MENGAPA HARUS MENGADAKAN RUPS?
Oleh AGUS RIYANTO dan STEFANUS
Salah satu organ yang memiliki kedudukan terpenting di dalam Perseroan Terbatas (PT) adalah Rapat umum pemegang saham (RUPS). Hal ini, karena RUPS adalah organ atau bagian PT yang memiliki kewenangan yang “tidak diberikan” kepada Direksi maupun Dewan Komisaris dalam batas-batas yang telah ditentukan UU dan/atau anggaran dasar. Kalimat “tidak diberikan” itu mengandung makna bahwa hanya RUPS-lah sebagai organ yang memiliki kewenangan penuh untuk menentukan ke mana arah PT itu akan bergerak ke mana sesuai dengan maksud dan tujuannya PT. Konsekuensinya Direksi dan Komisaris harus patuh, taat dan setuju kepada kebijakan RUPS, serta tidak ada hak menolak hasil-hasil keputusan RUPS. Dengan dasar ini, organ yang dapat mengarahkan roda perjalanan adalah bukan semata-mata pemegang sahamnya, melainkan RUPS tersebut, sebab dalam banyak hal (walau tidak selalu demikian) pemegang saham hanya dapat untuk bertindak lewat mekanisme RUPS. Pada intinya, RUPS adalah organ yang memiliki kekuatan yang sangat kuat (powerfull) dalam entitas yang bernama PT, karena memang subyek-subyek yang ada, sesungguhnya, adalah pemiliknya dengan mana kepemilikannya diwujudkan dalam saham-sahamnya. Untuk itu, dengan medium RUPS pemegang saham mengatur strategi usahanya, namun mengapa harus dengan mengadakan RUPS untuk itu?
RUPS itu sendiri telah diatur pasal 1 butir (4) Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) lebih lanjut ketentuan mengenai RUPS diatur Bab VI dari pasal 75 sampai pasal 91. UUPT tidak saja memberikan pengaturan terkait dengan RUPS yang terkait dengan perseroan tertutup, tetapi juga untuk RUPS Perseroan Terbuka lebih lanjut oleh Peraturan OJK No. 15/POJK.04/2020 tentang Rencana dan Penyelenggaran RUPS yang telah mencabutnya Peraturan OJK No. 10/POJK.04/2017 tentang adanya perubahan Peraturan OJK No. 32/POJK/04/2014 tentang Rencana dan Penyelenggaran RUPS, selain itu juga RUPS Perseroan Terbuka secara online juga mulai diatur Peraturan OJK No. 16/POJK.04/2020 tentang Pelaksanaan RUPS Perusahaan Terbuka Secara Elektronik yang dilakukan dalam rangka menanggulangi virus Covid-19, sehingga RUPS yang dapat dilaksanakan secara online dan keputusannya adalah sah sebagaimana RUPS fisik yang dihadiri langsung para pemegang saham, namun aturan ini hanya akan berlaku 6 bulan setelah disahkannya POJK ini. Dengan keseluruhan pengaturan tersebut dasar dari kewajiban mengadakan RUPS Tahunan telah diatur dan harus dilakukan oleh PT. Maksudnya, secara normatif memang ada dan wajib dijalankan paling lambat 6 bulan setelah tutup tahun buku berakhir (Pasal 78 ayat (2) UUPT) dengan agenda yang rutin dan dilakukan secara regular. RUPS lainnya dapat dilakukan setiap waktu berdasarkan kebutuhan atau kepentingan perseroan, sehingga dapat dilakukan sampai dua kali atau lebih dalam waktu 1 (satu) tahun (Pasal 78 ayat (4) UUPT) yang dikenal dengan RUPS Luar Biasa. RUPSLB ini dilakukan perseroan karena hendak melakukan aksi korporasi seperti merger, akuisisi, menjual atau membeli asset perseroan dan lain-lain. RUPSLB sifatnya insidentil (mendadak) dan karena nilai transaksinya tertentu yang mengharuskan persetujuan pemegang saham dalam RUPSLB terlebih dahulu. Yang jelas, agenda dari RUPSLB itu diluar dari RUPS Tahunan atau tidak sama atau berbeda.
Secara umum, RUPS dilakukan dengan tujuan berupa memberikan laporan keuangan Perseroan dalam satu tahun terakhir, untuk mengubah AD Perseroan (dalam mengubah status, maksud dan tujuan, bidang usaha, lokasi/tempat, dsb), menyetujui pengajuan permohonan agar Perseroan dapat dinyatakan pailit, mengangkat dan memberhentikan anggota Direksi ataupun Dewan Komisaris, menyetujui perpangjangan dari jangka waktu berdirinya Perseroan Terbatas, menyetujui penggabungan, peleburan, pengambilalihan ataupun pemisahan, memberikan laporan kegiatan yang dilakukan oleh Perseroan serta dampak dari kegiatan tersebut, membahas tentang laporan pelaksanaan tanggung jawab Perseroan kepada lingkungan dan sosial, membahas masalah-masalah yang timbul dalam Perseroan dalam satu tahun terakhir, pemegang saham membahas kemungkinan akan terjadinya kenaikan gaji dan tunjangan karyawan, Direksi, dan Dewan Komisaris dan memberikan laporan terhadap pengawasan yang telah dilakukan oleh Dewan Komisaris. Dengan memperhatikan keseluruhan tujuan RUPS tersebut masuk ke substansi material yang harus melalui RUPS sebagai penentu persetujuannya. Hal ini, karena agenda-agenda yang menjadi obyek transaksi tersebut akan berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap perseroan, sehingga tidak mungkin dapat dibenarkan keputusan itu dikeluarkan tanpa RUPS. Hal ini mengandung arti keseluruhan agenda itu hanya dengan keputusan RUPS yang dapat menyetujuinya, sehinga akibat hukum apabila dilanggarnya dengan tanpa persetujuan RUPS, maka transaksi-transaksi tersebut menjadi batal atau tidak sah serta berpotensi digugat pemegang saham yang merasa dirugikan. Kewajiban RUPS di dalam konteks ini menunjukkan obyek adalah yang menjadi pertimbangan keharusan untuk melakukan RUPS terlebih dahulu.
Dalam pendekatan lain, kekuatan dari RUPS itu sendiri dapat tergambarkan dari dalam operasionalisasinya yang menyangkut kebijakan yang dalam hubungannya dengan harta kekayaannya perseroan, maka Direksi sebagai organ yang mengagas harus mendapatkan persetujuan RUPS. Artinya, RUPS dapat menyetujui atau menolak kebijakan Direksi tersebut dan pelanggaran terhadapnya masuk dalam kategori ultra vires (melampaui batas kewenangannya), sehingga Direksi dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Dengan kata lain, RUPS menjadi kata penentu akhir dapat atau tidak kebijakan Direksi tersebut dijalankan lebih jauh. Dengan demikian, maka RUPS memiliki kekuatan besar di dalam rencana, kebijakan dan strategi pengembangan perseroan, melalui meaknisme RUPS-nya, dibandingkan dengan Direksi atau Komisaris. Namun, dibalik ini sesungguhnya ada yang patut diperhatikan Direksi tentang kewajiban memperoleh persetujuan RUPS, terutama transaksi yang berkorelasi dengan assetnya perseroan itu dalam jumlah tertentu di dalam tahun buku berjalannnya PT. Hal ini, karena Direksi dalam rangka memenuhi tanggung jawabnya harus menyampaikan laporan tahunan dalam RUPS (Pasal 66 UUPT) yang berisikan kinerja kerja, perkembangan dan pencapaian dari perusahaan dalam satu tahun berjalan terhadap segala kebijakan dan keputusan termasuk transaksi yang telah dilakukan selama menjabat Direksi. Dalam hal tidak dijalankan RUPS setelah tahun buku berakhir itu berarti segala tindakannya belum mendapatkan persetujuan pemegang saham melalui RUPS, tetapi apabila RUPS dilakukan sesuai waktu yang ditentukan dan di dalam RUPS memperoleh persetujuannya, maka hal ini mengandung arti direksi mendapatkan”acquit et de charge” atau sering dikenal sebagai pembebasan dan pelunasan (release and discharge) dari tugas atau kewajiban terhadap hal-hal atau kegiatan yang dilaksanakan sehingga nantinya direksi tidak dapat dituntut apabila terjadi kerugian yang dialami perseroan. Akan tetapi dalam praktik terdapat dua penjelasan berkaitan dengan pelepasan tanggung jawab yang dikenakan kepada direksi ini, pertama adalah pembebasan hanya diberikan kepada perbuatan-perbuatan hukum yang dilaporkan dan tercermin serta disetujui dalam RUPST apabila tidaklah dilaporkan dan tercermin maka pertanggung jawaban kembali ke direksi, kedua adalah pelepasan tanggung jawab yang diberikan hanyalah berupa suatu pembebasan dan pelepasan yang bersifat perdata, namun apabila tindakan tersebut berupa perbuatan hukum dalam ranah pidana, maka tanggung jawab kembali kepada direksi itu sendiri, akan tetapi praktik ini rupanya belum diatur dalam UUPT yang ada di Indonesia saat ini namun dapat terjadi pada praktik dalam agenda RUPS setiap perseroan. Hal ini sangat disayangkan, karena dengan tidak adanya pengaturan terkait hal ini bilamana nanti terjadi sengketa antara perseroan dengan pemegang saham akan menjadi sulit mencari dasar hukum dalam penyelesaiannya. Akan tetapi, yang terpenting disadari oleh Direksi adalah bahwa mengadakan dan meminta kepada perseoan untuk diadakan RUPS setelah menjabat selama satu tahun berjalan jabatannya menjadi penting. Hal ini ada hubungan dengan masalah pertanggungjawaban Direksi dan kebutuhan persetujuan terhadap semua tindakan dan keputusan yang diambilnya oleh pemegang saham melalui RUPS.
Dalam strateginya, RUPS dilaksanakan untuk menyamakan persepsi dan visi dari setiap pihak manajemen dan terutamanya pemegang saham (founders/stakeholder) terkait dengan rencana penawaran umum (initial public offering)yang hendak dilakukan serta kaitannya dengan aktivitas/tujuan perusahaan. Penawaran umum dalam suatu perseroan itu sendiri dapat berasalkan inisiatif founder maupun dari pihak manajemen (biasanya manajemen yang independen), apabila berasalkan dari inisiatif pihak manajemen maka mereka perlu untuk meyakinkan founder bahwa penawaran umum itu dapat membawakan suatu hasil yang diperlukan perseroan tersebut hal ini menjadi penting karena penentu dari lanjut atau tidaknya hendak melakukan penawaran umum tersebut dimulai dari RUPS ini sendiri, sehingga apabila RUPS berasal dari inisiatif pemegang saham maka biasanya jarang akan menemukan hambatan yang berarti. Namun, faktor kehendak dari para pemegang saham merupakan pertimbangan yang tidak mudah, sebab penawaran umum ini dapat berimbas kepada berkurangnya kontrol kepengurusan perusahaan (existing shareholders) dan syarat keterbukaan yang sedikit banyaknya mempengaruhi kepentingan pemegang saham yang lama (telah ada), karena dengan dilakukannya penawaran umum perseroan terbatas dari yang awalnya merupakan perusahaan tertutup akan mengalami perubahan status menjadi perusahaan terbuka serta adanya pemegang saham baru yang berasal dari masyarakat. Oleh karena itu diperlukan pertimbangan yang cukup mendalam dari RUPS untuk dapat mencapai keputusan penawaran umum, dari sini dapat terlihat bahwa RUPS memiliki titik berat pada poin ini yang dapat dilihat dari aspek psikologis berupa apakah pemegang saham lama berkenan untuk memberikan saham perusahaan tersebut untuk dipegang oleh publik (dengan masuknya masyarakat umum) maupun termasuk dari keuntungan yang dapat didapatkan oleh perusahaan ketika mereka merubah status menjadi perusahaan yang terbuka dimana nantinya keuntungan akan dibagi berdasarkan kepada dividen yang secara merata kepada para pemegang saham baru sesuai dengan saham yang dimilikinya.
Lebih jauh lagi banyaknya kebutuhan perusahaan yang perlu dipenuhi ketika berubah menjadi perusahaan terbuka sebagaimana peraturan dari pasar modal itu sendiri meminta (misal keterbukaan informasi dan sebagainya). Hal ini dapat dilihat dalam praktik bahwa di Indonesia itu sendiri hanya terdapat kurang lebih 600 perusahaan terbuka yang tercatat pada Bursa Efek Indonesia (BEI) hal ini bukan tanpa alasan akan tetapi dengan alasan bahwa kalau perusahaan ingin melakukan permodalan akan dilakukan perbandingan pendanaan lewat pasar modal atau lewat perbankan, disisi lain perusahaan yang hendak melakukan penawaran umum sulit untuk mencari investor yang bersedia membeli saham perusahaan hal ini karena adanya dominasi investor asing yang berpengaruh pada selera investor. Kemudian direksi sebagai pihak yang berwenang mempersiapkan RUPS dalam rangka penawaran umum boleh meminta bantuan kepada Notaris dalam rangka pengadaan RUPS dalam suatu perusahaan, dalam praktik hal-hal yang biasanya akan dimintakan persetujuan kepada pemegang saham (founders) dalam RUPS adalah permintaan berupa persetujuan seperti perubahan status perusahaan dari yang tertutup menjadi perusahaan terbuka, perubahan anggaran dasar perusahaan untuk disesuaikan dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal, mengingat penawaran umum yang dilakukan oleh perusahaan akan melibatkan pemodal baru di luar pemegang saham yang ada (founders), maka haruslah diputuskan apakah dengan adanya pemegang saham baru nantinya dapat mengubah kepemilikan pemegang saham yang telah ada (founders), direksi dan manajemen perusahaan harus mempersiapkan usulan perubahan permodalan perusahaan dengan melihat komposisi permodalan perusahaan sebelum melakukan penawaran umum, bila saham dalam saham portepel (portofolio) masihkah mencukupi kebutuhan untuk keperluan perusahaan maka cukup diusulkan penambahan modal baru yang ditempatkan dengan mengeluarkan saham dari saham portepel (portofolio) sesuai kebutuhan perusahaan, namun pada praktiknya setelah adanya keputusan RUPS mengenai jumlah saham yang akan dikeluarkan dari saham portepel (portofolio) masih terdapat kecenderungan perubahan terhadap perencanaan awal yang ada. Oleh karena itu dalam RUPS sering kali terdapat agenda untuk pemberian kuasa terhadap direksi atau komisaris dari emiten untuk menentukan kepastian jumlah saham yang dikeluarkan melalui penawaran umum perdana kepada masyarakat. Adapun pemberian kuasa ini adalah dalam hal direksi atau komisaris hendak melaksanakan segala tindakan berkaitan dengan rencana penawaran umum emiten seperti mencatatkan saham-saham perseroan dalam penitipan kolektif sesuai dengan peraturan kustodian sentral efek Indonesia, mencatatkan seluruh saham perseroan yang merupakan saham yang telah dikeluarkan dan disetor penuh pada BEI, dan lain sebagainya. Segala sesuatu yang nanti akan disetujui maupun tidak disetujui oleh pemegang saham perlu dicatatkan dalam berita acara oleh Notaris yang ditunjuk hal ini mengingat pada pasal 21 ayat (2) dan (4) UUPT dimana perubahan anggaran dasar perusahaan dalam rangka penawaran umum perlu disampaikan kepada menteri hukum dan hak asasi manusia untuk mendapat persetujuan. Meskipun perubahan dari perusahaan tertutup menjadi perusahaan terbuka dapat saja dilaksanakan tanpa melalui RUPS sebagaimana telah diatur dalam pasal 1 butir (8) UUPT dan pasal 1 butir (22) UUPM dimana apabila perusahaan telah memiliki 300 (tiga ratus) orang pemegang saham dan dengan modal yang disetorkan (terkumpul) telah mencapai Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah), maka perusahaan tertutup dapat bertransformasi menjadi perusahaan terbuka. Namun, demikian tetap harus diingat menjadi perusahaan terbuka bukan berarti mudah dilakukannya, karena kesemuanya ditentukan oleh RUPS terlebih dahulu sebagai langkah pertama yang perlu dilewati dengan hati-hati dan dengan persetujuan pemegang saham yang semenjak awal mendirikan entitas PT. Para pendiri itu sesungguhnya yang menentukan dapat atau tidaknya berubah status menjadi perusahaan yang terbuka dengan RUPS sebagai pembukanya.
Dari keseluruhan penjelasan tersebut penulis mendapati beberapa titik terkait mengapa perusahaan itu harusnya melakukan RUPS, pertama adalah karena peraturan perundang-undangan, khususnya UUPT, telah mewajibkan bahwa tiap perusahaan yang berbadan hukum dan berada di wilayah kekuasaan Indonesia itu harus melakukan RUPS, keduaadalah faktor apa yang akan menjadi obyek melaksanakan RUPS itu sendiri, ketiga soal pertanggung jawaban yang dapat dimintakan kepada para pemegang saham oleh para pengurus perusahaan (khususnya direksi dan termasuk komisaris), keempat adalah karena terjadinya perubahaan status perusahan tertutup menjadi terbuka maka pertimbangan dari sisi pemegang saham lama perlu dilihat secara psikologis apakah sudah siap dan legowo menerima dan menghadapi perubahan tersebut. Pertanyaan terakhir ini yang tidak mudah untuk dicarikan jawabannya, karena hal itu berkelindan dengan pertimbangan emosional dan kehendak untuk maju para pemegang saham dengan menjual sebagian sahamnya (sehingga akan memperoleh dana segar untuk pengembangannya) dan menerima publik sebagai bagian dalam keseharian menjalankan roda usahanya. Namun demikian pilihan tidak ada yang dapat menguntungkan semuanya sehingga keputusan tetap harus diambil dan menjadikan perusahaan terbuka adalah pilihan yang tepat. Hal itu dapat dibenarkan selama keseluruhan keputusannya telah dihitung secara cermat dan hati-hati dengan suatu semangat untuk kemajuan dan kesejahteraan seluruh pemegang saham. Melalui RUPS itulah awal semua permasalahan untuk kebaikan PT harus diperhitungkan.
Literatur :
- Nindyo Pramono, Hukum PT Go Public dan Pasar Modal, Andi, Yogyakarta, 2013.
- Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
- Binoto Nadapdap, Hukum Perseroan Terbatas, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2020.
dan Stefanus, mahasiswa Jurrusan Hukum Bisnis BINUS (NIM 2301861730)
Published at :