HUKUM ACARA DAPATKAH DITAFSIRKAN?
Oleh SHIDARTA (Juli 2021)
Ada topik menarik yang muncul dalam diskusi kelompok terpumpun (FGD) penyusunan standar materi pembinaan ideologi Pancasila bagi hakim yang diinisiasi oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pada tanggal 21 Juni 2021 yang lalu. Topik ini bermula dari rencana sistematika buku materi yang memuat kasus-kasus yang dapat memicu refleksi etis dari para hakim. Saya mengusulkan pada saat itu, agar kasus-kasus ini bisa dirancang sedemikian rupa sehingga bisa menyemangati para hakim yang bakal ikut sebagai peserta lokakarya, penyegaran, atau apapun nama programnya nanti. Tentu ini bukan tugas mudah dan saya sendiri tidak berpretensi mampu membuatnya.
Saya tiba-tiba saja ingin memberi contoh. Saya teringat satu contoh yang saya ambil dari paparan Hakim Bismar Siregar ketika beliau menjadi dosen tamu saat saya kuliah dulu di sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Ia bercerita bahwa pada suatu ketika ada seseorang yang datang ke pengadilan untuk mendaftarkan upaya hukum banding atas kasus perdata yang sudah diterima putusannya dari pengadilan tingkat pertama. Hukum acara menentukan bahwa permohonan banding dapat diajukan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan diucapkan, atau setelah diberitahukan (dalam hal putusan tersebut diucapkan di luar hadir). Persoalannya, orang ini mendaftarkan upaya hukumnya pada hari ke-15. Orang ini menunjukkan dengan jelas alasan mengapa ia sampai terlambat satu hari, yaitu karena ia harus menempuh perjalanan panjang. Ia datang dari pulau terpencil di salah satu desa yang lumayan jauh dari ibukota kabupaten. Sudah lazim diketahui di sana bahwa perjalanan dengan kapal kecil seperti yang ditempuhnya itu sangat bergantung pada keramahan cuaca. Dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, ia juga tidak dapat menghubungi orang lain, terlebih kuasa hukum, untuk dapat membantunya. Problematika etisnya adalah: bagaimana seorang aparat penegak hukum di pengadilan di daerah seperti itu harus menyikapi kejadian ini? Memproses pendaftaran upaya hukumnya atau langsung menolaknya begitu saja dengan alasan keterlambatan?
Nah, terkait dengan format penyusunan suatu materi diskusi, apakah boleh ditampilkan kasus-kasus dilematis bagi para hakim yang membuat mereka harus merenungi pilihan sikap untuk: (1) tunduk patuh pada ketentuan hukum acara dengan konsekuensi mencederai rasa keadilan (terlepas apapun definisi keadilan itu); atau (2) terpaksa harus melanggar hukum acara demi memberi ruang keadilan substantif bagi pihak tertentu yang tidak diuntungkan pada kondisi tertentu?
Dalam pelajaran etika, kita paham benar bahwa suatu diskusi tentang etika baru akan terpicu apabila kita berhasil memancingnya melalui kasus-kasus yang mengandung dilema moral. Jawaban atas kasus-kasus dilematis seperti itu bukan jawaban benar-salah. Semua pilihan sikap pasti ada pembenaran logisnya. Kita ketahui, misalnya, ada etika deontologis yang berpegang pada aturan atau tolok ukur perilaku. Ada etika teleologis yang berpegang pada kemanfaatan. Ada pula etika situasi yang berada di antara keduanya. Bagi penganut etika deontologis, ketaatan pada aturan adalah segalanya. Baginya, kepastian demikian adalah keadilan juga, walaupun lebih layak disebut sebagai keadilan prosedural. Namun, bagi penganut etika teleologis, posisi sikapnya bisa berbeda. Nah, justifikasi dari suatu pilihan sikap secara moral itulah yang ingin digali di dalam diskusi. Justifikasi itu bisa sangat mendalam menyentuh nilai-nilai yang lebih hakiki, dan tidak tertutup kemungkinan pula, bisa dielaborasi lebih jauh sampai kepada nilai-nilai Pancasila.
Namun, maksud tulisan pendek ini tidak ingin larut-hanyut ke arah sana. Tulisan ini ingin kembali ke pertanyaan awal sebagaimana tertulis di dalam judul tulisan ini: apakah hukum acara itu dapat ditafsirkan?Pertanyaan ini sangat mendasar dan pernah menjadi polemik dalam sidang kasus praperadilan Budi Gunawan dengan hakim Sarpin Rizaldi pada tahun 2015. Saya sendiri pernah menulis artikel pendek tentang hal ini, yang tautan aksesnya saya cantumkan pada akhir tulisan ini.
Jawaban atas pertanyaan dalam judul di atas berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat karena beberapa sebab. Saya akan membatasinya pada dua penyebab.
Penyebab pertama adalah karena konsep-konsep yang terkandung di dalam pertanyaan itu, yaitu konsep hukum acara dan konsep penafsiran, belum disepakati dulu maknanya.
Sebagian pegiat hukum memahami hukum acara (hukum formal; hukum prosedural) sekadar sebagai aturan main (rule of the game) yang wajib ditegakkan tanpa perlu dipertanyakan lagi mengapa harus demikian. Dalam bahasa Belanda cara berpikir seperti ini disebut schaakdenken (logika catur). Dalam permainan catur kita tidak perlu mempertanyakan mengapa kuda harus berjalan seperti huruf L. Jawaban singkatnya, “Ya, sudah demikianlah aturannya!” Namun, bagi para pemikir filsafat, setiap norma, termasuk norma di dalam hukum acara, tidak pernah absen dari kandungan nilai-nilai. Aturan main atau aturan formal di dalam penegakan hukum harus didesain dengan sangat hati-hati. Artinya, pembuatan norma hukum acara harus dalam rangka menegakkan hukum material. Jika salah membuat aturan main, yang terjadi justru memunculkan penegakan hukum yang tidak fair. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila filsuf besar seperti Lon L. Fuller sangat serius menekankan aspek moral di dalam hukum acara. Menurut Fuller, hukum itu mengandung moralitas dalam (inner morality) dan moralitas luar (outer morality). Moralitas dalam ini tidak boleh sampai dilanggar karena moralitas tersebut memuat apa yang disebutnya “minimal morality of fairness”. Dalam kaitan dengan itulah Fuller kemudian mengemukakan delapan prinsip legalitas. Salah satunya ia mengatakan bahwa hukum genuine haruslah memungkinkan untuk ditaati (possible to obey). Apabila ada norma hukum (termasuk hukum acara yang dibuat sebagai aturan main), namun tidak memungkinkan untuk ditaati pada suatu kondisi tertentu, maka bagi Fuller hal itu sudah bertentangan dengan moralitas dalam. Itu tidak lagi menggambarkan hukum yang genuine.
Jadi, konsep tentang hukum acara ini harus dipahami dengan tidak melepaskan diri dari nilai-nilai yang diembannya. Ia bukan norma blanko yang bisa diisi apa saja. Hukum acara dibuat pasti dengan iktikad baik untuk menjamin adanya fairness itu. John Rawls mengatakan keadilan itu adalah fairness, tetapi harap dicatat bahwa Rawls tidak mengunci fairness dengan teks undang-undang. Ia memperkenalkan juga adanya prinsip perbedaan perlakuan (difference principle), yakni apabila suatu teks ternyata membawa ketidakberuntungan bagi orang-orang tertentu. Hukum harus melindungi orang-orang yang terpinggirkan oleh hukum itu tadi. Bahkan, jika sampai hukum tidak mampu melindungi mereka, Rawls membuka pintu bagi mereka untuk melakukan pembangkangan (disobedience).
Oleh sebab itu, ketika bicara tentang fairness secara prosedural, maka ia tidak boleh tersandera oleh kata-kata secara bahasa. Dari titik ini, kita dapat masuk ke perdebatan tentang konsep kedua yang juga penting untuk ditelisik, yaitu konsep “penafsiran”.
Kata “penafsiran” juga memicu perdebatan tentang apa maksudnya secara konseptual. Jika kita mengatakan bahwa hukum acara itu sebagai tidak bisa lagi ditafsirkan, maka apakah membaca suatu pasal tentang hukum acara itu bukan merupakan penafsiran juga? Tegasnya lagi, apakah penafsiran gramatikal itu adalah penafsiran juga? Pertanyaan terakhir ini mengandung tautologi karena jika ia dinamakan “penafsiran gramatikal” maka tentu ia harus digolongkan sebagai “penafsiran”.
Boleh jadi pernyataan di atas bakal dibantah. Untuk itu kita dipersilakan menyimak bunyi Pasal 1342 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. R. Subekti dan Tjitrosudibio menerjemahkan pasal ini dengan kata-kata “jika kata-kata suatu persetujuan jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang dari padanya dengan jalan penafsiran”. Dengan hanya membaca kalimat ini, kita akan tedorong untuk buru-buru sampai pada kesimpulan bahwa ternyata penafsiran gramatikal itu bukanlah penafsiran. Kata “penafsiran” dalam pasal ini diambil dari kata bahasa Belanda “uitlegging”. Padahal kata kerja “uitleggen” sendiri berarti “menjelaskan” (to explain). Dengan demikian, Pasal 1342 KUH Perdata itu dapat dipahami menjadi: “jika kata-kata di dalam suatu perjanjian sudah jelas maksudnya, maka dilarang untuk dijelaskan lagi secara menyimpang (berbeda) daripada maksud kata-kata itu.”
Lalu, kembali lagi: apakah hukum acara dapat ditafsirkan? Jawabannya tentu bergantung pula pada pemahaman kita atas kata “tafsir” itu sendiri. Apabila kita memahami penafsiran gramatikal adalah juga penafsiran, maka dengan membaca teks ketentuan suatu pasal, seharusnya hal itu sudah masuk ke wilayah penafsiran.
Teks yang mengatakan bahwa upaya banding diberi waktu 14 hari setelah putusan diucapkan, merupakan kata-kata yang sudah jelas maksudnya secara gramatikal. Tentu 14 hari di sini tidak boleh dimaknai sebagai bukan 14 hari. Secara gramatikal, hukum acara akan berhenti sampai di sini. Teks adalah teks. Namun apakah kita tidak ingin merelasikan teks itu dengan konteksnya? Paul Scholten mengatakan, “Het recht is er, doch het moet worden gevonden.” Secara bebas kita bisa mengartikan ucapan Scholten ini dengan kata-kata: Hukumnya memang secara tekstual sudah ada di sana, tetapi makna dari teks itu masih harus ditemukan; dan di dalam penemuan itulah akan didapatkan kebaruan maknawinya. Scholten tidak membedakan apakah hukum ini hukum acara atau hukum material. Semua teks hukum berlaku mengikuti pesan Scholten tersebut. Bacalah teks dengan merelasikannya pada konteksnya. Sebab, hakim adalah figur-figur yang menghadapi kasus konkret. Kasus-kasus itu adalah penyedia konteks bagi norma hukum. Kasus konkret adalah aktivator dari norma hukum. Dengan perkataan lain, hakim adalah pencari makna teks di dalam konteksnya. Oleh sebab itu, hukum acara jangan sampai diharamkan untuk ditafsirkan yaitu dengan tidak melepaskan relasi teks dari konteksnya. Betul, bahwa kehati-hatian sangat perlu dilakukan dalam proses penafsiran itu. Betul pula bahwa tidak setiap konteks harus diberi perlakuan istimewa. Itulah sebabnya juga hakim tidak harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding), terlebih-lebih menyangkut hukum acara, apabila tidak ada kebutuhan kontekstual untuk melakukannya.
Penyebab kedua adalah soal cara pandang. Ada sekelompok aparat penegak hukum, termasuk hakim, yang ingin berada di zona aman terkait penafsiran hukum acara. Bahkan, tidak sedikit hakim yang berpendapat bahwa tugasnya di pengadilan tingkat judex facti adalah untuk menegakkan undang-undang. Tindakan memberi tafsir di luar tafsir gramatikal, hanya bermain-main api saja. “Biarlah penemuan hukum itu ada di wilayah hakim agung,” kata seorang hakim yang pernah saya temui di sebuah acara lokakarya. “Kalau kami mencoba membuat tafsir baru, nanti malah dipanggil oleh Komisi Yudisial,” tambahnya lagi.
Tugas hakim jelas tidak sekadar membunyikan undang-undang secara tekstual. Alasan pertama, tentu karena hakim adalah manusia yang dilengkapi dengan kemampuan lebih daripada sekadar sebagai “mesin” pengeja teks. Alasan kedua adalah karena teks undang-undang itu sendiri dibuat bukan tanpa cacat. Baru-baru ini, misalnya saja, saya temukan sebuah peraturan pemerintah (PP No. 44 Tahun 2021) telah memberi durasi waktu pemeriksaan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di pengadilan niaga, yaitu paling cepat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan. Koridor waktu “paling cepat sampai paling lama” ini, mungkin karena pemeriksaan di pengadilan niaga itu kini tidak lagi sekadar pemeriksaan aspek formil melainkan juga aspek materiil atas fakta yang dimuat di dalam putusan KPPU. Pertanyaannya adalah: apakah dengan demikian pengadilan niaga selalu harus memeriksa aspek materiil ini pada setiap kasus (padahal dapat saja untuk kasus tertentu tidak ada kebutuhannya) dan kemudian menunggu sampai lewat waktu 3 bulan. Jika bisa selesai 2 bulan, mengapa harus diperpanjang sampai 3 bulan semata-mata demi mengikuti hukum acara? Jika dipaksa harus tetap paling cepat 3 bulan, bukankah ini justru melanggar asas peradlan sederhana, cepat, dan biaya ringan? Refleksi etis kita akan mandeg apabila kita kemudian bereaksi secara naif dengan mengatakan, “Ya, itulah risiko dari suatu undang-undang!”
Apa yang seharusnya dilakukan adalah mencari makna terdalam apa maksud dari ketentuan batas waktu paling cepat 3 bulan itu. Risiko apa yang ingin dicegah oleh undang-undang agar suatu putusan tidak diputus lebih pendek daripada waktu itu (sebaliknya, nilai-nilai apa yang ingin diraih dengan memberi waktu sampai minimal 3 bulan). Apabila faktor-faktor yang memunculkan risiko itu sudah bisa diatasi, lalu pertanyakan lagi: seberapa penting batas waktu itu masih harus dipegang teguh?
Demikianlah, di sisi lain kita juga melihat bahwa undang-undang pun telah mengamanatkan penyandang profesi hakim untuk menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Nilai-nilai yang hidup adalah nilai-nilai yang berasal dari pengalaman empiris. Pada setiap kepala putusan, hakim selalu mencantumkan irah-irah “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan bukan “Demi teks hukum positif”.
Apabila kita menelisik lebih jauh jenis-jenis norma, maka sebagian besar ketentuan hukum acara memuat norma primer atau norma perilaku (penjelasan tentang norma primer dan norma sekunder ini antara lain dapat dibaca dari tulisan J.J.H. Bruggink). Dari sini saja dapat diketahui bahwa norma perilaku yang memuat aturan main (prosedural) itu membutuhkan dukungan dari norma sekunder, seperti norma definisi, norma penilaian, norma kewenangan, dan seterusnya. Tanpa itu semua, norma perilaku tidak akan punya arah yang jelas dalam mencari jalan penyelesaian kasus-kasus konkret (kontekstual). Artinya, pembacaan suatu teks tidak boleh dilakukan secara parsial. Hubungan antara satu pasal dengan pasal lain selayaknya membentuk jalinan yang logis, yang jika ditelusuri, bakal sampai pada dimensi filosofisnya.
Cara pandang hakim yang komprehensif dalam membaca suatu teks undang-undang, termasuk hukum acara, menunjukkan preferensi sikapnya dalam menjalani profesi luhurnya itu. Pengujian terhadap sikapnya itu baru akan terasah pada kasus-kasus konkret yang memang menuntut perenungan etis, yaitu kasus-kasus yang menghadirkan dilema moral (hard case; penumbral case). Harap dicatat bahwa kasus-kasus kompleks seperti ini bakal menghadirkan materi yang a-logis (di mata penganut formalisme hukum), tetapi itulah tantangan bagi semua pengemban ilmu hukum untuk memprosesnya secara logis (rechtswetenschap is de logische verwerking van a-logisch materiaal).
Kasus-kasus kompleks pasti pernah menghampiri penyandang profesi hakim di dalam tugas keseharian mereka. Hal ini membuat profesi hakim, paling tidak sampai saat ini, tidak dapat tergantikan oleh entitas bukan manusia, terlepas entitas itu sudah dilengkapi dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence) sekalipun. Pertimbangan moral pada suatu kasus konkret adalah pertimbangan manusiawi yang dipengaruhi oleh konteks permasalahan yang unik dan berbeda terjadi pada tiap kasus. Pertimbangan-pertimbangan ini mungkin saja sekilas tidak logis atau bahkan sesat nalar (logical fallacies) tetapi justru dibutuhkan secara moral. Entitas kecerdasan buatan tidak dapat melakukannya karena ia tidak memiliki modalitas setinggi dan seluhur itu.
Jadi, apapun wujud hukumnya—apakah hukum acara atau hukum substansial—ia adalah teks yang terbuka untuk diberi penafsiran. Sekali lagi, sepanjang memang ada kebutuhannya untuk memberi makna yang berbeda dengan menyimpang dari teks. Dan, anomali tekstual itu harus pula dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Bila demikian halnya, maka seyogianya tidak ada keraguan bagi para hakim untuk melakukan penafsiran dengan bersandar pada kebutuhan kontekstual tersebut. (***)
Baca juga tulisan tentang topik serupa: TAFSIR HUKUM HAKIM SARPIN (Februari 2015)
https://business-law.binus.ac.id/2015/02/19/tafsir-hukum-hakim-sarpin/
Published at :