TANTANGAN MASKAPAI PENERBANGAN DAN PENUMPANG TERHADAP PENERBANGAN DOMESTIK AKIBAT PPKM MANDIRI
Oleh NIRMALA MANY dan YUSTISIO ARYA NUGROHO (Juli 2021)
Pandemi COVID-19 telah memukul industri penerbangan global, termasuk Indonesia. Hal tersebut seiring dengan implementasi protokol kesehatan yang mengakibatkan adanya pembatasan jumlah operasional penerbangan, ditambah dengan berlakunya penerapan kebijakan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) sehingga berdampak adanya syarat tambahan terhadap penumpang yang hendak melakukan penerbangan.
Saat ini Indonesia sedang dihadapkan pada fase “PPKM darurat” sebagai mana tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 tahun 2021 tanggal 2 Juli 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat Corona Virus Disease 2019 Di Wilayah Jawa dan Bali. Akibatnya, pada setiap penumpang yang akan melakukan penerbangan perjalanan domestik khususnya menuju kota-kota DI Jawa dan Bali diwajibkan untuk menunjukkan kartu/sertifikat vaksinasi (minimal 1 dosis), serta surat keterangan bebas COVID-19 dari hasil tes PCR (maksimal 2×24 jam sebelum keberangkatan).
Menurut Surat Edaran Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Nomor 14 Tahun 2021 tanggal 3 Juli 2021 tentang Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri Dalam Masa Pandemi Corona Virus Diese 2019 (COVID 19), hasil tes antigen tidak lagi diperbolehkan. Perlu dicatat, Selain syarat wajib yang telah disebutkan, beberapa Pemerintah Daerah juga memiliki peraturannya sendiri terkait syarat tambahan yang harus dipenuhi penumpang, baik penumpang yang datang ataupun keluar dari daerah tersebut. Tentunya dengan diterapkannya regulasi tersebut menjadi tantangan terhadap maskapai penerbangan dan penumpang.
Tantangan bagi penumpang dengan adanya kewajiban untuk tes PCR tentunya membutuhkan waktu tunggu yang lebih lama sehingga tidak bisa secara serta merta melakukan penerbangan secara mendadak dan memerlukan biaya lebih yang harus dikeluarkan. Kemudian harus sudah melakukan vaksinasi sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/4642/2021 tanggal 11 Mei 2021 tentang Penyelenggaraan Laboratorium Pemeriksaan Covid-19 dimana pemerintah (Satgas Covid-19) hanya mengakui hasil tes PCR dari 742 laboratorium yang hasil pemeriksaan tersebut akan masuk dalam data New All Record atau NAR yang terkoneksi dengan aplikasi khusus laboratorium yang terafiliasi dengan Kementerian Kesehatan sebagai syarat untuk melakukan penerbangan. Beberapa lap tersebut diantaranya, untuk Provinsi DKI Jakarta, Banten dan Jawa Tengah terdapat 1 (satu) Laboratorium, Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur terdapat 3 (tiga) Laboratorium (jumlah lab pada daerah lainnya dapat melihat peraturan tersebut). Sehingga hal ini menambah panjang daftar persyaratan penumpang untuk terbang.
Penerapan pembatasan penerbangan dan syarat tambahan bukan saja menghambat kemudahan dan akses penumpang,namun juga dapat menimbulkan dampak kerugian keuangan bagi maskapai penerbangan. Berdasarkan survey yang dilakukan terhadap beberapa Bandara internasional, seperti: Bandara Kuala Namu (dulu Polonia), Bandara Soekarno-Hatta, Bandara Juanda, Bandara Ngurah Rai, dan Bandara Hasanuddin, terdapat perbedaan sangat signifikan jumlah penumpang pesawat dalam penerbangan domestik dan penerbangan internasional pada tahun 2019 dan 2020. Pada tahun 2019, rata-rata penerbangan bisa mengangkut sekitar 4.277.218 orang dan tahun 2020 hanya mampu mengangkut 800.579 orang. Sedangkan dari sisi penumpang, biaya PCR jauh lebih mahal dibandingkan dengan biaya antigen atau Rapid test sebagaimana dipersyaratkan sebelumnya. Bahkan biaya PCR terkadang jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga tiket. Maka dapat disimpulkan bahwa dampak dari pandemi COVID 19 ini sangat terasa bagi bisnis usaha industri penerbangan. Oleh karena itu, sebagai penyeimbang hal tersebut, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan yang dapat mempermudah usaha jasa angkutan udara. Kami merekomendasikan syarat syarat dengan menggunakan sertifikat vaksin dosis 1 dan antigen serta protokol kesehatan ketat, seperti memakai masker, mencuci tangan dengan air dan sabun atau menggunakan hand sanitiser serta menjaga jarak aman.
Tulisan singkat ini juga mencoba membandingkan dengan kebijakan negara lain terkait persyaratan penerbangan. Tidak hanya maskapai penerbangan di Indonesia yang menghadapi tantangan akibat COVID 19, penerbangan di India-pun menghadapi hal yang hampir serupa bahkan lebih parah. Penerbangan internasional ke India tidak diizinkan dan ditangguhkan hingga 30 Juli 2021 atau dapat diperpanjang. Namun tidak berlaku terhadap penerbangan domestik bagi masyarakat di India.
Terkait persyaratan penerbangan domestik di India, setiap penumpang yang hendak melakukan penerbangan diwajibkan untuk memakai alat pelindung diri, seperti masker dan sarung tangan, kemudian penumpang harus menyerahkan formulir pernyataan diri (self-declaration) mengenai kesehatan mereka, bersama dengan data kesehatan melalui aplikasi dan menerapkan social distancing. Sehingga pada intinya sesuai dengan pedoman pemerintah, setiap penumpang di atas 14 tahun harus menginstal aplikasi “Aarogya”. Sehingga apabila penumpang tanpa aplikasi tersebut, tidak dapat melakukan penerbangan domestik, karena dalam aplikasi tersebut berisikan laporan status kesehatannya penumpang.
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara atau Ditjen Perhubungan Udara India telah meminta maskapai penerbangan untuk membiarkan kursi tengah di setiap baris kosong, untuk menjaga jarak sosial di antara penumpang di dalam penerbangan. Sehingga hal ini telah berdampak terhadap penurunan jumlah penumpang yang dibawa oleh penerbangan domestik manapun. Pukulan selanjutnya terhadap maskapai penerbangan di India dimana akibat dari lonjakan kasus COVID-19, negara-negara berikut melarang penerbangan atau mengeluarkan pedoman untuk penumpang yang bepergian dari India seperti: Iran, Kuwait, Indonesia, Perancis, UEA, Amerika Serikat, Israel, Inggris, Hongkong, Singapura, Kanada, Australia, Selandia Baru, Qatar, Bahrain, Maladewa, Jerman, Bangladesh, Italia, Oman, Djibouti dan semua Maskapai India juga telah menangguhkan operasi penerbangan terjadwal mereka ke negara-negara yang telah memberlakukan larangan masuknya warga negara India.
Namun berbeda halnya dengan Malaysia. Kondisi penerbangan Negara Malaysia tidak ada batasan pada operasi penerbangan domestik. Setiap penumpang yang hendak melakukan harus mengunduh dan mengaktifkan aplikasi MySejahtera. Malaysia juga memberikan persyaratan yang berbeda-beda terhadap setiap daerah sebagai berikut:
- Untuk masuk domestik ke Semenanjung Malaysia: harus menunjukkan sertifikat tes negatif RT-PCR atau RTK-Antigen COVID-19 yang dilakukan tidak lebih dari tiga hari (72 jam) sebelum keberangkatan penerbangan.
- Untuk masuk domestik (Malaysia Barat, Sabah, Labuan, dan luar negeri) ke Sarawak: warga negara Malaysia tidak diizinkan memasuki Sarawak, kecuali untuk tujuan darurat medis dan untuk tujuan kerja harus menunjukkan izin kerja yang sah serta diperlukannya izin persetujuan dari the Royal Malaysia Police (PDRM).
- Untuk domestik (Malaysia Barat, Sarawak dan Labuan) masuk ke Sabah: Karantina 14 hari wajib bagi semua penumpang yang memasuki negara bagian tersebut. Penumpang yang masuk ke Sabah juga wajib menunjukkan hasil tes PCR negatif COVID-19. Tes RTK-AG tidak lagi diterima.
Dari penjabaran di atas, maka tampak perbedaan pengaturan terhadap penerbangan pada saat PPKM dengan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagaimana yang dimaksud dalam Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 di Indonesia. Saat PSBB, Penumpang yang hendak melakukan penerbangan domestik diwajibkan membawa surat hasil Rapid Test atau PCR Test yang berlaku maksimal 14 hari pada saat keberangkatan dan tidak dibutuhkan SIKM (Surat Izin Keluar Masuk) bagi penumpang pesawat yang berangkat atau tiba di Bandara. Kemudian, penumpang domestik yang baru mendarat wajib sudah mengisi Kartu Kewaspadaan Kesehatan (Health Alert Card/HAC) melalui aplikasi e-HAC atau formulir kertas) dan penumpang pesawat wajib memperhatikan informasi mendasar lainnya seperti kewajiban memakai masker saat berada di bandara dan ketika naik pesawat, menerapkan physical distancing, serta harus selalu terinformasi mengenai operasional penerbangan semisal jika ada perubahan jadwal keberangkatan pesawat.
Menurut Anggia Rukmasari, S.H., LL. M, Secretary General of the Indonesian Air Law Society yang selama ini membantu Kementerian Perhubungan (KEMENHUB) dalam membuat kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan penerbangan dalam masa pandemi COVID 19, pernah dilakukan survey terkait hal ini dan disimpulkan bahwa ternyata penumpang tidak berkeberatan terkait adanya penambahan persyaratan ini demi Kesehatan bersama. Berkaca dari hal itu, Instruksi MENDAGRI ini tentunya sejalan dengan komando pemerintah yang mengutamakan kesehatan warganya tanpa pandang bulu dan sebagaimana yang telah dijelaskan ternyata penumpang menyambut baik walau diakui sedikit membebani. Dari segi menjaga industri pun Pemerintah sudah mencoba yang terbaik untuk memberikan proporsi yg lebih besar dalam maskapai mengangkut penumpang. Sehingga, usaha pemerintah menumbuhkan appetite terbang dan appetite bahwa terbang itu aman memang harus dibangun dengan upaya- upaya seperti ini (dari sisi regulasi) dan sosialisasi tentunya.
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam menghadapi kondisi COVID 19 khususnya dalam penerbangan, perlu adanya kesinambungan antara maskapai dan penumpang terkait keterbukaan informasi yang harus diberikan mengenai syarat penerbangan, prosedur layanan selama di bandara, prosedur layanan selama penerbangan, standar protokol kesehatan, serta informasi setelah penerbangan. (***)
dan Yustisio Arya Nugroho adalah mahasiswa Jurusan Hukum Bisnis BINUS (NIM 2201789712).
Published at :