HAK DAN KEWAJIBAN
Oleh SHIDARTA (Oktober 2022)
Tulisan ini semula dipersiapkan sebagai bagian dari buku yang akan diterbitkan atas inisiatif Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) Yogyakarta. Draf tulisan ini tentu tidak sepenuhnya bakal sama dengan isi buku (kumpulan tulisan bersama dengan penulis lain) yang diharapkan dapat diluncurkan pada tahun 2022. Salah satu materi dari tulisan tersebut menyoroti kaitan antara hak asasi manusia dan hukum keperdataan. Atas dasar latar belakang itulah, tulisan ini membawa kita pada satu tema perenial dalam filsafat hukum, yakni tentang hak dan kewajiban.
Dalam studi hukum, sangat lazim kita menghadap-hadapkan konsep hak dengan kewajiban. Apeldoorn menelusuri kedua konsep ini dengan mengatakan keduanya sebagai dua segi dari satu hubungan hukum. Seolah-olah jika pada satu pihak terdapat hak, maka pada pihak lain terdapat kewajiban (timbul secara refleks). Kelsen memberi penjelasan yang sedikit berbeda, dengan mengatakan bahwa konfigurasi hak dan kewajiban itu berkaitan dengan hubungan antara hukum dan moral. Dalam buku “Pure Theory of Law” (Bab IV Bagian 29), Kelsen menyatakan bahwa moral selalu mengedepankan kewajiban, sebaliknya hukum selalu mengedepankan hak.
Dalam bahasa Jerman dan Belanda, kata “hak” dan “hukum” memang menggunakan terminologi yang sama, yakni Recht. Hukum adalah Recht im objektiven Sinne (hukum dalam pengertian objektif), sedangkan hak adalah Recht im subjektiven Sinne (hukum dalam pengertian subjektif). Setiap individu dipahami sejak dilahirkan, pastilah sudah memiliki kebebasan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Itulah hakikat dari hak, yakni kebebasan bagi si subjek hukum untuk berperilaku. Kelsen menyebutkan hak demikian sebagai kebolehan yang positif (positive permission). Jika kita memiliki hak, berarti kita memiliki kebolehan untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang. Sampai di sini kita pahami bahwa karena semua orang memiliki kebolehan seperti itu, akhirnya izin demikian memunculkan ketidakbebasan pula. Ketidakbebasan tersebut datang karena perbenturan kebebasan-kebebasan yang memunculkan potensi konflik. Perbenturan terjadi apabila kebolehan melakukan sesuatu itu dilaksanakan secara melampaui batas, yang kerap disebut penyalahgunaan hak (misbruik van recht; abuse of right).
Hukum dikatakan objektif apabila ia memuat aturan-aturan yang berlaku umum. Sementara itu, hukum dikatakan subjektif apabila hukum berurusan dengan hubungan hukum yang konkret dengan melibatkan subjek-subjek hukum di dalamnya. Di sinilah masing-masing subjek hukum itu akan mengklaim telah memiliki hak atas hubungan hukum itu dan menuntut pihak lawan menghormati hak tadi. Dengan perkataan lain, hak-hak itu saling berusaha satu sama lain agar dipenuhi oleh pihak lawan pada hubungan hukum itu.
Klaim-klaim itu akan memanas jika suatu hubungan hukum telah sampai pada tahap sengketa. Namun, karena manusia adalah mahluk sosial, maka dengan sendirinya manusia selalu rindu untuk memiliki sebanyak mungkin teman yang dapat mendukung keberadaan dirinya. Dengan demikian konflik sedapat mungkin dihindari agar tidak sampai merusak kebersamaan (kolektivitas). Tenggang rasa dan toleransi terhadap hak orang lain, sesungguhnya adalah dalam rangka mempertahankan kebersamaan itu. Tuntutan tersebut tidak harus dipaksakan oleh siapapun dan dengan kekuatan dari manapun karena memang naluri setiap manusia menghendakinya demikian. Aturan kencana (golden rule) mengatakan, “Jangan engkau lakukan kepada orang lain apa yang tidak engkau inginkan orang lain lakukan terhadapmu!” Prinsip ini diakui oleh semua agama dan dipandang sebagai prinsip utama dalam moralitas. Kata “jangan” di sini menunjukkan adanya kewajiban yang bernada negatif (larangan).
Salah satu jenis norma yang sarat dengan muatan kewajiban adalah kesusilaan. Menurut Apeldoorn, hukum sesungguhnya bertujuan untuk menjaga tata tertib masyarakat yang baik, sementara kesusilaan bertujuan pada penyempurnaan diri seseorang. Jadi, moralitas memiliki kedalaman karena menyentuh langsung sisi internal kejiwaan manusia. Moralitas bersifat otonom. Sebagian besar moralitas menghuni domain otonom manusia itu. Hal ini berbeda dengan hukum yang sudah cukup puas apabila dapat mengobservasi perilaku manusia secara fisik. Jika ada seorang pengendara sepeda motor berhenti karena lampu lalu lintas berwarna merah, maka perilaku itu sudah cukup di mata hukum. Hukum tidak akan menyelidiki lebih jauh apakah secara internal pengemudi itu ikhlas untuk berhenti pada saat itu. Moralitas tentu tidak puas dengan perilaku kasatmata seperti itu. Moralitas akan mempersoalkan sisi internalnya, yakni apakah si pengendara sepeda motor itu benar-benar menyadari kewajibannya untuk berhenti. Bukan karena hukum, melainkan karena moralitasnya memintanya melakukannya. Immanuel Kant menyebutkan hal ini sebagai imperatif kategoris (kewajiban moral tanpa syarat).
Contoh di atas tidak berarti bahwa hukum tidak peduli dengan aspek otonom itu. Kewajiban moral seperti ini penting karena muatan inilah yang akan diambil alih oleh hukum dan diolah menjadi substansi hukum. Atas dasar itu, hukum tersebut lalu memiliki dasar keberlakuan filosofis
Dalam wacana tentang hukum dalam makna subjektif, perbincangan kita akan berfokus pada hak versus kewajiban. Keduanya memang populer untuk dipasangkan. Pertanyaannya adalah: di antara hak dan kewajiban itu, mana yang lebih dulu muncul? Penganut aliran hukum kodrat meyakini haklah yang terlebih dulu ada. Hal serupa juga dipersepsikan oleh Mazhab Sejarah. Hans Kelsen menjelaskan persoalannya sebagai berikut:
The traditional view that the right and the obligation are two different objects of legal cognition, that, in fact, the former has a priority in relation to the latter, is probably rooted in the natural law doctrine. This doctrine assumes the existence of natural rights, inborn in man, hat are valid before any positive legal order is established. Among these natural rights, the right of individual property plays a major role. The function of a positive legal order (i.e. of the state), which terminates the state of nature, is–according to this doctrine–to guarantee the natural rights by stipulating corresponding obligations. This view has influence the representatives of the School of Historical Jurisprudence, who inaugurated the legal positivism of the nineteenth century and decisively influence the concept of a general theory of law.
Jadi, antara aliran hukum kodrat dan mazhab sejarah memiliki kesamaan dalam melihat hak. Hak ini adalah hukum dalam pengertian subjektif dan hadir sebagai kenyataan pra-positif. Aliran hukum kodrat memandang hak sudah ada secara alami tanpa harus menunggu hukum positif menghadiahkannya kepada kita. Mazhab sejarah juga berpikiran demikian, bahwa hak pun telah hadir melalui pergulatan sejarah tanpa perlu dipositifkan oleh penguasa negara. Kalau pun negara akhirnya turut campur, hal itu terjadi demi memastikan atau menjamin pemenuhan hak tersebut.
Hak yang paling utama dan perlu hadir secara alami dan/atau historis itu adalah ha-hak kebendaan. Setiap orang berkeinginan agar dirinya punya kebebasan untuk memiliki dan menikmati kekayaannya berupa benda-benda, termasuk mengalihkan (mendistribusikan) kekayaannya itu kepada siapapun. Hak kebendaan ini ada yang mutlak (absolut) dan ada yang relatif. Dikatakan mutlak karena hak itu eksis dan dapat dipertahankan pada semua orang (jus in rem). Jika saya memiliki sebidang tanah, maka tanah itu adalah hak mutlak bagi saya. Sementara itu, hak yang relatif adalah hak yang eksis terkait pada orang-orang tertentu saja. Sebagai contoh, jika saya memiliki piutang kepada seorang mitra bisnis, maka hak itu hanya eksis dan dapat dituntut pada mitra bisnis saya itu saja (jus in personam). Hak seperti ini tidak berurusan dengan semua orang.
Bagaimana dengan hak asasi manusia, hak penduduk, dan hak warga negara? Hak-hak semacam ini dapat digolongkan sebagai hak politik. Karakternya berbeda dengan hak dalam lapangan hukum keperdataan. Hak politik ini biasanya dimuat di dalam konstitusi negara. Kelsen mengingatkan bahwa jaminan hak politik di dalam konstitusi itu tidak dengan sendirinya (otomatis) memberikan hak tersebut. Hak itu pada dasarnya memberikan larangan bagi pembentuk undang-undang untuk mengeluarkan ketentuan yang mencederai hak politik setiap manusia, penduduk, dan/atau warganegara. Ia menulis lebih lanjut sebagai berikut:
The “unconstitutional” statute is a valid law until it is individually or generally annulled. It is not void, but voidable. The situation is analogous when the constitution guarantees freedom of religion. Such a guarantee means that a statute prohibiting the exercise of a certain religion may be annulled as unconstitutional.
Hak politik itu adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, namun ia membutuhkan peraturan pelaksanaan, berupa undang-undang untuk menghadirkannya di dalam kenyataan. Bahkan, apabila ada undang-undang yang tidak menjalankan amanat konstitusi itu, undang-undang itu tidak serta merta batal demi hukum. Untuk pembatalannya undang-undang ini harus diproses melalui permohonan uji material.
Sebagai contoh, Pasal 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan tidak boleh ada satu bentuk hukuman pun yang dapat mengakibatkan kematian perdata. Pasal 3 ini tidak ada rumusannya di dalam konstitusi, tetapi kita dapat memahami kaitan pernyataan itu dengan hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan sebelumnya di dalam Pasal 1 KUH Perdata, bahwa menikmati hak-hak keperdataan itu tidak bergantung pada hak-hak kenegaraan (baca: pemberian negara). Kita dapat memformulasikan dengan kalimat lain, bahwa hak-hak keperdataan itu tidak harus terlebih dulu ditransfromasikan terlebih dulu menjadi hak-hak politik. Kendati tidak ditegaskan sebagai hak politik, misalnya di dalam konstitusi, ada kemungkinan pula pelanggaran hak keperdataan itu secara implisit merupakan pelanggaran hak politik.
Kita ketahui bahwa penghukuman (penjatuhan sanksi) dalam bentuk apapun adalah suatu pembebanan kewajiban bagi si penerima hukuman. Kewajiban tersebut tidak boleh sekali-kali mematikan hak-hak keperdataan seseorang, seperti hak untuk berkeluarga, memiliki keturunan, dan memiliki harta kekayaan. Pembebanan seperti ini adalah pembebanan yang melampaui batas. Lon Fuller mengingatkan kita dalam salah satu prinsip legalitasnya bahwa law should not require conduct beyond the abilities of those affected. Jadi, apabila ada undang-undang di luar KUH Perdata sampai memuat sanksi yang menghalangi seseorang memiliki keturunan, maka undang-undang seperti itu tidak lagi sekadar menerjang hak keperdataan, tetapi juga hak politik (konstitusional) si terhukum, yakni hak asasi manusia. Polemik biasanya akan muncul tatkala persoalannya di bawah ke diskursus tentang hak politik, bahwa terhukum yang mengklaim hak atas dasar hak politik itu lalu dikonfrontasikan dengan hak pihak lain (korban yang dirugikan) untuk mendapatkan keadilan. Jawabannya akan lebih jernih seandainya diskursus dibawa murni ke ranah hak keperdataan, bahwa hak menurut Pasal 3 itu adalah suatu jus in rem, sementara hak dari pihak yang dirugikan untuk meminta seseorang dijatuhkan hukuman (kalau perlu seberat-beratnya) adalah suatu jus in personam. (***)