yang ternyata banyak digunakan oleh mahasiswa di dalam jawaban mereka, yakni bahwa definisi tidak boleh bermetafora. Untuk itu mereka menunjuk kata “organ” yang dipandang sebagai kata kiasan. Pendapat demikian tidak cukup tepat karena kata “organ” jelas sudah berkembang luas, tidak lagi sekadar bermakna alat yang mempunyai tugas tertentu di dalam tubuh mahluk hidup (manusia, binatang, tumbuhan), melainkan juga tubuh instittusi bentukan manusia. Buktinya, kita lazim menyebut institusi sebagai organisasi. Dengan demikian, tidak ada masalah dengan penggunaan kata “organ” di sini.
Untuk menguji apakah “organ yayasan” merupakan genus terdekat, dapat dilakukan dengan bantuan pohon porphyrius. Mengenai hal ini sudah pernah dibahas dalam artikel lain di situs ini, sehingga tidak perlu dideskripsikan lagi cara-caranya; demikian juga melalui seri penalaran hukum yang telah diunggah di Youtube. Soal ujian ini tidak mewajibkan mahasiswa untuk menguji genus terdekat ini, tetapi tentu akan menjadi nilai tambah apabila dilakukan pengujian tersebut.
Pertanyaannya adalah: setelah mahasiswa mengkritisi definisi pembina yayasan itu, lalu apa definisi pengganti yang dapat ditawarkan? Pertanyaan ini disajikan dalam soal nomor dua dari ujian itu, yang ulasannya akan dituangkan dalam tulisan berikutnya.
Saya perlu memberi catatan penutup bahwa di dalam pembelajaran tentang perancangan peraturan (legislative drafting), memang ditemukan beberapa model pembentukan definisi khas peraturan perundang-undangan. Misalnya, dikenal ada definisi umum (algemene definities), definisi parsial (partiale definitie), definisi pembatasan pengertian (definitie in begripsbepalingen), dan definisi-definisi di luar definisi pembatasan pengertian atau definisi inisidentil (definities buiten begripsbepalingen: incidentele definitie). Pembahasan atas definisi-definisi ini dapat ditemukan dalam buku karangan Philip Eijlander dan Wim Veermans, berjudul “Wetgevingleer” (2000: 232-238). Kedalaman soal ujian tengah semester ini tidak sampai ke arah sana. Mahasiswa cukup mengkritisi definisi ini secara umum dengan menggunakan kaca mata pembacaan orang awam, yaitu dengan bantuan dalil-dalil pembentukan definisi yang biasa dibahas dalam logika. (***)
Untuk artikel selanjutnya dapat mengklik:
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...