DEFAULT OBLIGASI, SIAPA YANG HARUS BERTANGGUNG JAWAB ?
Oleh AGUS RIYANTO (Juli 2021)
Di Pasar Modal, salah satu instrumen pilihan investor (disamping saham) adalah obligasi. Dipilihnya obligasi, karena memiliki beberapa keuntungan seperti pertama, memberikan pendapatan tetap berupa kupon (tingkat suku bunga atau pendapatan atas pembelian obligasi, dibayarkan pada setiap semesteran atau triwulan), dimana pemegang obligasi akan mendapatkan pendapatan berupa bunga secara rutin selama berlaku obligasi. Kedua, keuntungan atas penjualan obligasi atau yang disebut capital gain yang diperoleh investor ketika pemegang obligasi menjual obligasi lebih tinggi dari harga beli pada saat penawaran perdana. Di samping itu pemegang obligasi juga dapat memperjualbelikan obligasi yang dimilikinya secara lebih leluasa. Ketiga, mendapatkan jumlah dana tambahan dari publik yang lebih fleksibel dibandingkan instrumen lain. Dengan menerbitkan obligasi, perusahaan diharapkan mendapatkan tambahan penggalangan dana yang disesuaikan dengan kebutuhanya. Dibandingkan mengajukan pinjaman dana ke bank, besaranya pinjaman disesuaikan dengan nilai jaminan yang dimiliki perusahaan. Dengan obligasi, perusahaan juga lebih fleksibel menentukan besar kecilnya dana yang dibutuhkan sesuai dengan kemampuan pasar yang ada dalam menyerap penerbitan obligasi, serta kemampuan penjamin emisi di dalam menerbitkan komitmen jumlah penerbitan obligasi. Keempat, mendapatkan pinjaman dengan tingkat suku bunga lebih kompetitif. Hal ini ditentukan atas dasar kemampuan keuangan perusahaan serta memperhatikan kondisi tingkat suku bunga di perbankan. Apabila menerbitkan obligasi, maka proses penentuan di tingkat suku bunganya relatif fleksibel sesuai dengan kemampuan dari penerbit obligasi. Kelima, mendapatkan alternatif pembiayaan melalui Pasar Modal. Hal ini karena obligasi itu sendiri termasuk jenis utang jangkanya panjang. Perusahaan yang kesulitan mencari pendanaan melalui Bank dapat menerbitkan obligasi, melalui Pasar Modal, dengan harapan memperoleh dana segar sesuai dengan yang dibutuhkan dan dana obligasi yang didapatkannya akan kemudian diinvestasikan (dalam arti digunakan) kembali dalam jangka waktu yang lebih lama lagi dengan tujuan untuk dapat mengembalikan kembali dananya kepada pembeli obligasi (obligor).
Namun demikian, dalam perjalannya tidak semua (dalam arti keuntungan atau nilai positif) yang diperjanjikan obligasi dapat berjalan seiring dengan harapan. Artinya, terbuka kemungkinan saja terjadi kegagalan yang dapat merugikan publik (sebagai kreditor) yang telah menginvestasikan dana yang dimilikinya dan mempercayakan kepada perusahaan yang telah menerbitkan obligasi (sebagai debitur) dalam jumlah yang cukup besar. Hal ini mengandung arti bahwa disamping keuntungan yang akan diperoleh pemegang obligasi, juga terdapat kerugian bagi pemegang obligasi disaat perusahaan (yang telah menerbitkan obligasi) tidak mampu lagi membayar kupon obligasi terlebih-lebih lagi mengembalikan pokok obligasi. Ketidakmampuan dalam membayar kewajibannya tersebut dikenal dengan istilah “default” atau “gagal bayar” untuk dapat menggambarkan suatu keadaan dimana seorang debitur tidak dapat lagi memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian utang piutang yang dibuatnya, misalnya tidak dapat atau tidak mampu melakukan pembayaran angsuran atau pelunasan pokok utangnya sesuai dengan kesepakatannya, termasuk melakukan pelanggaran atas persyaratan kredit sebagaimana yang telah diatur dalam kontrak. Hal ini patut dipertanyakan, karena pembeli obligasi telah mempercayakan dananya, tetapi yang terjadi adalah kondisi gagal bayar, sehingga yang masalahnya siapa yang harus bertanggung atau siapa yang dapat dimintakan tanggung-jawabnya jika gagal bayar itu terjadi pada instrumen investasi obligasi ini?
Kondisi gagal bayar dapat terjadi pada semua kewajiban utang, khususnya obligasi, tetapi termasuk kredit pemilikan rumah, pinjaman perbankan, surat sanggup bayar, medium term notes dan lain-lain perjanjian yang bersifat utang. Hal ini karena, obligasi adalah bukti pengakuan berutang dari perusahaan. Obligasi pada prinsipnya adalah bukti atas suatu prestasi dari penerbit kepada pemegangnya, hal ini disimpulkan bahwa antara penerbit dan pemegang obligasi terdapat suatu perikatan. Dengan ilustrasi demikian ini penjual mempunyai kewajiban berprestasi untuk menyerahkan barang yang dijualnya kepada pembeli. Demikian pula pihak dengan peminjam uang mempunyai kewajiban berprestasi untuk dapat mengembalikan jumlah yang telah dipinjamkan kepada pihak kreditur. Keuntungan pemegang obligasi (obligor) adalah orang yang memang berhak untuk menerima pembayaran bunga obligasinya yang tercatat di dalam daftar rekening yang dikeluarkan oleh Badan Administrasi Efek (BAE) pada 4 (empat) hari bursa sebelum tanggal pembayaran bunga obligasi, apabila terjadi keterlambatan pelunasan pokok obligasi maupun juga bunga obligasi, pemegang obligasi berhak untuk dapat menerima hak berupa pembayaran denda. Pemegang obligasi adalah orang yang berhak menerima pelunasan bunga obligasi dari perseroan yang dibayarkan melalui KSEI (Kustodian Sentral Efek Indonesia) sebagai agen pembayaran. Hak pemegang obligasi telah tertera dengan jelas dalam prospektus perseroan yang menerbitkannya dan diatur di dalam setiap Perjanjian Perwaliamanatan (PWA). Sedangkan, yang menjadi kewajiban pemegang obligasi lebih ditekankan dan lebih diserahkan kuasa kepada Wali Amanat (WA) yang mana bertanggung-jawab kepada pemegang obligasi, termasuk juga mewakili kepentingan pemegang obligasi baik di dalam maupun di luar pengadilan. Tugas pokok dari WA adalah mewakili kepentingan pemegang obligasi baik itu di dalam maupun di luar pengadilan mengenai pelaksanaan hak-hak pemegang obligasi sesuai dengan syarat-syarat emisi, dengan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam PWA serta dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya peraturan bidang Pasar Modal dan ketentuan/peraturan KSEI mengenai obligasi. Artinya, hak-hak pemegang obligasi menjadi titik utama tugasnya dari Wali Amanat harus menjadi fokus utamanya adalah untuk melindungi dan memperjuangkan hak-haknya sebagai dasar dan pedoman Wali Amanat.
Untuk dapat memberi gambaran hak dari pemegang obligasi diantaranya adalah 1). mendapatkan pelunasan awal dari seluruh pokok obligasi yang berasal dari Emiten melalui Wali Amanat, dimana pelaksanaan pembayaran pokok dilakukan melalui KSEI sebagai agen pembayaran. 2). mendapatkan pemberitahuan mengenai jumlah obligasi yang masih terhutang setelah adanya pelunasan pokok obligasi dalam 2 (dua) surat kabar yang berbahasa Indonesia yang beredar dalam skala nasional selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja sejak tanggal pembayaran untuk pelunasan pembayaran. 3). berhak atas bunga obligasi adalah pemegang obligasi yang namanya tercatat dalam Daftar Pemegang Rekening dalam waktu 4 (empat) pada hari kerja sebelum tanggal pembayaran bunga. 4). mendapatkan pembayaran atas pokok obligasi serta bunga obligasi yang wajib dibayarkan oleh Emiten berdasarkan Perjanjian Perwaliamanatan. 5). apabila terjadi kelalaian dalam pelunasan pokok obligasi atau pembayaran bunga obligasinya. Pemegang Obligasi berhak untuk menerima pembayaran denda atas setiap kelalaian pembayaran tersebut sebesar 3% (tiga persen) pertahun diatas tingkat suku bunga obligasi yang berlaku. 6). Seorang atau lebih pemegang obligasi yang mewakili sedikitnya 20% (duapuluh persen) dari jumlah pokok obligasi terhutang yang pada waktu itu belum dapat diuangkan dapat mengajukan permintaan tertulis kepada Wali Amanat agar diselenggarakan RUPO. Terdapatnya ketentuan ini berlaku untuk suatu perseroan yang hendak melakukan penerbitan obligasi diwajibkan telah memiliki perjanjian perwaliamanatan. Pasal 52 Undang-undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995 (UUPM) mengatur “Emiten dan Wali Amanat wajib membuat kontrak perwaliamanatan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BAPEPAM (sekarang OJK)”.
Kewajiban terdapatnya PWA itu adalah karena dalam perjanjian menghasilkan akan suatu prestasi, dimana menurut Pasal 1234 KUH Perdata bahwa tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, ataupun untuk tidak berbuat sesuatu, sehingga apabila tidak memberikan sesuatu, tidak berbuat sesuatu, atau melakukan sesuatu diluar yang diperjanjikan maka dikatakan sebagai wanprestasi. Dalam praktek, terminologi wanprestasi yang lebih dikenal sebagai “default” dapat disejajarkan dengan wanprestasi yang diatur Pasal 1238 KUH Perdata menyatakan bahwa “Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Untuk itu, pada saat seorang debitur berada dalam keadaan lalai maka diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata. Debitur dianggap lalai, apabila dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu telah dinyatakan lalai karenanya, atau demi perikatannya sendiri ialah apabila menetapkan, bahwa debitur harus dianggap telah lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Pernyataan lalai adalah upaya hukum dengan mana kreditur telah memberitahukan, menegur, memperingatkan debitur saat selambat-lambatnya ia wajib memenuhi prestasi dan apabila saat itu dilampaui, maka debitur dianggap telah lalai. Berdasar teori wanprestasi (“default”), suatu perseroan dapat dianggap telah terjadi “default” apabila perseroan tersebut tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan, melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan; dan melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; atau melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Suatu perseroan yang telah melakukan emisi bond (penerbitan obligasi) dianggap “default” maka para pemegang obligasi berhak untuk meminta kepada Wali Amanat yang telah ditunjuk untuk dapat mewakili kepentingan dari pemegang obligasi untuk meminta diadakannya Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO). RUPO dapat dimungkinkan terjadi bila terjadi “default”, perubahan pembatasan yang terdapat di dalam Perjanjian Perwaliamanatan (PWA), dan apabila terjadi perubahan dana dilakukan sesuai dengan Peraturan BAPEPAM No.X.K.4 mengenai Perubahan Penggunaan Dana Hasil Penerbitan Obligasi. Dalam hal suatu perseroan dianggap lalai, maka akan mempunyai akibat hukum. Penerbit obligasi (Emiten) dikatakan lalai atau cidera janji atas janji yang terdapat dalam PWA apabila melakukan hal sebagai berikut : Perseroan lalai dalam membayar pokok dan atau bunga, atau kewajiban lain yang terdapat dalam PWA, Perseroan lalai dalam melaksanakan atau tidak menaati dan atau melanggar ketentuan dalam PWA atau perjanjian-perjanjian lain yang dibuat berkenaan dengan penerbitan obligasi, Pernyataan dan jaminan perseroan mengenai keadaan status perseroan dan atau keuangan perseroan atas pengelolaan usaha perseroan tidak sesuai dengan kenyataan atau dibuat dengan tidak benar adanya, Perseroan bubar karena sebab apapun atau dinyatakan pailit, kecuali kondisi yang disepakati, Terjadinya cidera janji pada suatu perjanjian utang yang dibuat perseroan atau jumlah hutang perseroan yang telah ada sekarang atau yang akan ada di kemudian hari, Perseroan karena sebab apapun menurut pendapat Wali Amanat tidak mampu lagi mengurus atau menguasai sebagian atau seluruh harta kekayaan, Hak ijin dan persetujuan lain dari pemerintah dibatalkan karena dianggap tidak dapat dilanjutkan usahanya, Perseroan berdasarkan perintah dari Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap harus membayar sejumlah dana kepada pihak ke III yang bila dibayar akan mempengaruhi secara material jalannya usaha perseroan dan kewajiban ini tidak diselesaikan dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan pengadilan tersebut, Perseroan tidak dapat memenuhi kewajibannya berdasarkan PWA serta perjanjian atau dokumen lainnya yang dibuat atau diterbitkan dengan emisi obligasi, Karena suatu pihak yang berwenang atas dasar ketentuan hukum yang berlaku telah menyita atau merampas dengan cara apapun juga atas semua atau sebagian dari harta benda milik perseroan tidak dapat menjalankan seluruh usaha atau sebagian usahanya yang esensial.
Dengan berpegang kepasa hal-hal tersebut di atas menunjukkangagal bayar (default) telah menjadi momok yang menakutkan di kalangan Pasar Modal. Kekhawatiran ini dipicu oleh banyak dan juga terdapatnya Emiten yang tidak memiliki jaminan yang pasti. Namun, demikian obligasi tetap menjadi penawar air dahaga dalam rangka pengumpulan dana dari masyarakat. Hal ini, dikarenakan beberapa keuntungan dalam menerbitkan obligasi yaitu tingkat bunga yang lebih rendah dari bunga kredit perbankan, dengan jumlah yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan. Sehingga banyak perseroan yang berlomba-lomba dalam menerbitkan obligasi. Sebagai investasi jangka panjang, dengan tingginya permintaan obligasi korporasi menunjukan adanya kepercayaan dari investor terhadap kemampuannya korporasi nasional, namun kepercayaan tersebut haruslah diiringi dengan suatu kehati-hatian, karena kepercayaan tanpa disertai dengan kehati-hatian akan menuai bencana dalam hal pelunasan pokok maupun bunga oleh Emiten. Wabah default semakin terjadi dikarenakan ada pihak yang gagal bayar atau gagal dalam memenuhi kewajibannya mendapatkan kembali fasilitas perpanjangan waktu pembayaran. Tanpa penanganan yang tegas, gejala-gejala default akan menimbulkan insentif bagi pihak yang masih berusaha untuk menaati kewajiban financial untuk mengikuti perseroan lain yang terlebih dahulu mengeluarkan pernyataan default tersebut. Sehingga, diperlukannya suatu regulasi mengenai obligasi korporasi, jika mengacu kepada Undang-undang Pasar Modal dan Peraturan Bapepam mengenai Penawaran Umum Obligasi kurang mengakomodir, diperlukannya sangsi yang tegas bagi Emiten nakal, sehingga tidak mudah bagi Emiten mengeluarkan pernyataan bahwa cidera janji, dan memberikan perlindungan kepada pemegang obligasi sebagai investor. Pemegang obligasi adalah kreditur, dilihat dari konstruksi tersebut maka sebagai kreditur, Pemegang Obligasi berhak mendapatkan pelunasan awal. Demi memenuhi rasa keadilan, adalah adil apabila pihak diluar perseroan mendapatkan pelunasan terlebih dahulu, juga untuk diperkuat dengan prospektus perseroan yang bersangkutan. Dengan adanya kasus-kasus perseroan yang terancam atau bahkan sudah gagal bayar (default) masyarakat dapat menyorot peran otoritas pasar modal, salah satunya Bursa Efek Indonesia, dimana BEI adalah tempat diperdagangkan obligasi tersebut. Selain dari BEI, PT. PEFINDO (PT. Pemeringkat Efek Indonesia) harus lebih jeli dan tegas dalam memberikan peringkat efek, karena pemeringkatan itu jelaslah akan mencerminkan kemampuan jangka panjang. Seharusnya sebelum semua terjadi bagaikan benang kusut akan lebih baik apabila OJK sebagai insitutusi yang mengawasi Pasar Modal memberikan sangsi-sangsi yang tegas sehingga kasus-kasus perseroan gagal bayar semacam ini tidak terulang kembali. Sedangkan, Emiten adalah wajib memberikan keterbukaan informasi kepada Pemegang Obligasi segala hal yang terkait dengan kinerja perseroan dan segala hal yang berpotensi mengganggu pembayaran pokok maupun bunga obligasi. Emiten yang melakukan issue bond (menerbitkan obligasi) harus memperhatikan hal-hal diatas sehingga tidak kehilangan kepercayaan para Pemegang Obligasi dikarenakan terlambatnya memberikan informasi, yang dapat menyebabkan kesalahpahaman yang akan membawa dampak negatif. Penutup bagi para Pemegang Obligasi, harus hati-hati dan cermat dalam memilih obligasi, selalu mengkritisi peringkat efek yang diberikan, Pemegang Obligasi adalah juga berhak melakukan gugatan apabila Emiten dianggap tidak menepati janji yang diberikan pada saat penerbitan obligasi. Dengan kerangka dasar yang demikian ini maka pasar obligasi korporasi diharapkan dapat semakin maju dan berkembang ke depannya.
Pada akhirnya, obligasi adalah kontraktual yang di dalamnya memuat suatu “janji” (yang tentunya harus ditepati) dimana salah satu pihak atau penerbit (principal), baik swasta maupun pemerintah, berjanji untuk membayarkan utang pokoknya pada waktu tertentu kepada pemegang obligasi plus beserta kupon sebagai bunganya, pada saat yang telah tanggal jatuh tempo sebagai bagian pembayaran obligasi. Untuk itulah, apabila terjadi default atau gagal bayar dengan sendirinyalah yang harus dan mau bertanggung-jawab adalah perusahaan yang menerbitkan obligasinya. Hal ini sebagai kewajiban yang harus dipenuhi untuk menjalankan dan memenuhi janji-janji yang telah dituangkan dalam prospektus. Janji itu tidak untuk diingkari, tetapi wajib untuk selalu ditaati sebagai kepercayaan yang telah diterimanya. (***)
Referensi :
- Sapto Rahardjo, Panduan Investasi Obligasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.
- Jaka E. Cahyana, Langkah Taktis Metodis Berinvestasi di Obligasi, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2004.
Published at :