KENDALA ADMINDUK MASIH DIHADAPI PARA PENGANUT AGAMA-AGAMA MINORITAS
Lima tahun paska dibacakannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 ternyata tidak dirasakan sebagai pembawa perubahan bagi para penganut agama-agama minoritas di luar enam agama “mainstream” di Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu). Tampaknya masih dirasakan perlu untuk mendiskusikan bagaimana menafsirkan pertimbangan hukum dari putusan MK itu, yaitu pada paragraf 3.13.5, tepatnya pada potongan anak kalimat “begitu juga dengan penganut agama lain.”
Dosen Jurusan Hukum Bisnis (Business Law) Shidarta, diundang untuk sebagai ahli untuk memberikan masukan kepada Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), tepatnya Gugus Kerja Perempuan dan Kebhinekaan. Para ahli yang diundang dan hadir secara daring dalam acara tanggal 5 Agustus 2021 tersebut, selain Shidarta, adalah Dr. Hanif, Dr. Maruarar Siahaan, Dr. Muktiono, dan Nia Syarifuddin. Sementara dari komunitas agama, terdapat perwakilan dari agama Bahai, Tao, Sikh, Yahudi, organisasi MAKI dan MATAKIN.
Dalam surat undangan dinyatakan bahwa Komnas Perempuan telah melakukan konsultasi dengan para penganut agama kelompok minoritas yang dimulai sejak tahun 2020. Hasil konsultasi telah mendapatkan pemetaan hambatan-hambatan yang dialami oleh para perempuan penganut agama minoritas, yang disusun dalam kertas kerja. Komnas Perempuan masih memandang perlu untk mendapatkan masukan dari ahli yang lebih luas, beberapa persoalan yang dihadapi oleh para penganut agama-agama tersebut, terutama hambatan yang dialami oleh perempuan antara lain persoalan adminduk, dokumen perkawinan, pendidikan dan lainnya. Guna menyusun strategi mendorong negara memberikan jaminan pemenuhan hak-hak konstitusional bagi penganut agama- agama yang berkembang di Indonesia tersebut, Komnas Perempuan memandang penting untuk menyelenggarakan kembali diskusi dengan ahli.
Di dalam paparannya, Shidarta yang juga pernah menjadi ahli di dalam persidangan MK untuk perkara pengujian UU Atminduk itu, mengatakan bahwa memang ada kecenderungan “agama” tidak didefinsikan secara konotatif di dalam peraturan perundang-undangan. Dalam peraturan di Indonesia hanya ada satu undang-undang yang mendefinisikan agama, yaitu UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dapat diduga bahwa definisi agama di situ menjadi denotatif belaka, bahwa agama adalah agama Islam. Definsi yang denotatif seperti itu tentu mengarahkan kepada anggapan ada agama resmi yang diakui negara vis-a-vis agama yang tidak resmi. Padahal, sebenarnya tidak demikian maksudnya. Hal ini terlihat pada UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Dalam Penjelasan Pasal 1 dinyatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh Penduduk di Indonesia ialah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khongcu (Confusius). Tidak jelas, mengapa tiba-tiba penjelasan pasal yang notabene tidak boleh memuat norma baru, kemudian menjadi tafsir yang menyesatkan bahwa hanya enam agama itu saja yang menjadi agama resmi atau diakui di Indonesia. Namun, di sisi lain disadari bahwa mendefinisikan agama secara konotatif juga dapat menimbulkan persoalan baru karena akan menjurus kepada pembatasan yang hanya mencakupi agama-agama “mainstream”.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 memang telah mengabulkan semua permohonan dari pemohon berkaitan dengan pengujian UU Administrasi Kependudukan (Adminduk), sehingga kolom KTP dan KK tidak boleh lagi dikosongkan. Menurut pertimbangan majelis hakim konstitusi, pengisian itu adalah dengan menuliskannya sebagai penghayat kepercayaan tanpa memerinci apa aliran kepercayaannya itu. Persoalannya adalah bagaimana dengan penganut agama-agama lain di luar enam agama tersebut? Shidarta mengatakan bahwa secara gramatikal seharusnya dibaca bahwa di KTP dan KK mereka pun harus ditulis sebagai penghayat kepercayaan.
Di dalam diskusi itu rupanya tafsir seperti ini masih belum semua sepakat. Shidarta mengusulkan agar dapat ditempuh cara baru yaitu minta fatwa kepada Mahkamah Konstitusi guna mencari kepastian tafsir atas poin 3.13.5 itu, pada kata-kata “begitu juga dengan penganut agama lain”. Fatwa ini bisa diajukan melalui lembaga negara yang relevan karena praktis tidak ada cara lain yang bisa ditempuh untuk memastikan maksud MK atas kata-kata MK di dalam putusannya.
Terlepas dari problem-problem hukum seperti di atas, hambatan administratif yang dihadapi oleh para penganut agama minoritas kerap berakar dari faktor-faktor non-hukum. Stigmatisasi, prasangka, dan ketidaktahuan, termasuk di dalamnya. Artinya, selain pendekatan hukum, pendekatan non-hukum juga harus dilakukan secara terus-menerus. “Memang perjuangan yang melelahkan,” ujar Shidarta. (***)
Published at :