BINCANG BUKU SEJARAH PEMIKIRAN PANCASILA
Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) pada tanggal 20 Agustus 2021 mengundang dosen Jurusan Hukum Bisnis (Business Law) BINUS untuk menjadi penanggap sesi ketiga bincang buku Sejarah Pemikiran tentang Pancasila karya A.M.W. Pranarka. Buku ini adalah disertasi Pranarka yang dipertahankannya di dalam sidang promosi doktor pada tanggal 28 April 1984 di Unpar. Buku ini lalu diterbitkan oleh CSIS Jakarta pada tahun 1985. Tampak hadir pada sesi itu dosen-dosen, mahasiswa, dan almuni FH Unpar, Deputi BPIP Prof. Dr. F.X. Adji Samekto dan guru besar FH UI Prof. Dr. Sulistyowati Irianto. Dosen dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia juga tercatat menjadi pengunjung setia dalam rangkaian bincang buku ini.
Sesi yang melibatkan pembedah Valerianus B. Jehanu (dosen FH Unpar) dan Shidarta (penanggap) ini merupakan sesi ketiga dari empat sesi yang direncanakan. Sesi ketiga ini mengambil pokok bahasan Bagian Kedua (Tinjuaan Analisis: A) dari buku tersebut. Shidarta membagi tanggapannya dalam lima bagian. Ia menanyakan: (1) Di mana posisi kita dalam membaca [teks] Pranarka?; (2) Apa maunya Pranarka dengan studi disertasinya ini?; (3).Apa yang ingin ditulis Pranarka dalam Bagian Kedua (A) dari disertasinya ini?; (4) Apa catatan-catatan kita terhadap Bagian Kedua (A) ini?; (5) Di manakah kita harus menempatkan studi pemikiran Pancasila dari Pranarka ini?
- TAHAP PERTAMA: Fase penemuan dan perumusan dasar negara menurutideologi kebangsaan. Terjadi dalam sidang BPUPK (1945) dan merupakan kelanjutandari perkembangan Kebangkitan Nasinal.
- TAHAP KEDUA: Fase reflektif. Terjadi ketika ideologi kebangsaan dituangkan dalamUUD 1945. Dalam fase ini Pancasila sebagai dasar negara diterima dalam kerangka ‘belief system’. Tahap kedua ini, menurut Shidarta, merujuk pada era 1945-1949 (UUD 1945 yang pertama kali berlaku) dan kemudian 1949-1950 (Konstitusi RIS).
- TAHAP KETIGA: Fase reflektif. Terjadi dalam dasawarsa 1950-an. Pancasila dipermasalahkan, tetapi juga dipertahankan.
- TAHAP KEEMPAT: Fase kritik. Orang berpikir mengenai kriteria untuk dapatmemahami Pancasila murni. Tahap keempat ini, menurut Shidarta, seharusnya belum terjadikarena Pranarka sendiri mensyaratkan adanya penataan epistemologis untuk memahami Pancasila yang lepas dari subjektivisme, dogmatisme, ataupun eklektisisme.
Pada bagian akhir tanggapannya, dengan tetap memberi apresiasi terhadap disertasi Pranarka sebagai karya yang tetap relevan untuk diperbincangkan, Shidarta memperlihatkan dua gambar yang dikutipnya dari buku disertasi Pranarka halaman 389 dan 390, Shidarta bermaksud menitipkan beberapa pertanyaan yang penting untuk didiskusikan pada sesi keempat nanti. Salah satunya adalah: apakah ada jaminan bahwa penataan epistemologis yang disarankan oleh Pranarka akan membebaskan dari subjektivisme, dogmatisme, dan eklektisisme berkenaan dengan pemikiran tentang Pancasila ini? (***)