TIGA PROFESSOR MANCANEGARA MENJADI PRESENTER DALAM WEBINAR DIES NATALIS BUSINESS LAW BINUS
Pada tanggal 4 Juni 2021, Jurusan Hukum Bisnis (Business Law) BINUS mengadakan sebuah webinar berskala internasion dengan judul “The Relevance of Empirical Legal Research to Legal Practice & Legal Policy”, yang diikuti oleh lebih dari 300 peserta, termasuk 120 mahasiswa BINUS. Bertindak sebagai moderator adalah Vidya Prahassicitta, S.H, M.H., dosen Jurusan Hukum Bisnis (Business Law) Binus University. Webinar internasional kali ini mengundang pembicara yang sangat kompeten dan ahli di bidang empirical legal research, yaitu Prof. Adriaan Bedner (Professor Law & Society of Indonesia di KITLV, Direktur Van Vollenhoven Institute, Leiden University Belanda), Prof. Mark Cammack (Professor hukum Southwestern Law School, Los Angeles, AS), Prof. Keebet von Benda-Beckmann (Professor Emeritus & Former Head of The Study Group Legal Pluralism at the Max Planck Institute for Social Anthropology, Germany). Ketua Jurusan Business law BINUS Dr. Ahmad Sofian, S.H. dan lecturer spescialist Dr. Stijn Cornelis van Huis, M.A. (ketua Organizing Committee) memberikan kata sambutan sebelum sesi paparan oleh para narasumber dimulai.
Dalam paparannya, Prof. Adriaan Bedner mengemukakan bahwa sangat penting dalam praktik berhukum untuk membangun argumentasi hukum berbasiskan pada beragam sumber: berbagai sumber hukum (peraturan perundang-undangan, doktrin, yurisprudensi) dan hasil riset empiris. Penalaran hukum terhadap masalah hukum yang kompleks juga harus dilakukan berbasiskan berbagai metode penalaran hukum – bukan metode penafsiran gramatikal saja. Menurut Professor Bedner, variasi sumber dan metode penalaran hukum, serta komunikasi yang kritis antar legal actors, dibutuhkan untuk membangun suatu sistem hukum yang dapat mencapai keseimbangan antara ketiga tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Beliau memberikan contoh allowance affair dari Belanda dimana seorang hakim menganalisis putusannya sendiri dan menyimpulkan bahwa penafsiran gramatikal yang diterapkannya telah mengabaikan beberapa hal yang esensial: prinsip proporsionalitas seharusnya tidak dikesampingkan, dampak negatif dari kebijakan pemerintah bagi masyarakat dan rasa keadilan seharusnya dipertimbangkan, serta implikasi dari keputusan pengadilan bagi pihak terkait seharusnya tidak diabaikan.
Prof. Mark Cammack selaku profesor hukum di Southwestern Law School, mengatakan bahwa bagi beliau tidak biasa untuk membicarakan pendekatan empirikal terhadap hukum karena bagi lawyer Amerika kegiatan berhukum itu selalu dilakukan secara empiris. Menurut beliau pertanyaannya bukanlah apakah pendekatan empirikal terhadap studi hukum berguna atau tidak, karena tidak ada pendekatan lain daripada pendekatan empiris. Hukum tidak ada tanpa masyarakat, suatu masalah hukum selalu berkaitan dengan masalah sosial. Satu-satunya cara untuk mempelajari hukum adalah dengan mempelajari bagaimana hakim dan aktor hukum yang lain, mengaitkan masalah yang terjadi di dalam masyarakat dengan sumber hukum yang ada. Sebagai, professor hukum yang berasal dari Amerika Serikat dimana aliran Legal Realism cukup prominen, dan dalam pengalamannya waktu beliau bekerja sebagai jaksa, Professor Cammack yakin bahwa latar belakang dari hakim sendiri juga mempengaruhi hasil dari proses berhukum. Kesimpulannya, hukum tidak bisa dipandang di luar konteks sosialnya.
Prof. Keebet von Benda-Beckmann selaku professor dalam bidang lega antropologi di Max Planck Institute di Halle/Saale, Jerman, dalam paparannya berfokus pada bagaimana praktisi hukum yang berbeda cendrung mendekati hukum dari perspektif yang berbeda. Alhasil praktisi hukum menempatkan dan menggunakan hasil penelitian empiris terhadap hukum dengan cara yang berbeda. Untuk hakim manfaat dari data empiris adalah sebagai salah satu sumber yang dapat membantu untuk mendapatkan solusi untuk masalah hukum tertentu. Untuk legal drafters data empiris membantu untuk mengevaluasi efektivitas dari peraturan yang ada. Penelitian seseorang legal anthropologist pada umumnya tidak berfokus pada pertanyaan how the law should be, tetapi meneliti apa peran dari hukum dalam komunitas tertentu, dan bagaimana norma yang lain, berasal dari hukum adat, hukum Islam, atau norma internasional, berinteraksi dengan norma hukum negara tersebut. Dalam pengalamannya putusan pengadilan seringkali tidak memiliki sifat final di dalam masyarakat. Setelah seseorang sudah menang perkaranya di pengadilan, putusan pengadilan masih perlu kembali diterapkan di dalam masyarakat di mana hukum negara tidak merupakan norma tunggal atau utama dalam masyarakat. Mayoritas isi dari putusan, baik di Indonesia maupun Belanda tidak diimplementasi sesuai amar putusan tersebut. Artinya, mayoritas putusan tidak diimplementasi dan hanya menjadi bargain chip dalam proses negosiasi baru antara para pihak yang bersengketa. Di dalam masyarakat putusan pengadilan seringkali tidak menjadi solusi final dari sengketa tersebut, proses penyelesaian sengketa antara para pihak berlanjut di luar pengadilan setelah putusannya telah jatuh (***).