People Innovation Excellence

DOKTRIN BJR DALAM TRANSAKSI BENTURAN KEPENTINGAN DIREKSI YANG MENGUNTUNGKAN DAN MERUGIKAN PERSEROAN TERBATAS

Oleh AGUS RIYANTO dan NAURAH I. AURELLIA (Juli 2021)

Business Judgment Rule (BJR) adalah doktrin dengan tujuan untuk melindungi kepentingan Direksi selama keputusan yang dibuatnya didasarkan kepada iktikad baik dan bertanggung jawab. Di dalam praktik, salah satu keputusannya adalah transaksi benturan kepentingan. Transaksi ini terjadi, karena dalam menjalankan usahanya, seringkali Direksi melakukan berbagai transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan pribadi atas berlangsungnya transaksi-transaksi tersebut, yang mungkin juga melibatkan Direktur, komisaris, dan/atau pemegang saham utama. Posisi Direksi ini penting disorot karena organ operasional inilah yang berwenang penuh dalam mengambil keputusan Perseroan Terbatas (PT). Keputusan bisnis yang diterima ini tentu saja harus selalu didasarkan kepada adanya niat/itikad baik demi untuk kepentingan PT. Tanpa hal itu transaksi ini berpotensi dapat merugikan, karena terbuka penyalahgunaan wewenang Direksi yang memiliki posisi tertentu, sehingga membuatnya dapat bertindak demi kepentingannya sendiri atau kepentingan afiliasinya. Konsekuensinya adalah dimungkinkan terjadinya kerugian dari keputusan Direksi ini (karena kedudukannya yang sangat menentukan itu). Hal ini membuat Direksi seakan-akan menjadi pihak yang disalahkan dan bertanggung jawab terhadap benturan kepentingan yang merugikan PT.  Dengan kondisi dilematis ini Direksi menjadi takut dan tidak leluasa dalam mengambil keputusan bisnis. Namun, bagaimana dengan keputusan Direksi dalam transaksi benturan kepentingan ternyata itu menguntungkan PT ?

Dengan kondisi di atas tergambar bahwa tidak selalu benturan kepentingan itu merugikan, tetapi dapat juga menguntungkan pemegang saham[1]. Hal ini dimungkinkan karena dalam teori agensi, transaksi benturan kepentingan dapat muncul ketika dual agency (agen ganda) itu terjadi. Agen ganda ini adalah situasi dimana seseorang menjadi agen dari dua tempat yang jelas berbeda atau bertentangan, misalnya secara bersamaan menjadi agen penjual dan juga agen pembeli.[2] Selain kaitannya dengan agen ganda, dalam transaksi benturan kepentingan terdapat dua konteks pandangan, yakni:

  1. Konteks transaksi self-dealing, yang dimaksudkan sebagai suatu operasionalisasi dari doktrin hukum perseroan dalam kedudukannya sebagai Direktur perseroan, meskipun perseroan belum tentu dirugikan akan hal tersebut.[3]Pada awalnya self-dealing hanya dikenal di negara-negara yang menganut sistem hukum common law. Namun seiring berjalannya waktu dan semakin berkembangnya hukum perseroan, self-dealing mulai dikenal di negara-negara civil law, seperti di Indonesia. Munir Fuady mengartikan self-dealing sebagai transaksi antara Direksi dengan perseroan itu sendiri, yang pada awalnya hal ini dilarang dalam hukum. Kemudian baru dilakukan pemilahan untuk dinilai mana yang memang dilarang dan tidak. Transaksi self-dealing ini dinilai mengandung benturan kepentingan (conflict of interest) dan juga bertentangan dengan kewajiban Direksi dalam hal fiduciary duty yang dapat merugikan perseroan.[4] Hal ini artinya Direksi memang dilarang melakukan transaksi benturan kepentingan, karena potensi kerugiannya telah jelas ada di depan mata dan harus dihindari atau ditolak.
  2. Konteks oportunitas perusahaan (corporate opportunity), yang dimaksudkan untuk melarang Direksi mengambil kesempatan bagi dirinya sendiri, di mana kesempatan tersebut dapat saja diambil oleh perusahaan demi kepentingannya. Jadi, jika tindakan tersebut merupakan kesempatan (opportunity) PT di dalam mengelola bisnisnya, maka Direksi terlebih dahulu harus mengutamakan kepentingan perusahaan dan tidak boleh mengambil kesempatan itu untuk kepentingan dirinya sendiri. Apabila perusahaan memiliki kesempatan untuk melakukan suatu transaksi yang sama dengan pihak ketiga (yang mengandung benturan kepentingan) tetapi Direksi tetap juga ingin melakukan transaksi yang sama dengan pihak ketiga tersebut, maka pihak Direksi dalam hal ini harus mengutamakan kepentingan perusahaan (dalam arti menguntungkan) terlebih dahulu dengan tetap mempersilahkan untuk melakukan transaksi tersebut.[5] Namun, apabila memang perusahaan telah menolaknya, Direksi dapat mengambil kesempatan secara pribadi untuk melakukan transaksi benturan kepentingan ini dengan ketentuan transaksi akan dapat menguntungkan PT. Oleh karena transaksi itulah kalkulasi dan perhitungan harus dengan matang sebelum menandatangani perjanjiannya.

Dengan berdasarkan teori agensi ini, transaksi benturan kepentingan memiliki hubungan dengan doktrin BJR. Hal ini, karena Direksi yang dapat mengambil keputusan yang akan menguntungkan atau merugikan PT dan bukan organ-organ PT lainnya. Oleh karena itu, banyak perusahaan membuat pedoman internal untuk Direktur mengenai permasalahan ini sebagai batas-batas dalam pelaksanaannya, karena sering kali terjadi pada keadaan sehari-hari. Para Direktur perusahaan diharuskan untuk menandatangani kontrak yang mengatur adanya persetujuan yang mengadung transaksi benturan kepentingan itu dapat dihindari karena berpotensi merugikan perusahaan. Kerugian ini tidak selalu terjadi, tidak menutup kemungkinan transaksi ini juga dapat menguntungkan perusahaan, meskipun secara umum transaksi benturan kepentingan dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum. Dianggap suatu pelanggaran karena transaksi benturan kepentingan ini dapat merusak reputasi dan integritas, serta kepercayaan publik terhadap suatu perusahaan.[6] Untuk itu, Direktur harus berhati-hati dalam menghadapi situasi yang mengandung transaksi benturan kepentingan karena dapat menciptakan tanggung jawab secara pribadi kepada Direktur apabila perusahaan mengalami kerugian. Untuk itu, dalam rangka menghindari terjadinya kerugian terhadap perusahaan, Badan Pengawas Pasar Modal dan sekarang oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mewajibkan pada Direksi (sebagai wakil PT) untuk memperoleh persetujuan pemegang saham yang independen sebelum melakukan transaki benturan kepentingan. Keharusan persetujuan pemegang saham independen ini kemudian dipertegas kembali Peraturan OJK No. 42/POJK.04/2020 tentang Transaksi Afiliasi dan Transaksi Benturan Kepentingan (POJK 42/2020).

Dalam hal transaksi benturan kepentingan itu menguntungkan, maka keuntungan yang diberikan oleh Direksi terhadap perusahaan atas transaksi benturan kepentingan yang dilakukan, dapat membebaskannya dari pelanggaran atas larangan transaksi tersebut. Hal ini dikarenakan pada umumnya itu PT lebih mementingkan keuntungan yang mereka dapatkan dari suatu putusan yang dibuat Direksi, sehingga transaksi yang dilakukannya tidak dipermasalahkan lagi. Dalam hal ini doktrin BJR menjadi berlaku karena Direksi dalam melakukan transaksi benturan kepentingan tidak merugikan perusahaan. Selain itu dapat didukung juga apabila memang Direksi memiliki itikad yang baik dan bertanggung jawab terhadap putusannya, di mana hal ini diatur dalam Pasal 97 ayat (5) huruf b Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Kemudian, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 97 ayat (5) huruf c UUPT ditambahkan juga bahwa anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan apabila Direksi dapat membuktikan bahwa tidak adanya benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian. Artinya, Direksi harus bertanggung jawab apabila dalam melakukan transaksi benturan kepentingan telah jelas merugikan perusahaan, dan jika transaksi tersebut sebaliknya memberikan keuntungan, maka ia tidak dimintakan pertanggung jawaban oleh perusahaan, dan secara otomatis doktrin BJR ini menjadi berlaku untuk melindunginya sebagai Direksi.

Berbeda lagi jika dalam transaksi benturan kepentingan itu ternyata keputusan yang telah dikeluarkan oleh Direksi terdapat kelalaian dan tidak didasarkan pada itikad baik, maka segala kerugian yang dialami oleh perseroan menjadi tanggung jawabnya. Direksi dalam hal ini dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi apabila ia memenuhi syarat adanya kerugian yang ditimbulkan karena adanya kesalahan atau kelalaian yang dilakukannya.[7] Dalam Pasal 97 ayat (3) UUPT dinyatakan bahwa setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya. Kemudian ayat (4) ditambahkan bahwa apabila Direksi terdiri dari dua orang atau lebih, maka tanggung jawab yang dimaksud akan ditanggung secara renteng bagi setiap anggota Direksi. Kerugian yang dimaksud disini dapat ditujukan pada kerugian yang diakibatkan dari dilakukannya transaksi benturan kepentingan yang dilakukan tidak sesuai prosedur, yang telah ditetapkan oleh ketentuan OJK, dengan tujuan mendapatkan keuntungan untuk dirinya sendiri atau kelompoknya tanpa didasarkan pada suatu itikad baik. Maka dari itu, doktrin BJR menjadi tidak berlaku terkait dengan permasalahan ini. Pengecualian ini apabila sebelum melakukan transaksi benturan kepentingan telah mendapatkan persetujuan dari pemegang saham independen melalui RUPS sesuai ketentuan POJK 42/2020, dan juga didasarkan pada itikad baik, sehingga Direksi tidak dapat dipersalahkan atau tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas keputusannya yang telah merugikan perseroan. Hal ini dikarenakan Direksi dalam memutuskan sesuatu memiliki risiko-risiko yang tidak terduga, di mana risiko-risiko itu tidak diperkirakan akan terjadi. Meskipun, sebelum memutuskan sesuatu, Direksi telah mempertimbangkan dengan ketepatan perhitungan terhadap risiko-risiko tersebut.

Dalam ketentuan Pasal 97 ayat (5) huruf c menyebutkan bahwa Direktur tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian perusahaan apabila ia dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan transaksi yang mengandung benturan kepentingan, baik langsung maupun tidak langsung. Namun, pasal ini tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan langsung dan tidak langsung, serta bentuk kerugian yang akan diterima oleh perusahaan. Batasan dari bentuk kerugianatas transaksi benturan kepentingan dapat didasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).[8] Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang terkena salahnya menerbitkan kerugian tersebut, mengganti kerugian itu. Kemudian dalam Pasal 1366 KUHPerdata dijelaskan bahwa setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya. Artinya, kerugian yang dimaksud memiliki arti yang cukup luas dan tidak dispesifikasikan secara jelas. Selama tindakan yang dilakukan itu merupakan tindakan yang melanggar hukum, karena kelalaiannya atau kekurang hati-hatiannya, sehingga menyebabkan kerugian kepada orang lain dalam bentuk apapun, maka itu lah yang dimaksud dengan bentuk kerugian. Ketentuan dalam Pasal 1365 dan Pasal 1366 KUHPerdata ini juga sejalan dengan yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) UUPT yang menyatakan bahwa Direksi memang dapat dikenakan pertanggungjawaban penuh secara pribadi atas keputusannya yang menyebabkan adanya kerugian bagi perusahaan akibat dari kesalahan ataupun kelalaiannya. Robert Prayoko dalam bukunya “Doktrin Business Judgment Rule: Aplikasinya dalam Hukum Perusahaan Modern,” disebutkan terdapat dua macam kepentingan di dalam transaksi benturan kepentingan. Pertama, kepentingan yang langsung (direct interest), yaitu mengukur dari keterlibatan Direktur dengan perusahaan yang menjadi pihak dalam suatu transaksi yang mengandung unsur benturan kepentingan. Kedua adalah kepentingan yang tidak langsung yang diukur dari adanya keuntungan yang akan didapatkan Direktur dari perusahaan. Hal ini muncul ketika Direktur tidak menjadi salah satu pihak dalam transaksi tersebut, namun Direksi tetap mendapatkan keuntungan dari transaksi yang mengandung benturan kepentingan itu.

Selain di Indonesia, terdapat negara lain yang juga menggunakan doktrin BJR dalam pengaturan hukum perusahaannya, seperti Inggris yang merupakan negara penganut sistem common law dan sebagai salah satu negara yang lebih dulu menggunakan dan memperkenalkan doktrin BJR. Regulasi mengenai korporat sendiri disahkan pertama kali pada tahun 1720,[9] jauh berbeda dengan Indonesia yang baru mengganti ketentuan dari pemerintah Belanda pada tahun 1995. Jumlah pasal yang diatur juga sangat jauh berbeda dengan di UUPT yang hanya ada 161 pasal, sedangkan di Inggris ada 1300 pasal, sehingga dapat dilihat bahwa aturan yang ada di Inggris ini lebih lengkap dan kompleks. Di Inggris, pengadilan umum mengedepankan alasan-alasan yang mirip dengan BJR, yakni dikenal sebagai Business Judgment Doctrine (BJD). Sesungguhnya, Inggris tidak membuat suatu undang-undang atau pengaturan yang secara khusus dibuat untuk BJR/BJD walaupun prinsip ini tetap dijalankan. Hal ini dikarenakan Inggris telah menerapkan fiduciary duty oleh Direksi, khususnya duties of care and skill yang bersifat subjektif[10] tergantung pada keahlian masing-masing anggota Direksi. Pengaturan mengenai doktrin ini secara ekplisit diatur dalam Pasal 170 The UK Companies Act 2016 yang berdasarkan teorinya, lebih digunakan istilah commercial judgment dalam perkembangannya. Mengenai kedudukan Direktur dalam menjalankan tugasnya diatur dalam Pasal 172 sampai dengan Pasal 177. Hal ini memiliki beberapa kesamaan dengan peraturan di Indonesia, di mana Direksi dalam memberikan keputusan berhasil mempromosikan perusahaan yang dilakukan dengan itikad baik demi kepentingan perusahaan, dengan keahlian, kehati-hatian, telah berusaha menghindari konflik kepentingan, tidak menerima manfaat dari pihak ketiga, dan menyatakan adanya kepentingan dalam transaksi atau pengaturan yang diusulkan. Artinya, jika keseluruhan putusannya telah diupayakan dengan niat baik dan sungguh-sungguh, maka Direksi tidak dapat dipersalahkan akan hal tersebut. Apabila dihubungkan dengan transaksi yang mengandung benturan kepentingan, maka merujuk pada Pasal 175, di mana pada ayat (1) dijelaskan bahwa seorang Direktur perusahaan harus menghindari suatu situasi di mana memiliki, ataupun dapat memiliki, kepentingan langsung atau tidak langsung yang bertentangan, atau mungkin mungkin bertentangan, dengan kepentingan perusahaan. Sama seperti pengaturan dalam pasal 97 ayat (5) huruf c UUPT, disebutkan bahwa unsur kepentingan baik langsung ataupun tidak langsung. Namun, tidak disebutkan syarat adanya kerugian yang dapat ditimbulkan bagi perusahaan, melainkan bertentangan dengan kepentingan perusahaan. Kemudian, dalam Pasal 175 ayat (4) huruf a The UK Companies Act 2006 disebutkan kewajiban ini tidak dilanggar oleh Direksi apabila situasi yang didapatkannya secara wajar dianggap dapat menimbulkan konflik benturan kepentingan. Artinya, pengaturan di Inggris mengenai kedudukan Direksi dalam benturan kepentingan serta hubungannya dengan BJR memiliki maksud yang kurang lebih sama dengan peraturan yang ada di Indonesia.

Dengan demikian, baik Indonesia dan juga Inggris mengatur mengenai gugatan derivatif yang dapat diajukan oleh para pemegang saham. Di Indonesia diatur dalam Pasal 97 ayat (6) UUPT yang menyatakan bahwa atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya telah menimbulkan kerugian pada Perseroan. Berdasarkan ketentuan ini pemegang saham minoritas memiliki kedudukan hukum, sehingga berhak meminta pertanggungjawaban hukum kepada Direktur.[11] Sedangkan di Inggris, hal ini diatur dalam Pasal 260 ayat (5) The UK Companies Act, dimana pemegang saham dapat melakukan gugatan derivatif kepada Direktur dengan melakukan pembuktian adanya fraud (keuntungan pribadi) oleh Direktur yang bersangkutan. Namun, pelaksanaan dari gugatan derivatif ini lebih rumit karena terdapat dua syarat yang harus dipenuhi, baik oleh pemegang saham ataupun Direksi,[12] yakni perusahaan berada dibawah kendali Direksi yang melakukan kesalahan, dan pelanggaran yang diadukan tidak dapat disetujui oleh para pemegang saham. Hal ini berbeda dengan di Indonesia yang tidak mengatur mengenai kedua syarat ini dalam melakukan gugatan derivatif.[13] Hal inilah yang menjadi titik lemah yang seharusnya diperbaiki dengan belajar dari ketentuan di Inggris sebagai alternatif dalam memperbaikinya.

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan dalam hukum korporasi, terdapat salah satu doktrin yang digunakan, yaitu Business Judgment Rule (BJR) yang dapat berkaitan dengan benturan kepentingan dalam keputusan yang dibuat Direksi, dimana keputusan ini dapat memberikan kerugian bagi pihak lain dan keuntungan untuk dirinya sendiri. Di dalam transaksi benturan kepentingan terdapat dua konteks yang perlu diperhatikan, yaitu transaksi self-dealing dan oportunitas perusahaan (corporate opportunity). Apabila transaksi benturan kepentingan tersebut dilakukan tanpa mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dalam POJK No. 42/2020, maka setiap kerugian yang terjadi terhadap perusahaan menjadi tanggung jawab Direksi yang melakukan transaksi tersebut. Namun, jika transaksi tersebut memberikan keuntungan bagi perusahaan, maka doktrin BJR menjadi berlaku karena sejatinya perusahaan sangat mementingkan keuntungan untuk perusahaannya sendiri. Oleh karena itu, maka diharapkan kepada Direktur dalam wewenangnya untuk mengambil keputusan bagi perusahaan tidak melakukan transaksi benturan kepentingan yang dapat merugikan kepentingan PT. Meskipun disadari bahwa tidak selalu transaksi benturan kepentingan itu merugikan, tetapi dapat juga memberikan keuntungan kepada PT. Kemudian, diharapkan UUPT dapat lebih mengatur secara lengkap dan jelas mengenai doktrin BJR ini, khususnya yang berkaitan dengan benturan kepentingan sebagaimana peraturan yang diatur di Inggris, di mana ketentuan ini diatur dalam beberapa pasal dengan ketentuan yang lebih lengkap  dibandingkan dengan UUPT. Pada titik akhirnya, transaksi benturan kepentingan yang merugikan diharapkan dapat segera diatur lebih detail. Hal ini untuk membedakannya dengan transaksi benturan kepentingan yang menguntungkan seluruh pemegang saham dan menjadikan PT itu dapat bergerak lebih maju maka jalan keluarnya dengan mengadakan RUPS untuk memperoleh persetujuan pemegang saham independen. Kerugian memang dapat menjadi masalah dan keuntungan menjadi berkah dalam transaksi benturan kepentingan. Semoga hal ini dapat menjadi catatan Direksi dan instutisi bisni PT di Indonesia. (***)


Referensi:

The Meissner Group. 2020. “What is Dual Agency in Real Estate.” Diakses dari: https://castlerock-realtor.com/what-is-dual-agency-in-real-estate/, pada 19 Mei 2021, pukul 17.12 WIB.

Prayoko, Robert. 2015. Doktrin Business Judgment Rule: Aplikasinya dalam Hukum Perusahaan Modern. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Ardiansyah, M. Kamil., dan Hernawan Hadi. 2016. “Transaksi Self Dealing dalam Perspektif Hukum Perseroan Indonesia,” Privat Law, 4 (2), hlm. 28-35.

Syarief, Elza., dan Attika Balqist. 2017. “Doktrin Fiduciary Duty dan Corporate Opportunity Terhadap Pertanggungjawaban Direksi dan Dewan Komisaris,” Journal of Law and Policy Transformation, 2 (2), hlm. 80-102.

Priharto, Sugi. 2020. “Hal yang Harus Anda Tahu Tentang Conflict of Interest pada Bisnis.” Diakses dari: https://accurate.id/marketing-manajemen/hal-yang-harus-andatahu-tentang-conflict-of-interest-pada-bisnis/, pada 19 Mei 2021, pukul 17.05 WIB.

Simbolon, Alum. 2018. “Penerapan Prinsip Business Judgment Rule di Indonesia,” Sipendikum, Medan, Universitas Pelita Harapan.

Noversia, Tria. 2019. “Penerapan Prinsip Business Judgment Rule Bagi Direksi PT Penanaman Modal Asing Sebagai Pembelaan dalam Kerugian Perusahaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas,” Tesis, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum, Medan, Universitas Sumatera Utara.

Legal Service. 2018. “Origin and Evolution of the Modern Company Law.” Diakses dari: https://www.legalserviceindia.com/articles/eocindia.htm, pada 29 Juli 2021, pukul 20.47 WIB.

Prasetio. 2014. Dilema BUMN: Benturan Penerapan Business Judgment Rule (BJR) dalam Keputusan Bisnis Direksi BUMN. Jakarta Timur: PT. Rayyana Komunikasindo.

Rissy, Yafet Yosafet Wilben. 2020. “Business Judgment Rule: Ketentuan dan Pelaksanaannya oleh Pengadilan di Inggris, Kanada, dan Indonesia,” Mimbar Hukum, 32 (2), hlm. 275-293.

[1] Indra Surya, Transaksi Benturan Kepentingan di Pasar Modal di Indonesia, (Jakarta, FH-UI, Pusat Studi Hukum dan Ekonomi, 2009) hal 8 dan 29.

[2] The Meissner Group, “What is Dual Agency in Real Estate,https://castlerock-realtor.com/what-is-dual-agency-in-real-estate/ (19 Mei 2021).

[3] Robert Prayoko, Doktrin Business Judgment Rule: Aplikasinya dalam Hukum Perusahaan Modern, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2015, hlm 97 – 98.

[4] M. Kamil Ardiansyah, dan Hernawan Hadi, “Transaksi Self Dealing dalam Perspektif Hukum Perseroan Indonesia,” Privat Law, No. 2 (2016), hlm. 29.

[5] Elza Syarief, dan Attika Balqist, “Doktrin Fiduciary Duty dan Corporate Opportunity Terhadap Pertanggungjawaban Direksi dan Dewan Komisaris,” Journal of Law and Policy Transformation, No. 2 (2017), hlm. 83.

[6] Sugi Priharto, “Hal yang Harus Anda Tahu Tentang Conflict of Interest pada Bisnis,” https://accurate.id/marketing-manajemen/hal-yang-harus-anda-tahu-tentang-conflict-of-interest-pada-bisnis/ (19 Mei 2021).

[7] Alum Simbolon, “Penerapan Prinsip Business Judgment Rule di Indonesia,” Sipendikum, (Medan, Universitas Pelita Harapan, 2018), hlm. 341.

[8] Tria Noversia, “Penerapan Prinsip Business Judgment Rule Bagi Direksi PT Penanaman Modal Asing Sebagai Pembelaan dalam Kerugian Perusahaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas,” Tesis, Magister Kenotarian Fakultas Hukum, Medan, Universitas Sumatera Utara (2019), hlm. 108.

[9] Legal Service, “Origin and Evolution of the Moderm Company Law,https://www.legalserviceindia.com/articles/eocindia.htm, (29 Juli 2021).

[10] Prasetio, Dilema BUMN: Benturan Penerapan Business Judgment Rule (BJR) dalam Keputusan Bisnis Direksi BUMN (Jakarta: PT. Rayyana Komunikasindo, 2014), hlm. 236.

[11] Yafet Yosafet Wilben Rissy, “Business Judgment Rule: Ketentuan dan Pelaksanaannya oleh Pengadilan di Inggris, Kanada, dan Indonesia,” Mimbar Hukum, No. 2 (2020), hlm. 288.

[12] Prasetio, loc.cit.

[13] Yafet Yosafet Wilben Rissy, op.cit., hlm. 280.


 

dan Naurah I. Aurellia adalah mahasiswa Jurusan Hukum Bisnis BINUS (NIM: 2301883776).

 

 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close