REKRUTMEN HAKIM AD HOC DI MAHKAMAH AGUNG, APAKAH PERLUASAN KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL?
Oleh SHIDARTA (September 2021)
Ketika tulisan ini dibuat, Mahkamah Konstitusi sedang menyidangkan perkara Nomor 92/PUU-XVIII/2020, yaitu perkara permohonan pengujian atas Pasal 13 huruf a UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (KY). Pemohon dalam perkara ini menyatakan bahwa frasa “hakim ad hoc” pada Pasal 13 huruf a UU KY itu bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945, atau lebih tepatnya lagi telah diperluas maknanya. “Perluasan kewenangan” demikian, menurut pemohon, telah merugikan hak pemohon sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28D ayat (1) UUDNRI 1945.
Pihak terkait, dalam hal ini KY, telah meminta saya menjadi ahli untuk memberikan keterangan di hadapan sidang Mahkamah Konstitusi tersebut. Hal ini sudah saya penuhi di dalam sidang tanggal 21 September 2021. Mahkamah Konstitusi telah merekam persidangan tersebut dan mengunduhnya di kanal Youtube, sehingga dapat disaksikan banyak kalangan. Namun, keterangan yang saya sampaikan secara lisan tersebut sebenarnya tidak selengkap sebagaimana tertulis dalam naskah yang diberikan kepada majelis hakim konstitusi. Oleh sebab itu, kiranya tulisan di bawah ini, yang memuat naskah tertulis tersebut, dapat menjadi pelengkap dari uraian lisan saya.
Keterangan Ahli Perkara No.92/PUU-XVIII/2020 (Pengujian atas Pasal 13 huruf a UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial)
Oleh: Shidarta (Dosen Filsafat Hukum dan Penalaran Hukum, Universitas Bina Nusantara)
Sesuai dengan bidang keilmuan yang ahli tekuni, maka pada keterangan ini, ahli ingin mengambil satu perspektif yang lebih filosofis di dalam memahami duduk permasalahan pengujian UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (selanjutnya disingkat UU KY). Sebagai fondasi dari keterangan ini, ahli akan menelusuri argumentasi dari pemohon, sebagaimana dapat ditemukan di dalam permohonan tersebut:
- Pemohon menyakini bahwa frasa “hakim ad hoc” pada Pasal 13 huruf a UU KY bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945. Hal ini karena keberadaan frasa itu telah memperluas kewenangan konstitusional KY dari semula hanya berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, sekarang menjadi berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan. Padahal kewenangan yang dinyatakan dalam Pasal 24B ayat (1) UUDNRI 1945 itu bersifat limitatif, tidak dapat lagi diperluas maknanya.
- Dalam perbaikan permohonan yang diajukan oleh pemohon melalui suratnya ke Ketua MK RI tanggal 19 November 2020, dapat dibaca penegasan pemohon bahwa pemohon sebagai orang yang pernah mengikuti seleksi sebagai hakim ad hoc tipikor di Mahkamah Agung pada tahun 2016 yang diselenggarakan oleh KY, tidaklah mempersoalkan sistem seleksi hakim ad hoc itu, melainkan kewenangan konstitusional dari KY dalam melakukan seleksi tersebut (hlm. 5-6). Dengan diberikannya kewenangan selain yang ditentukan dalam Pasal 24B ayat (1) UUDNRI 1945, pemohon telah dirugikan dalam mendapatkan hak konstitusional berupa jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUDNRI 1945 (hlm. 7).
Dalam melihat persoalan di atas, ada dua frasa kunci yang dipertentangkan, yaitu kewenangan konstitusional KY pada satu sisi, dan hak konstitusional pemohon pada sisi yang lain. Bagaimana kita harus memahami kedua frasa kunci ini agar permohonan pengujian terhadap Pasal 13 huruf a UU KY ini dapat didudukkan secara proporsional.
Kewenangan Konstitusional KY
Secara sederhana, dapat dinyatakan bahwa kewenangan konstitusional KY adalah kewenangan yang dimiliki oleh KY karena kewenangan itu dinyatakan di dalam konstitusi. Pasal 24B ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 berbunyi sebagai berikut:
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Dalam analisis metakaidah, ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUDNRI 1945 ini tergolong sebagai norma kewenangan (bevoegdheidsnorm). H.L.A Hart (The Concept of Law, 1961) membedakan norma kewenangan ini menjadi dua kelompok besar, yaitu norma kewenangan publik dan privat. Norma kewenangan publik dibedakan lagi menjadi norma kewenangan [dalam] pembentukan undang-undang, norma kewenangan [dalam bidang] kehakiman, dan norma kewenangan [dalam bidang] pemerintahan. Dalam konteks Pasal 24B ayat (1) UUDNRI 1945 ini, norma kewenangan yang bersinggungan dengan KY adalah norma kewenangan dalam bidang kehakiman.
Walaupun norma kewenangan termasuk dalam kategori norma sekunder, menurut R.J Jue (Grondbeginselen van het Recht, 1990; sebagaimana juga dikutip oleh Bruggink, Refleksi tentang Hukum, 1995), norma ini bersifat mandiri. Alasannya adalah karena baik norma perilaku maupun norma kewenangan sama-sama menunjukkan fungsi pokok dari tata hukum yang meregulasi perbuatan manusia. Jadi, sebagai norma yang mandiri, iapun dapat dianalisis seperti halnya kita menganalisis norma perilaku yang lazim dikategorikan sebagai norma primer itu. Analisis seperti ini merupakan fase yang sangat krusial di dalam pembelajaran penalaran hukum (legal reasoning), dengan tujuan untuk mengajak kita memahami makna yang paling objektif tentang suatu ketentuan norma. Hasil analisis kita menunjukkan sebagai berikut:
Kondisi norma: | |||
Subjek norma | : | Komisi Yudisial | bersifat mandiri |
Operator norma | : | “berwenang” (diperintahkan/diizinkan) | |
Objek norma | : | 1. mengusulkan pengangkatan hakim agung; dan | dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. |
: | 2. mempunyai wewenang lain |
Dalam segi empat opoisisi norma (het normenkwadraat) kata berwenang ini dapat saja digantikan dengan operator norma berupa “izin” (toestemming) atau “diizinkan”. Namun, operator ini tidak secara tepat menunjukkan sisi universal afirmatif dari norma tersebut. Oleh sebab itu, dengan mengacu pada pemikiran R.J. Jue tersebut, bahwa norma kewenangan adalah norma mandiri, maka operator ini seharusnya dipahami sebagai “perintah” (gebod) atau “diperintahkan”. Artinya, KY berwenang (dalam arti diperintahkan) oleh konstitusi untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung. Karena diperintahkan, maka KY tidak dapat mengelak dengan tidak menjalankannya. Jika KY sudah diperintahkan oleh konstitusi, maka dengan sendirinya secara implikatif (subalternatif), KY juga sebenarnya sudah diizinkan oleh konstitusi untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung itu.
Dalam permohonan ini, pihak pemohon tentu tidak ada masalah dengan kewenangan KY dalam mengusulkan pengangkatan hakim agung. Artinya, persoalan ini di mata permohon, tidak terletak pada kata “kewenangan” itu. Persoalan justru muncul pada objek norma (normgedrag) dari Pasal 24B ayat (1) UUDNRI 1945. Pihak pemohon mempersoalkan bahwa ada perluasan terhadap objek norma ini, bahwa dari frasa “hakim agung” ternyata diperluas menjadi juga “hakim ad hoc” di Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 13 huruf a UU KY.
Dari analisis Pasal 24B ayat (1) UUDNRI 1945 itu terlihat bahwa objek normanya tidak satu. Ayat tersebut menyatakan ada dua objek norma. Objek norma pertama adalah: “mengusulkan pengangkatan hakim agung”. Objek norma kedua adalah “mempunyai wewenang lain”. Apabila ingin dibaca secara paralel, maka kata “mempunyai” ini kurang lebih sama dengan melakukan kewenangan lain”. Kata “lain” di sini jelas mengarah se-LAIN objek norma pertama.
Melalui hasil analisis norma seperti ditunjukkan di atas, terlihat argumentasi pemohon pada akhirnya tidak tepat. Frasa “hakim ad hoc” yang muncul dalam Pasal 13 huruf a UU KY tidaklah berinduk pada kewenangan pada objek norma yang pertama. Frasa “hakim ad hoc” ini harus dicermati berinduk pada objek norma yang kedua, yaitu bahwa KY mempunyai wewenang lain. Apa wewenang tersebut, tidak disebutkan di dalam Pasal 24B ayat (1) UUDNRI 1945. Sekalipun tidak disebutkan, Pasal 24B ayat (1) itu membingkainya dengan dua kondisi. Pertama, kondisi bahwa Komisi Yudisial harus “bersifat mandiri” di dalam menjalankan kewenangannya itu. Kedua, kondisi bahwa kedua objek norma itu harus dijalankan “dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Kondisi norma yang pertama mengkondisikan subjek normanya. Kondisi norma yang kedua mengkondisikan dua objek norma itu bersama-sama. Hal ini karena kondisi norma yang kedua ini menggunakan kata-kata “… serta perilaku hakim” bukan dibatasi hanya: “hakim agung”. Artinya, kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung itu harus dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Siapakah yang dimaksud dengan hakim yang perlu dijaga dan ditegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilakunya di sini? Acuan seharusnya adalah pada Pasal 1 butir 5 UU KY, yang menyatakan: “Hakim adalah hakim dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan. Mereka semua, termasuk hakim ad hoc di Mahkamah Agung, adalah hakim-hakim yang perlu dijaga dan ditegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilakunya.
Bagaimana dengan kewenangan lain di luar wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung itu? Kewenangan inipun sama, yakni dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Berangkat dari kondisi norma tersebut, ahli akan masuk nanti ke uraian aspek kedua yang menjadi perhatian ahli. Aspek yang dimaksud adalah hak konstitusional pemohon.
Namun, sementara itu kita perlu juga mempertanyakan apakah perspektif pemohon dalam membaca Pasal 24B ayat (1) UUDNRI 1945 ini, memiliki dasar argumentasi yang kuat? Ternyata, pemohon memang tampak berfokus hanya pada objek norma yang pertama, bukan pada objek norma yang kedua. Pandangan demikian tidak tepat karena jika demikian halnya, maka semua kewenangan yang dimiliki oleh KY, di luar wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, harus juga dianggap sebagai perluasan makna, termasuk yang dicantumkan dalam Pasal 13 huruf c dan huruf d UU KY. Atas alasan bahwa objek norma yang menjadi induk dari kewenangan KY dalam mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc itu sebenarnya mengacu ke objek norma yang kedua, maka dengan sendirinya persoalan penafsiran frasa “hakim agung” yang diperluas itu, sudah tidak lagi relevan untuk dibahas.
Pemohon dalam perbaikan permohonan yang diajukan oleh pemohon melalui suratnya ke Ketua MK RI tanggal 19 November 2020, telah mengutip putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006, khususnya halaman 185. Bunyi pertimbangan yang dikutip adalah:
Menimbang bahwa dengan uraian dan alasan di atas, maka Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tersebut sepanjang mengenai ”kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”, di satu pihak tidak tepat diartikan hanya sebagai pengawasan etik eksternal saja, dan di pihak lain juga tidak tepat diartikan terpisah dari konteks Pasal 24A ayat (3) untuk mewujudkan hakim agung – dan hakim-hakim pada peradilan di bawah MA – yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Dengan kata lain, yang dimaksud ”kewenangan lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 terkait erat dengan kewenangan utama KY untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung; (note: cetak tebal oleh ahli).
Pemohon kemudian menyimpulkan bahwa berangkat dari pertimbangan MK itu, kewenangan KY merupakankewenangan yang limitatif seperti yang termaktub dalam Pasal 24B UUD 1945, dan kewenangan lain tersebut berkaitanerat dengan pengusulan hakim agung. Kesimpulan demikian juga tidak tepat karena pertimbangan majelis hakim konstitusi dalam putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 itu tidak harus dibaca demikian. Hal itu terlihat dari kata-kata “tidak tepat diartikan hanya sebagai pengawasan etik eksternal saja,…”. Artinya, jangan mengartikan kewenangan KY itu hanya sebatas melakukan pengawasan etik eksternal. Jika tidak hanya itu, lalu apa? Kewenangan lain itu adalah wewenang untuk mewujudkan hakim agung dan hakim-hakim pada pengadilan di bawah MA yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Hakim-hakim pada pengadilan di bawah MA di sini artinya adalah hakim-hakim yang berada di bawah struktur kekuasaan kehakiman yang berpuncak di MA. Hakim ad hoc di MA adalah hakim yang termasuk dalalm kriteria ini.
Lalu, bagaimana dengan pernyataan di dalam kalimat terakhir dari kutipan pertimbangan di atas, bahwa kewenangan lain itu terkait erat dengan kewenangan utama untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung. Kata “terkait erat” di sini sama sekali tidak menunjukkan penafsiran yang limitatif tersebut. Sebab, yang diacu dari kewenangan utama itu sebenarnya bukan pada kata-kata “mengusulkan pengangkatan hakim agung”-nya, melainkan pada kata-kata “dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim”. Penegasan ini sebenarnya sejalan dengan argumentasi pemohon dalam perbaikan permohonan yang diajukan oleh pemohon melalui suratnya ke Ketua MK RI tanggal 19 November 2020 (hlm. 20). Pemohon mengatakan:
Mahkamah Konstitusi kembali menegaskan persoalan wewenang lain KY, yaitu dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, tanggal 7 Oktober 2015 dalam paragraf [3.9]: “Menimbang bahwa frasa “wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah semata dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim, tidak dapat diperluas dengan tafsiran lain. UUD 1945 tidak memberi kewenangan kepada pembuat Undang-Undang untuk mempertuas kewenangan Komisi Yudisial.”
Kutipan atas putusan Nomor 43/PUU-XII/2015 tanggal 7 Okotber 2015 di atas, menunjukkan bahwa pembacaan kita terhadap kata “wewenang lain” (kewenangan lain) dari Pasal 24B ayat (1) UUDNRI 1945 itu memang limitatif. Kalaupun ada pembatasannya, maka pembatasan itu mengacu pada kondisi normanya, yaitu “dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim, tidak dapat diperluas dengan tafsiran lain”.
Hak Konstitusional Pemohon
Pada kesempatan membahas bagian ini, ahli tidak ingin mempersempit diskursus tentang hak konstitusional pemohon semata-mata ke persoalan tentang ada tidaknya legal standing (ius standi) pemohon. Tolok ukur tentang legal standing biasanya dibahas lebih pada terpenuhi atau tidaknya unsur kerugian. Ahli bermaksud untuk mencari pemahaman yang lebih jauh tentang hak konstitusional pemohon tersebut.
Konstitusi yang modern dan demokratis, menurut Robert Alexy (Constitutional Rights, Balancing and Rationality, 2003), memuat dua kategori norma. Kategori pertama disebutnya sebagai norma kelas utama, yang mengatur tentang pembagian kekuasaan bernegara antara lembaga-lembaga legislatif, adjudikatif, dan administratif. Kategori kedua memuat pembatasan hak-hak negara tatkala menjalankan kekuasaan publiknya. Hak konstitusional warganegara ada dalam kategori norma kelas kedua ini. Negara memberi hak konstitusional pada warganya dengan cara menjaga diri agar tidak menggunakan kekuasaan publiknya secara semena-mena. Jika ini filosofi dari hak konstitusional itu, maka pertanyaannya tentu adalah apakah hak konstitusional pemohon dalam perkara ini telah tercederai karena ada suatu kekuasaan negara yang melampaui batas dalam penggunaan kekuasaannya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ahli ingin kembali meneruskan penjelasan dari Alexy. Menurutnya, ada dua konstruksi utama tentang hak konstitusional itu. Konstruksi pertama disebut “rule construction” yang berkarakter sempit dan kaku. Konstruksi kedua, yakni “principle construction”, bersifat luas dan komprehensif. Jika kita menggunakan konstruksi yang sempit dan kaku, maka pengaturan hak konstitusional di dalam konstitusi itu sekadar berkarakter aturan, yakni berupa norma-norma yang memuat hak konstitusional sebagai landasan legal dan abstrak perlindungan kedudukan warganegara berhadapan dengan negara. Di sisi lain, jika kita menggunakan konstruksi yang luas dan komprehensif, pencantuman itu berkarakter prinsip. Artinya, nilai-nilai dan asas-asas di dalam hak konstitusional itu tidak hanya berlaku untuk memposisikan hubungan antara warga negara dan negara (dalam kerangka hukum tatanegara) tetapi, lebih dari itu, “untuk semua bidang hukum”.
Di dalam UUDNRI 1945, hak-hak konstitusional warganegara itu acapkali dirumuskan secara abstrak, sehingga hal ini ikut mendorong para pemohon pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi untuk cenderung memaknainya dengan menggunakan konstruksi prinsipil tersebut. Konstruksi seperti ini memang berpotensi membawa kita ke penafsiran tanpa batas (kepentingan apapun bisa diklaim sebagai hak konstitusional). Untuk itu, efek pancaran (radiating effect) tersebut, menurut Alexy, harus dijaga dengan menerapkan keseimbangan kepentingan. Pada titik inilah, ahli ingin mengatakan bahwa hak konstitusional pemohon dalam memaknai hak konstitusionalnya juga perlu didekati dengan prinsip keseimbangan kepentingan itu. Hak konstitusional pemohon adalah hak yang dilihat dari perspektif subjektif pemohon. Namun, kita perlu bertanya seberapa jauh subjektivitas atas suatu hak itu dapat ditoleransi dengan keseimbangan kepentingan yang melekat pada kewenangan konstitusional KY.
Ketika ahli mengangkat topik tentang kewenangan konstitusional KY, ahli memahaminya dengan menggunakan pisau analisis penalaran hukum (legal reasoning). Pada bagian kedua ini, terkait topik tentang hak konstitusional pemohon, analisisnya tidak lagi dapat sepenuhnya menggunakan penalaran hukum ala dogmatika hukum. Hak pemohon di sini tidak cukup dilihat sebagai hak individual yang bersangkutan seperti yang diusung oleh penganut teori keadilan libertarian. Namun, juga tidak sepenuhnya berpijak pada hak-hak sesuai aspirasi golongan terbanyak (the greatest number) seperti slogan kaum utilitarian. Ahli cenderung untuk lebih berhati-hati melihatnya bahwa wacana tentang hak konstitusional seorang warganegara akan lebih tepat jika dilihat dari sisi keutamaan (virtue) tentang janji kesetiaan seorang warganegara kepada bangsanya. Bukan sekadar untung-rugi secara duniawi. Dengan demikian, kita tidak dapat membaca persoalan hak konstitusional itu dari sudut penalaran hukum (legal reasoning) semata, melainkan juga harus dilengkapi dengan penalaran moral (moral reasoning). Mengenai hal ini, ada cuplikan menarik yang kiranya cukup relevan, yang ahli kutip dari Anne Norton. Ia mengatakan:
In this instance of the ascendancy of the rule of law over the rule of men, one sees the virtue of inconstancy. The constitution the people construct for themselves may be, indeed must be, not a promise of loyalty to a form of life already realized in the material world, but rather a promise of fidelity to an ideal nation. (Anne Norton, Transubstantiation: the Dialetic of Constitutional Authority, 55 UCLR, 458 (1988): 466) “Pada contoh supremasi hukum terhadap aturan manusia, orang melihat keutamaan dari ketidakabadian (kefanaan). Konstitusi yang dibangun oleh orang-orang untuk diri mereka sendiri, mungkin, memang seharusnya demikian, bukanlah janji kesetiaan pada bentuk kehidupan yang sudah diwujudkan dalam dunia materi, melainkan janji kesetiaan kepada bangsa yang ideal.”
Pemohon dalam perkara ini berkeyakinan bahwa kewenangan konstitusional KY dalam melakukan seleksi hakim ad hoc itu telah merugikan hak konstitusionalnya. Dengan perkataan lain, pemohon menuntut ia diperlakukan secara adil karena sebagai warga negara ia juga mempunyai hak konstitusional. Pemohon mendasarkan pada hak konstitusionalnya itu menurut Pasal 28D ayat (1) UUDNRI 1945. Pasal ini berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Ada banyak konsep yang dilekatkan pada Pasal 28D ayat (1) UUDNRI 1945 tersebut, yang satu sama lain berada dalam kategori yang berbeda. Ada yang masuk ke dalam kategori nilai, tetapi ada yang masuk ke dalam kategori asas. Artinya, untuk memastikan apakah benar ada hak konstitusional pemohon yang dirugikan, semua nilai dan asas itu harus dibaca dalam satu nafas. Proposisi “kepastian hukum yang adil” dan “perlakuan yang sama di hadapan hukum” tidak akan mudah dicari tahu letak perbedaan maknanya, kecuali apabila kedua proposisi itu dibenturkan dengan suatu konteks tertentu. Perlakuan yang sama di hadapan hukum (lazim dikenal dengan asas: similia similibus), mensyaratkan persamaan perlakuan itu pada persamaan pola-pola kontekstualitasnya. Andaikan pola-pola konteksnya berbeda, justru dilarang untuk dipersamakan perlakuannya (treat like cases alike; different cases differently!). Hanya dengan cara demikian, kata Paul Scholten (Rechtsbeginselen, 1949), sebuah penyelesaian permasalahan hukum itu akan menunjukkan kewibawaannya (gezag).
Sekarang perlu ditanyakan, apa konteks dari pemohon untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 13 huruf a UU KY ini? Konteks yang disajikan oleh pemohon adalah konteks pengusulan hakim ad hoc di Mahkamah Agung, namun pemohon menegaskan bahwa yang ia maksudkan di sini bukan terkait ke proses seleksi. Jika bukan proses seleksi, lalu apa konteksnya? Konteksnya, menurut pemohon adalah konteks kewenangan konstitusional KY [yang telah merugikan hak konstitusional pemohon]. Argumentasi demikian adalah kesesatan petitio principii, karena setelah dicermati, ternyata konteksnya tetap berujung pada permasalahan sistem seleksi. Hal ini dapat dicermati pada surat perbaikan permohonan yang diajukan oleh pemohon melalui suratnya ke Ketua MK RI tanggal 19 November 2020 (hlm. 17-19). Jika dilakukan analisis text-mining, dari tiga halaman surat perbaikan permohonan itu, kata kunci “seleksi” muncul tidak kurang dari delapan kali, yang menunjukkan memang hal itu merupakan isu sentral yang ingin diangkat oleh pemohon.
Pemohon pun menegaskan bahwa sistem seleksi hakim ad hoc seharusnya cukup diserahkan ke Mahkamah Agung. Sistem seleksi demikian pernah dilakukan oleh Mahkamah Agung, antara lain berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Seleksi Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Bagi ahli, alasan pemohon sebenarnya jauh lebih menarik, sebagaimana dapat dianalisis dari pilihan kata-kata (diksi) yang digunakan. Kajian semiotika hukum mengajarkan bahwa pilihan kata dari suatu teks hukum tidak pernah netral, melainkan menyiratkan pandangan tertentu.
Pada halaman 18 (huruf g) pada perbaikan permohonan dalam surat pemohon ke Ketua MK RI tanggal 19 November 2020 terdapat kutipan sebagai berikut:
Sebagai tindak lanjut Pasal 13 ayat (2) UU Pengadilan Tipikor, dibuatlah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Seleksi Hakim ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Hak ini, selain tidak melalui proses yang terlalu panjang, juga usulan dilakukan oleh panitia seleksi yang terdiri dari unsur MA dan masyarakat, termasuk ahli, dan akademisi, kemudian di nilai berdasarkan kebutuhan pihak user yaitu MA, sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama dan berbelit-belit hingga masuk ke seleksi di DPR, sebagai lembaga di luar kekuasaan kehakiman, hanya untuk memilih hakim ad hoc. (note: cetak tebal oleh ahli).
Argumentasi dari pemohon ini menunjukkan ada yang harus dibedakan dalam seleksi hakim ad hoc di Mahkamah Agung. Sebab jika “hanya” untuk memilih hakim ad hoc, tidaklah perlu prosesnya terlalu panjang, yang usulannya dilakukan oleh panitia seleksi yang terdiri dari unsur Mahkamah Agung dan masyarakat, termasuk ahli, dan akademisi, kemudian dinilai berdasarkan kebutuhan pihak pengguna, dalam hal ini Mahkamah Agung. Pemohon ingin membandingkannya dengan proses sekarang ini yang membutuhkan waktu lama, berbelit-belit, hingga masuk ke seleksi di DPR sebagai lembaga di luar kekuasaan kehakiman, padahal “hanya” untuk memilih hakim ad hoc.
Jika kita kembali ke asas similia similibus (treat like cases alike; different cases differently), maka benarkah konteks seleksi hakim ad hoc ini benar-benar memiliki pola yang harus dibedakan? Benarkah karena “hanya” hakim ad hoc, maka seleksinya tidak perlu “seketat” hakim agung? Benarkah tolok ukurnya adalah kebutuhan pengguna (pemohon menggunakan istilah “user”) dan pengguna di sini adalah Mahkamah Agung? Jawaban-jawaban kita atas pertanyaan ini sangat menentukan seberapa hak konstitusional pemohon benar-benar dirugikan atau paling tidak, dicederai akibat adanya ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY.
Bingkai kewenangan konstitusional KY, sebagaimana telah diutarakan di atas, adalah dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim. Alasan keberadaan (rasion d’etre) dari KY adalah karena kondisi kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim kita secara umum masih membutuhkan pengawasan yang lebih daripada pengawasan internal oleh Mahkamah Agung. Untuk itu, MPR pada tanggal 9 November 2001 telah menetapkan Perubahan Ketiga UUDNRI Tahun 1945, yang mengamanatkan berdirinya KY sebagai lembaga pengawas eksternal tersebut. Dengan kaca mata seperti ini kita paham bahwa hakim-hakim itu dipilih, diangkat, dan kemudian diawasi, karena mereka adalah profesi yang luhur dan bermartabat. Keluhuran dan kemartabatannya itu bergantung pada seberapa profesi ini mampu menunjukkannya kepada masyarakat pencari keadilan. Jadi, kalau mau dipakai istilah pengguna (pemohon: “user”), maka pengguna para hakim itu adalah masyarakat, bukan Mahkamah Agung. Dalam konteks seperti ini, tidak ada perbedaannya sama sekali, di mata masyarakat pencari keadilan, apakah hakim yang mengadili kasusnya itu seorang hakim agung atau hakim ad hoc di Mahkamah Agung. Mereka adalah penyandang profesi yang sama tingkat keluhuran dan kemartabatannya. Dengan alasan ini pula sangat tegas kita tidak dapat menolak bahwa argumentasi permohon untuk menyederhanakan proses seleksi dengan alasan yang dipilih “hanya” hakim ad hoc, sebagai alasan permohonan.
Ahli memandang bahwa hak yang diklaim sebagai “hak konstitusional pemohon” untuk mengajukan permohonan dengan argumentasi seperti yang disebutkan di atas, menjadi tidak layak untuk diakui karena hak yang dinyatakan sebagai hak konstitusional pemohon tersebut tidak lagi punya “kesimbangan kepentingan” dengan kewenangan konstitusional KY. Kita membutuhkan dasar hak konstitusional yang lebih mendasar, yang tadi sempat ahli kutip, yakni sebagai “a promise of fidelity to an ideal nation”. Di sisi lain, juga tidak ada argumentasi yang telah menjustifikasi bahwa KY di dalam menjalankan kewenangannya itu telah melampaui batas kekuasaan publiknya.
Ketidaklayakan itu berangkat pula dari catatan tambahan berikut ini: (1) sistem atau proses seleksi hakim ad hoc di Mahkamah Agung pada hakikatnya juga tidak langsung berkaitan dengan kepada siapa wewenang pengusulan pengangkatan itu diberikan. Artinya, tidak ada jaminan, jika nanti penyeleksian dilakukan hanya oleh Mahkamah Agung, maka seleksinya akan menjadi lebih sederhana; dan (2) tolok ukur keberhasilan suatu sistem atau proses seleksi hakim ad hoc di Mahkamah Agung tidak boleh diukur dari kesederhanaan prosedural, tetapi terlebih-lebih apakah sistem atau proses itu membuahkan hakim-hakim yang menjaga keluhuran, martabat, dan perilakunya sebagai penyandang profesi terhormat di mata masyarakat.
Penutup
Atas dasar paparan di atas, ahli berharap Majelis Hakim Konstitusi memberikan pertimbangan yang pada intinya menyatakan bahwa Pasal 13 huruf a UU KY tidak bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUDNRI 1945, dan juga tidak melanggar hak pemohon sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 28D ayat (1) UUDNRI 1945. Atas dasar pertimbangan itu, permohonan dari pemohon sudah seharusnya ditolak untuk sepenuhnya.
Jakarta, 21 September 2021.