FGD PERMOHONAN KEBERATAN DI PENGADILAN NIAGA
Pasca-berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja, sejumlah pasal dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengalami perubahan, bahkan pencabutan. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2021. Perubahan tersebut antara lain berdampak pada pergantian institusi penerima permohonan keberatan terhadap putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dari semula diajukan ke pengadilan negeri (pengadilan umum) sekarang menjadi pengadilan niaga. Terdapat salah satu pertanyaan yang ingin dijawab yakni tentang landasan filosofis dari pemeriksaan permohonan keberatan tersebut dengan dipindahkan kewenangannya ke pengadilan niaga. Penelitian ini dilakukan oleh Mahkamah Agung, di bawah koordinasi Dr. Ismail Ramadhan, S.H., M.H. (peneliti madya Puslitbang Mahkamah Agung RI). Acara berlangsung di Hotel Grand Mercure Kemayoran, Jakarta pada tanggal 8 Juni 2021. Menurut jadwal panitia, FGD ini sudah berlangsung sejak tanggal 7 Juni 2021 dan akan berakhir pada tanggal 9 Juni 2021.
Untuk memberi masukan atas isu tersebut, tim peneliti mengundang Shidarta, dosen Jurusan Hukum Bisnis (Business Law) BINUS. Beliau menjadi narasumber pada sesi pertama forum diskusi terpumpun (FGD) dengan membawakan presentasi berjudul “Filosofi Permohonan Keberatan atas Putusan KPPU di Pengadilan”. Bersama beliau juga tampil narasumber lain, yaitu Dr. Chandra Yusuf, S.H., LL.M., MBA, MMgt. Paparan diawali dengan uraian pokok-pokok penelitian oleh Prof. Dr. Mella Ismelina F. Rahayu, S.H., M.Hum. sebagai salah satu anggota tim peneliti. Selanjutnya, pada sesi kedua pada siang hingga sore hari tampil narasumber lain, antara lain Kodrat Wibowo, S.E., Ph.D. dan Dr. Teddy Anggoro, S.H., M.H.
Dalam paparannya Shidarta mengusulkan agar tim peneliti menelaah latar belakang keberadaan KPPU sebagai auxiliary state agency yang lahir dari rahim reformasi dan membandingkannya dengan institusi serupa yang dibangun dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam undang-undang itu terdapat lembaga bernama Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Dua undang-undang yang diundangkan sejak 1999 dan berlaku efektif satu tahun kemudian, sama-sama dibentuk dengan hak inisiatif DPR. Kedua undang-undang itu juga memperkenalkan upaya hukum permohonan keberatan ini. Menurut Shidarta, konsep “keberatan” dari kedua undang-undang ini ternyata berbeda.
Upaya keberatan ini tidak sama dengan upaya banding. Itulah sebabnya, pemeriksaan di pengadilan negeri terhadap upaya keberatan atas putusan KPPU itu, semula hanya terkait aspek formal. JIka diperlukan pemeriksaan material, maka pengadilan akan minta KPPU melakukan pemeriksaan tambahan. Dengan keharusan bagi pengadilan niaga sekarang ini untuk memeriksa aspek formal dan material dari fakta yang ada dalam putusan KPPU Itu, maka sangat mungkin landasan filosofis dari pranata bernama “keberatan” ini sudah berbeda dengan yang digariskan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. (***)
Published at :