INSIDER TRADING DAN KENDALANYA DI PASAR MODAL
Oleh AGUS RIYANTO dan SUWARDI (Juli 2021)
Di Indonesia, Pasar Modal terus mengalami pertumbuhan sejak berlakukannya Undang -Undang No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM). Hal tersebut dapat dilihat dari nilai transaksi, volume transaksi, dan pergerakan IHSG serta pertumbuhan jumlah emiten yang terus meningkat [1]. Pada tahun 1995, dengan jumlah emiten yang terdaftar sebanyak 238 Emiten telah terjadi nilai transaksi Rp 32,358 triliun dengan pertumbuhan kapitalisasi pasar Rp152,000 Triliun dan terus berkembang hingga pada tahun 2020 telah mencapai 713 Emiten dengan nilai transaksi Rp 2.228,798 triliun dan pertumbuhan kapitalisasi pasar kepada kisaran Rp 6.970,009 triliun.[2] Peningkatan jumlah emiten dan nilai transaksi ini mengindikasikan Pasar Modal sedang menujuperbaikan dan memberikan kontribusi yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, tetap patut diwaspadai kegiatan transaksi efek yang menjadi bagian tindak kejahatan di Pasar Modal, salah satunya adalah adalah perdagangan orang dalam atau dikenal luas dengan istilah Insider Trading. Insider Trading ialah praktik ilegal di mana seorang investor mendapat informasi tentang peluang dan keuntungan dalam transaksi jual beli saham. Kepastian informasi itu bersumber dari orang dalam (inside information) perusahaan yang akan melakukan jual beli dengan menggunakan informasi yang mengandung fakta materil,yang belum tersedia untuk umum (diinformasikan kepada publik) dan karena tindakannnya pelaku memperoleh keuntungan dari transaksi yang dilakukannya. Jadi, dasar motifnya adalah memperoleh keuntungan melalui informasi yang dimilikinya dengan jalan pintas dan tidak sah (illegal). Sehingga, tidak dibenarkan untuk diberitahukan kepada orang atau badan hukum tertentu dengan bantuan kerjasama orang dalamnya perusahaan.
Dengan demikian secara subsntatif, yang menjadi titik masalah Insider Trading adalah terjadinya ketidakadilan informasi yang hanya diperoleh atau dikuasai sejumlah orang tertentu dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang bukan merupakan haknya, serta menciptakan distorsi pada harga saham oleh karenanya harga saham tersebut bukan merupakan refleksi dari pada harga yang sesungguhnya yaitu berdasarkan informasi pasar yang efisien.[3] Hal ini juga bertentangan dengan prinsip dari keterbukaan informasi yang dianut oleh UUPM yang telah mensyaratkan bahwa setiap pelaku Pasar Modal dalam penawaran sahamnya harus memuat informasi material yang benar dan tidak boleh memberikan gambaran yang menyesatkan (market manipulation), yang dapat mempengaruhi keputusan calon investor terhadap penentuan efek dan/atau harga efek tersebut (Pasal 1 Ayat 25 UUPM)[4]. Namun, pelaku Insider Trading itu juga jelas telah melanggar prinsip equal opportunity (kesempatan yang sama). Prinsip yang universal ini penting karena kesempatan yang sama memperoleh informasi yang sah telah dipenggal dengan kedekatannya orang dalam. Informasi material yang seharusnya untuk semua pihak berhak memilikinya telah menjadi hanya milik dari beberapa orang saja dengan melalui cara-cara yang bertentangan dengan UUPM. Dari titik ini, sesungguhnya, Insider Trading harus dipahami dan mengapa praktek ini dilarang di Pasar Modal.
Di Indonesia, UUPM itu telah mengatur (normatif) dan memberikan format teknis tentang bagaimana pagar-pagar hukum memformat larangan Insider Trading. Larangan Insider Trading ini di atur oleh Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97 dan Pasal 98 dalam UUPM. Adapun pada pasal 95 telah menjelaskan tentang cakupan Insider Trading, yaitu:[5]
- Komisaris, direktur, atau pegawai emiten;
- Pemegang saham utama emiten;
- Orang perorangan yang karena kedudukan atau profesinya atau karena hubungan usahanya dengan emiten atau perusahaan publik memungkinkan orang tersebut memperoleh informasi; atau
- Pihak yang dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir tidak lagi menjadi pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, atau huruf c di atas.
Pasal 95 UUPM ini menjelaskan siapakah sesungguhnya subyek hukum pelaku orang dalam yang mempunyai informasi dan dilarang melakukan pembelian atau penjualan saham apabila yang melakukan transaksinya ada hubungannya dengan pihak Emiten atau Perusahaan Publik yang bersangkutan. Dilarangnya hal tersebut karena dengan informasi material yang diperolehnya,modus yang digunakan oleh mereka adalah membeli saham perusahaan di waktu harga murah, kemudian menjualnya saham ketika harganya naik.
Pasal 96 UUPM menjelaskan kewajiban Insider yang diasumsikan mengetahui informasi material untuk berhati-hati dalam menyebarkan informasi agar informasi tersebut tidak disalahgunakan oleh Pihak yang menerima informasi (disebut sebagai Tippess I) untuk melakukan pembelian atau penjualan atas Efek. Adapun tindakan yang dilarang antara lain yaitu mempengaruhi pihak lain untuk melakukan transaksi efek dimaksud dan/atau memberi informasi orang dalam kepada pihak lain yang diduga akan menggunakan informasi tersebut untuk melakukan pembelian dan atau penjualan Efek. Hal ini menunjukkan informasi di Pasar Modal itu dapat diperjual-belikan dan informasi memiliki nilai dan harga yang apabila diperoleh dengan cara berkerjasama orang dalam perusahaan publik atau emiten dikualifikasikan sebagai Insider Trading. Pasal 97 UUPM mengatur bahwa bagi siapa saja(subyeknya) yang berusaha untuk memperoleh informasi material secara melawan hukum (Dikategorikan sebagai Tippes II), antara lain dengan cara mencuri, membujuk orang dalam dan dengan cara kekerasan atau ancaman itu berlaku suatu larangan sebagaimana diatur dalam pasal 95 dan 96. Namun, tidak diberlakukan larangan terhadap orang yang mendapatkan informasi material secara tidak melawan hukum. Artinya, informasi material itu telah menjadi konsumsi publik dan umum telah mengetahui secara resmi dari perusahaan yang akan melakukan jual beli saham.
Pasal 98 UUPM adalah aturan dasar yang harus dipegang oleh perusahaan efek [6]atau pihak yang bekerja di perusahaan efek yang memiliki informasi orang dalam, untuk tidak melakukan transaksi efek semata-mata untuk kepentingan nasabahnya (Apabila dilakukan dikategorikan sebagai Tippes III), kecuali transaksi tersebut dilakukan atas perintah dari nasabahnya dan perusahaan efek tersebut juga tidak memberikan rekomendasi kepada pihak nasabahnya mengenai efek yang bersangkutan. Terhadap Perusahaan Efek melanggar ketentuan ini, maka diberlakukan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96.
Dengan memperhatikan kepada pengaturan di atas, dapat diketahui bahwa pelaku Insider Trading menurut UUPM dapat dikategorikan sebagai berikut:
No. | Insider | No. | Tindakan yang dilakukan |
1. | Komisaris, Direktur, Pegawai | 1. | Pembelian/penjualan efek perusahaan publik (dihukum berdasarkan pasal 95 huruf a UUPM) |
2. | Pemegang Saham Utama | 2. | Pembelian/penjualan efek perusahaan lain yang melakukan transaksi dengan perusahaan terbuka (dihukum berdasarkan pasal 95 huruf b UUPM) |
3. | Pihak karena kedudukannya | 3. | Mempengaruhi pihak lain (dihukum berdasarkan pasal 96 huruf a UUPM) |
4. | Pihak karena profesinya | 4. | Memberikan informasi kepada pihak lain yang patut diduga akan melaksanakan perdagangan orang dalam (dihukum berdasarkan pasal 96 huruf b UUPM) |
5. | Pihak karena hubungan usahanya | ||
6. | Pihak yang telah berhenti dalam kurun waktu 6 tahun (penjelasan pasal 95) |
Outsider | Keterangan | |
A | Tippess I | Pihak lain yang dipengaruhi (tidak dihukum) |
Pihak lain yang diberikan informasi (tidak dihukum) | ||
B | Tippess II | Pihak lain yang memperoleh informasi orang dalam dari orang dalam secara melawan hukum (di hukum berdasarkan pasal 97 huruf a UUPM) |
Pihak lain yang memperoleh informasi (dengan pembatasan) dari orang dalam tidak secara melawan hukum (dihukum berdasarkan pasal 97 huruf b UUPM) | ||
C | Tippes III | Pihak lain yang memperoleh informasi dari Tippees I dan Tippees II (tidak dihukum karena tidak diatur) |
Perusahaan efek yang memiliki informasi orang dalam, kecuali atas perintah nasabah dan tidak memberikan rekomendasi (dihukum berdasarkan pasal 98 UUPM) |
Meskipun Insider Trading itu telah diatur, namun sejak berlakunya UUPM tersebut belum ada satupun kasus dugaan Insider Trading yang berhasil terungkap dan dilakukan penindakannya oleh Bapepam-LK dan OJK. Hal ini, disebabkan beberapa masalah yaitu kendala pertama substansi material dari pasal 95, 96, 97 dan 98 UUPM yang menjadi catatan. Pasal 95 UUPM, secara sepintas penjelasan pasal tersebut terlihat cukuplah jelas. Tidak ada penafsiran yang berbeda bagi masyarakat mengenai Komisaris dan Direktur, sebab kedua hal tersebut telah diatur dalam pasal 1 angka 5 angka 6 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Namun, melihat kepada status pegawai emiten, penjelasan Pasal 95 huruf a tidak memberikan penjelasan yang lebih jauh mengenai siapa yang dimaksud dengan pegawai emiten. Ketidakjelasan tersebut berpotensi menimbulkan penafsiran-penafsiran yang berbeda-beda bagi beberapa orang. Pertanyaan yang mungkin timbul adalah “apakah pegawai tidak tetap termasuk sebagai Insider ? Atau pegawai emiten hanya ditujukan kepada pegawai tetapnya saja?” apabila yang dimaksud pasal tersebut hanya ditujukan terhadap pegawai tetapnya saja, maka UUPM tidak akan mampu menjatuhkan sanksi terhadap pegawai tidak tetap berdasarkan transaksi efek yang dilakukan atas fakta material yang belum terbuka untuk masyarakat yang diperoleh secara tidak sengaja, artinya tidak diperoleh secara langsung dari orang dalam.[7] Hal ini akibatnya apa yang telah diaturnya itu tidak mudah dijalankan, sehingga dalam penegakannya menjadi mentah kembali di lapangan.
Meskipun pengaturan Pasal 96 UUPM telah mengatur kewajiban Insider untuk berhati-hati dalam menyebarkan informasi material agar informasi tersebut tidak disalahgunakan oleh Pihak yang menerima informasi (Tippee II) untuk melakukan transaksiEfek, dan larangan mempengaruhi pihak lain untuk melakukan transaksi efek dimaksud dan/atau memberi informasi orang dalam kepada pihak lain yang diduga akan menggunakan informasi tersebut untuk melakukan pembelian dan atau penjualan Efek. Namun aturan ini tidak mengatur lebih lanjut bagaimana jika orang pihak yang diberikan informasi tersebut memberikannya kepada orang lain (Tippee III), yang kemudian Tippee III melakukan transaksi efek berdasarkan Informasi Material yang diperoleh. Hal ini tentu akan menimbulkan pertanyaan apakah Tippee III dapat terjerat oleh hukum Insider Trading atau tidak.Masalah ini yang tidak terjawabkan. Pasal 97 UUPM mengatur pihak yang berusaha untuk memperoleh informasi material secara melawan hukum dan/atau memperoleh informasi material secara tidak melawan hukum, tidak mengatur lebih lanjut mengenai bagaimana jika seseorang melakukan transaksi efek berdasarkan informasi material bersifat rahasia, yang diperoleh secara tidaklah sengaja dari orang dalam. Artinya, mendapatkan informasi secara tidak sengaja atau kebetulan. Sebagai contoh seseorang yang mendengar percakapan telepon antara direktur emiten dengan target perusahaan yang akan diakusisi, dimana informasi tersebut bersifat material dan masih bersifat rahasia. Melalui contoh tersebut dan dikaitkan dengan peraturan yang berlaku, hampir dapat dipastikan apabila orang tersebut melakukan transaksi efek berdasarkan informasi yang diperoleh secara tidak lansung akan terbebas dari jeratan Insider Trading. Padahal apabila melihat kepada dampak yang dapat ditimbulkan, tindakan tersebut jelas dapat merugikan emiten dan pemegang saham lainnya, oleh karena transaksi seperti ini digolongkan sebagai Unjust Enrichmen(memperkaya diri secara tidak sah dengan memiliki apa yang bukan haknya).
Pasal 98 UUPM yang mengatur mengenai larangan bagi perusahaan efek atau pihak yang bekerja di perusahaan efek yang memiliki informasi orang dalam, untuk tidak melakukan transaksi efek semata-mata untuk kepentingan nasabahnya. Pada praktiknya kerap disalahgunakan oleh para Insider, para Insider yang akan melakukan Insider Trading biasanya memilih pialang yang memiliki hubungan yang khusus atau terafiliasi untuk mencapai tujuannya, sehingga transaksi efek yang dilakukan tidakakan dapat terdeteksi. Untuk menghadapi praktik tersebut, peran perusahaan efek dalam menetapkan mekanisme dan standar operasional hendaknya dapat menyeleksi nasabah-nasabah yang berpotensi melakukan Insider Trading, dan dirasa perlu untuk dibuat batasan bagi Insider untuk membeli atau menjual saham dalam jumlah yang signifikan dan berkewajiban untukmenyampaikan penjelasan tertulis tentang transaksi tersebut. Masalah ini juga belumlah diatur dengan lengkap, sehingga dalam penegakan Insider Trading menjadikan masalah baru yang akan mempersulit penegak hukum yang menanganinya.
Di samping lemahnya pengaturan, kendala kedua ketidakberhasilan dalam pengungkapan kasus Insider Trading juga disebabkan oleh Insider Trading dalam UUPM yang masih menganut teori klasik yaitu Fiduciary Duty. Black’s Law Dictionary memberikan pengertian Fiduciary Duty sebagai: “(1) A duty of utmost good faith, trust, confidence, and candor owed by a fiduciary (such as a lawyer or corporate officer) to the beneficiary (such as a lawyer client or a share holder); (2) a duty to act with the highest degree of honesty and loyalty toward another person and in the best interests of the other person (such as the duty that one partner owe to another)”. Dengan menggunakan definisi ini berarti bahwa direksi dalam menjalankan tugas harus dengan sebaik-baiknya (duty of diligence), baik menjalankan fungsinya sebagai manajemen maupun sebagai representasi perseroan adalah kepanjangan tangan dari yang ditunjuk perusahaan dengan menggunakan ukuran yang etis dan ekonomis yang tinggi. UUPT itu sendiri secara tidak langsung menganut Fiduciary Duty Theory yang dapat dilihat pada pasal 79 ayat 1 dan pasal 82 dan berdasarkan kedua pasal tersebut dapat dikatakan bahwa direksi mempunyai wewenang ganda yaitu melaksanakan pengurusan dan menjalankan perwalian perseroan.[8] Prinsip Fiduciary Duty juga dapat ditemukan di dalam UUPM yaitu pada Pasal 95 bahwa pelaku Insider Tradinghanya menjangkau orang dalam kapasitas fiduciary duty saja yaitu Direksi dan Komisaris. Sehubungan dengan kejahatan Insider Trading, Insider sebagaimana penerima informasi baik yang terikat secara perjanjian maupun tidak terhadap perusahaan Efek atau emiten yang bersangkutan yang mengetahui informasi material atas perusahaan Efek atau Emiten yang bersangkutan dan kepadanya dibebankan dengan tanggung jawab untuk menjaga kerahasiaan tersebut atas dasar kepercayaan dan kesetiaan, serta tidak diperkenankan melakukan transaksi Efek berdasarkan informasi tersebut. Dalam UUPM, cakupan Insider yang dibebankan dengan Fiduciary Duty sangatlah terbatas sebagaimana penjelasan pada Pasal 95 UUPM, yaitu hanya mencakup:
- Komisaris, direktur, atau pegawai emiten;
- Pemegang saham utama emiten;
- Orang perorangan yang karena kedudukan atau profesinya atau karena hubungan usahanya dengan emiten atau perusahaan publik memungkinkan orang tersebut memperoleh informasi; atau
- Pihak yang dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir tidak lagi menjadi pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, atau huruf c di atas.
Serta pihak ketiga seperti pada Pasal 97 ayat (1) dan (2) UUPM. Padahal apabila melihat kepada kasus-kasus dugaan Insider Trading yang pernah terjadi di Indonesia, tidak sedikit pelaku Insider Trading berasal dari Outsider, yang dalam hal ini diartikan sebagai seseorang yang tidak termasuk Insider menurut penjelasan Pasal 95 dan Pasal 97 UUPM. Adanya celah hukum ini (loopehole) membuat UUPM hanya dapat menjangkau Insider Trading karena pelanggaran Fiduciary Duty saja.
Berbeda halnya dengan teori penyalahgunaan (misappropriation theory) yang di anut oleh Amerika Serikat. Black Law Dictionary memberikan pengertian terhadap misappropriation theory sebagai “the doctrine that a person who wrongfully uses confidential information to buy or sell securities in violation of a duty owed to the one who is the information source is guilty of securities fraud.”. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa unsur-unsur dari misappropriation theory, yaitu:[9]
- Informasi material yang belum di-disclose kepada masyarakat;
- Transaksi efek yang dilakukan berdasarkan informasi tersebut;
- Keuntungan pribadi yang didapat oleh pihak yang melakukan transaksi.
Misappropriation Theory tidak memperdulikan pengaturan mengenai siapa yang melakukannya transaksi efek, tapi memusatkan perhatiannya kepada sifat dari informasi material yang digunakan untuk transaksi tersebut. Apabila informasi material masih bersifat rahasia, maka siapapun yang melakukan transaksi efek untuk mendapatkan keuntungan dengan menggunakan informasi tersebut akan dianggap sebagai Insider Trading, sehingga orang luar perusahaan yang melakukan transaksi berdasarkan informasi yang diperoleh dari Insider secara tidak disengaja atau tidak langsung dapat dikatakan telah melakukan Insider Trading. Untuk itulah segala kejahatan yang memiliki ke-3 unsur tersebut masuk di dalam kategori Insider Trading, sehingga penegakannya menjadi lebih tergambarkan apa yang seharusnya dilakukan.
Dengan membandingkan kedua teori di atas, dan menganalisis lebih lanjut Pasal 95 UUPM yang mengatur mengenai subjek hukum pelaku orang dalam, dapat diketahui konsep Fiduciary Duty dalam praktiknya mempunyai titik kelemahannya, yaitu terdapat celah hukum yang tidak dapat menjangkau orang luar perusahaan yang melakukan transaksi efek berdasarkan informasi material yang diketahui secara tidak sengaja atau tidak langsung dari orang dalam (misappropriation). Tidak terdapatnya “ruh” misappropriation theory dalam UUPM menimbulkan suatu celah dikarenakan pihak yang tergolong dalam kategori misappropriation dapat melakukan transaksi efek dan dapat dipastikan terhindar dari jangkauan pelaksanaan Pasal 104 UUPM. Sehingga meskipun UUPM telah mengatur mengenai sanksi bagi pemberi maupun penerima tip dari orang dalam mengenai fakta material, akan tetapi pengaturan tersebut tidak dapat menjatuhkan sanksi terhadap seseorang (Outsider) yang mendapatkan informasi secara tidak sengaja. Seperti seseorang yang mendapatkan informasi secara kebetulan mendengar percakapan Direksipada suatu rumah makan, mengenai kebijakan perusahaan, yang adalah merupakan suatu fakta material yaitu terhadap rencana merger terhadap perusahaan target misalnya. Hal itu menjadikan yang memperoleh informasi material sangat dimungkinkan terbebaskan dari jerat adanya Insider Trading. Kondisi yang berbeda hal ini terjadi di Amerika Serikat yang dengan sendirinya masuk telah terjadinya Insdider Trading.
Hal yang penting untuk diperhatikan dalam mengukur keberhasilan pengungkapan kasus Insider Trading dapat dipengaruhi oleh bagaimana sikap para aparatur penegak hukum di bidang Pasar Modal menangani dugaan kasus Insider Trading yang terjadi di Pasar Modal. Hal ini dapat dikatakan sebagai kendala ketiga Insider Trading di Indonesia. Di dalam UUPM, penegakan hukum sebetulnya telah menjadi salah satu fokus perhatian, antara lain dengan: [10]
- Melipatgandakan beratnya sanksi dibandingkan dengan Undang-Undang Pasar Modal yang sebelumnya (Undang-undang Nomor 15 Tahun 1952 tentang penetapan Undang-undang Darurat tentang Bursa), terutama terkait sanksi pidana. Yakni dengan ancaman pidana yang bervariasi, dari ancaman 10 tahun penjara (Pasal 104 dan Pasal 106 ayat 1), kemudian 5 tahun penjara (Pasal 103 ayat 1), 3 tahun penjara (Pasal 106 ayat 2 dan Pasal 107), dan 1 tahun kurungan (Pasal 103 ayat 2, Pasal 105, Pasal 108 dan Pasal 109). Yang dimana pengaturan terkait pidana terhadap praktik Insider trading itu sendiri pada umumnya diancam dengan hukuman pidana terberat, yaitu maksimum 10 tahun (Pasal 104).
- Melipatgandakan dan memperluas kewenangan Bapepam (saat ini OJK) sebagai ujung tombak penerapan sanksi-sanksi pidana ini.
Namun penegakan hukum dan penerapan sanksi-sanksi terhadap pelaku Insider Trading baru dapat diwujudkan apabila pihak penegak hukum mau bersungguh-sungguh untuk menegakkan aturan yang ada di Pasar Modal, dalam arti mempunyai political will, integritas dan komitmen yang kuat untuk menegakkan aturan berlaku.[11] Ketidakseriusan aparatur penegak hukum dalam mendukung penegakan hukum dapat terbaca pada salah satu contoh kasus Insider Trading yang terjadi pada lantai bursa, yaitupada kasus perdagangan saham BMU[12]. Singkatnya, penjualan saham BMU yang dilakukan oleh Direkturnya LYS sejumlah 150.000 saham dan PT. Sumatra Central Prima (LYS sebagai Komisaris pada PT. Sumatra Central Prima) selaku salah satu Pemegang Saham Utama BMU pada kurun waktu tanggal 8 s/d 9 April 1996. Pada tanggal 9 April 1996, 2 perusahaan asing yaitu Castlemere Enterprise Ltd. dan Duncanmill Holdings Inc., telah melakukan pembelian saham BMU melalui BEJ sejumlah 33.698.000 saham. Pada kurun waktu tanggal 1 s/d 9 April 1996, terjadi loncakan kenaikan harga saham dari harga terendah sebesar Rp1.375,- menjadi Rp2.700, yaitu peningkatan sebesar 96,4 persen dalam 6 hari bursa. Duncanmill Holdings Inch. Yang diwakili kepentingannya oleh AG, pada tanggal 10 s/d 15 April 1996 dan tanggal 23 April 1996 telah melakukan transaksi saham sebesar 18.004.000 saham (16,5 persen). Perdagangan saham luar biasa tersebut terjadi tanpa ada pernyataan dari BMU kepada masyarakat terkait ada atau tidaknya peristiwa atau kejadian yang bersifat materiel. Bapepam pada saat itu menemukan praktik Insider Trading dalam transaksi yang dilakukan PT. Sumatra Central Prima (diwakili oleh JK), yaitu oleh karena jabatannya LYS sebagai komisaris PT. Sumatra Central Prima dan Direktur BMU. Unsur Insider Trading telah terpenuhi sebagaimana ketentuan pasal 95 UUPM, dan fakta material yang bersifat informasi non publik tersebut adalah penjualan saham BMU. Namun sayangnya terhadap kasus tersebut Bapepam tidak menetapkan sanksi Insider Trading berdasarkan pasal 104 UUPM melainkan sanksi berdasarkan Pasal 61 dan 64 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1995 tentang penyelenggaraan kegiatan di bidang pasar modal dengan pemberian sanksi administratif sebesar Rp. 500 Juta Kepada PT. Sumatra Central Prima. Dengan alasan bahwa jumlah saham yang ditransaksikan itu “tidak material”.
Kasus tersebut di atas dapat mencerminkan belum adanya keseriusan aparatur penegak hukum di dalam mendukung penegakan hukum kejahatan Insider Trading yang terjadi di lantai bursa. Padahal, melihat kepada praktik Insider trading itu sendiri yang pada umumnya diancam dengan hukuman pidana terberat, yaitu maksimum 10 tahun penjara dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) (Pasal 104). Sudah seharusnya aparat penegak hukum dapat menerapkan ancaman pidana sebagaimana pengaturan dalam Pasal 104, serta membuat mekanisme yang menjamin bahwa penyelesaian masalah secara administratif tidak menghilangkan tindak pidana yang dibuat dan vonis atas kasus semacam itu tetap bersifat pidana, meskipun sanksinya bersifat administratif seperti denda, bukan kurungan dan denda. Dengan demikian, maka dengan tidak hilangnya tindak pidana diharapkan dapat membuat efek jera sehingga ruang pelaku di kemudian hari bisa dipersempit.[13]
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Insider Trading merupakan bentuk kejahatan yang tersebar secara luas dan sulit untuk dibuktikan. Hal ini disebabkan oleh karena pengaturan hukum terkait praktik Insider Trading yang belum memadai sehingga pada praktiknya dapat menimbulkan celah hukum yang disalahgunakan oleh para pelaku Insider Trading, keterbatasan cakupan UUPM oleh karena masih diberlakukannya teori fiduciary duty, serta sikap dari aparatur penegak hukum yang belumjuga mencerminkan dukungannya dalam mengungkap kasus Insider Trading. Hal itu dengan melihat kepada kasus dugaan Insider Trading yang pernah terjadi di Pasar Modal Indonesia seperti Kasus PT. Semen Gresik Tbk (SMGR), Kasus PT. Bank Central Asia (BBCA), Kasus PT. Indosat Tbk (ISAT), Kasus PT Bumi Recources Tbk (BUMI), Kasus PT Bhakti Investama Tbk (BHIT), dan Kasus PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS). Ketiga alasan tersebut sudah seharusnya untuk segera dibenahi, mengingat Insider Trading dapat menimbulkan kerugian yang begitu banyak dan meluas akibatnya, serta mencederai moralitas pasar yang sangat menjunjung tinggi prinsip keterbukaan, di mana semua pihak wajib untuk bertindak transparan di Pasar Modal. Tidak dapat dipungkiri bahwa praktik Insider Trading juga terjadi pada lantai bursa di negara-negara maju. Namun, yang membedakannya ialah pada negara maju tidak sedikit kejahatan Insider Trading telah berhasil dilakukan pengungkapan, dan bahkan atas perbuatannya tersebut dapat dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan. Oleh sebab itu pula, maka dirasa sudah waktunya Indonesia melihat bagaimana pengaturan yang diberlakukan dan bagaimanakah dalam menangani kejahatan Insider Trading di negara lain. Adapun salah satu contoh yang dirasa dapat memberikan perubahan besar dalam penegakan hukum terhadap kejahatan Insider Trading di Indonesia adalah dengan mengadopsi misappropriation theory, yang mana teori tersebut merupakan salah satu kunci alternatif keberhasilan dari OJK yang belum berhasil melakukan pengungkapan kasus-kasus dugaan Insider Trading dikarenakan kesulitan dalam membuktikan terjadinya Insider Trading tersebut. Untuk maksud itu tidak ada salahnya jika OJK dapat melakukan studi banding ke negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, Hongkong dan lainnya dalam upaya mempelajari bagaimana mengatur dan menegakannya. Hal ini menjadi penting, karena tradisi industri Pasar Modal di negara-negara tersebut telah lama berlangsung dibandingkan dengan yang di Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan studi perbandingan tersebut, maka nuansa baru dalam pengaturan Insider Trading di Pasar Modal akan dapat menumbuhkan kepercayaan para investor luar negeri untuk bergairah menanamkan modalnya di Indonesia. (***)
Referensi:
[1] Sudirman, Pasar Modal dan Manajemen Portofolio (Gorontalo: Sultan Amai Press, 2015), hlm. 3.
[2] Indonesia Stock Exchange, IDX Statistics 2020, hlm. 210
[3] Bismar Nasution, “Insider Trading” (Online), tersedia di WWW: https://bismarnasution.com/insider-trading/ (11 Januari 2021).
[4] Hamud M Balfas, Hukum Pasar Modal Indonesia (Jakarta : Tata Nusa, 2006), hlm 455-458
[5] Indonesia, Undang-Undang Tentang Pasar Modal, Penjelasan Pasar 95.
[6] Perusahaan Efek adalah pihak yang telah mendapatkan izin dari OJK untuk melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek (Broker-Dealer), Penjamin Emisi Efek (Underwriter), dan Manajer Investasi. Perusahaan Efek dapat melakukan salah satu kegiatan usaha namun dapat juga melakukan ketiganya bersamaan tergantung dari kemampuan permodalan dan kesiapan sumberdaya perusahaan tersebut.
[7] Najib A. Gisymar, “Insider Trading dalam Transaksi Efek”, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 74.
[8] Bismar Nasution, “Pertanggungjawaban Direksi dalam Perspektif Business Judment Rule” (Online), tersedia di WWW: https://bismarnasution.com/pertanggungjawaban-direksi-dalam-persfektif-business-judment-rule/ (17 Juli 2021).
[9] Najib A. Gisymar, Op. Cit., hlm. 42.
[10] Elis Herlina, “Tinjauan Tentang Insider Trading Sebagai Kejahatan Di Bidang Pasar Modal”, Majalah Ilmiah Bulanan Kopertis Wilayah IV, Tahun XXI No. 3 Oktober 2008. hlm. 12.
[11] Ibid.
[12] Bismar Nasution, “Insider Trading” (Online), tersedia di WWW: https://bismarnasution.com/insider-trading/ (11 Januari 2021).
[13] Elis Herlina, Op. Cit., hlm. 18.
dan SUWARDI adalah mahasiswa Jurusan Hukum Bisnis BINUS (NIM 2201759136).
Published at :