KETERANGAN DOSEN BINUS TENTANG ARTIFICIAL TRANSACTION TERKAIT PIDANA PERPAJAKAN
Pada Kamis, 4 November 2021, Muhammad Reza Syariffudin Zaki atau Reza Zaki, dosen Jurusan Hukum Bisnis (Business Law) BINUS menjadi ahli untuk didengar keterangannya dalam perkara pidana perpajakan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Dalam hal ini, ahli menyoroti adanya unsur artificial transaction yang mengakibatkan hubugan hukum menjadi batal demi hukum.
Menurut ahli, berdasarkan Pasal 612 KUHPerdata, penyerahan benda bergerak dapat dilakukan dengan penyerahan nyata (feitelijke levering). Dengan sendirinya penyerahan nyata tersebut adalah sekaligus penyerahan yuridis (juridische levering). Sedangkan menurut Pasal 616 KUHPerdata, penyerahan benda tidak bergerak dilakukan melalui pengumuman akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam Pasal 620 KUHPerdata antara lain membukukannya dalam register.
Dengan mengutip Mariam Darus Badrulzaman, dalam bukunya berjudul “Sistem Hukum Benda Nasional”, ahli menjelaskan untuk sahnya penyerahan harus penuh syarat-syarat sebagai berikut:
- Alas hak; (onderlinggende verbintenis), yaitu perjanjian konsensual obligatoir;
- Ada penyerahan (perjanjian kebendaan);
- Ada wewenang menguasai pihak yang menyerahkan (beschikking bevoegdheid);
- Ada itikad baik (te goeder strouw);
Syarat di atas bersifat komulatif, semua syarat harus dipenuhi. Salah satu tidak terpenuhi maka pemindahan hak atas barang dapat. Misalnya saja orang yang melakukan penyerahan bukan sebagai pemilik benda dan bukan kuasa atas itu. Jika hal itu terjadi maka sudah bisa dipastikan kecacatan penyerahan benda, seperti cacat tentang legal standing dan kenyataan yuridis haknya atas benda tersebut.
“Artificial Transaction” mengandung cacat yuridis dan tidak dapat dikenakan pajak (BUKAN Objek PPN) karena tidak terpenuhi syarat objektifnya sebagai transaksi yang terutang PPN yakni tidak adanya penyerahaan barang (tidak terjadi serah-terima atau pengalihan barang secara riil dalam rekayasa transaksi jual beli barang dimaksud). Syarat dalam mengenakan PPN, adalah HARUS dengan memenuhi syarat subjektif dan objektifnya yang ditetapkan secara kumulatif dalam UU PPN dan PPnBM. Tidak terpenuhinya salah satu dari syarat kumulatif tatbestand dalam pengenaan pajak tersebut, menyebabkan transaksi yang dllakukannya TIDAK TERUTANG PPN. Kembali lagi di dalam KUHPerdata, syarat objektif salah satunya adalah harus adanya objek yang jelas. Jika itu tidak terpenuhi maka batal demi hukum atau null and void, artinya perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Tidak ada objek yang ditransaksikan (objektif) leveringnya. Akhirnya berdampak pada kewajiban pajak yang hilang karena tidak bisa dihitung. Hal ini dikarenakan hukum pajak itu kompelementer dibanding hukum perdata. (***)