People Innovation Excellence

PANDANGAN SIMESTER DAN VON HIRSCH MENGENAI OFFENCES PRINCIPLES

Oleh: VIDYA PRAHASSACITTA (Mei 2021)

Simester dan von Hirsch mengkritik offences principles yang dikemukakan oleh Feinberg mengenai offences yang menghilangkan adanya perilaku yang salah (wrongdoing).[1] Menurut Simester dan von Hirsch awalnya Feinberg mengakui bahwa ia membatasi ruang lingkup offence principle terhadap perilaku yang menyinggung pada apa yang disebabkan oleh perilaku salah atau melanggar hak orang lain, namun kemudian ia mengesampingkan persyaratan ini. Dalam bukunya Offense to Others Feinberg menyatakan sebagai berikut, “Only the latter sense—wrongful offense—is intended in the offense principle as we shall understand it.” Akan tetapi kemudian Feinberg mempersempit offences yang meliputi “In the strict and narrow sense, I am offended (or “take offense”) when (a) I suffer a disliked state, and (b) I attribute that state to the wrongful conduct of another, and (c) I resent the other for his role in causing me to be in the state.” [2] Menurut Simester dan von Hirsch adanya kesalahaan dan perilaku yang salah (wrongfulness) merupakan unsur umum dalam melakukaan kriminalisasi, harm principles sekalipun mensyaratkan adanya unsur ini.

Dalam pandangan Simester dan von Hirsch kriminalisasi dengan menggunakan offences principles selain mensyaratkan adanya offences yang dikriminalisasi hendaknya juga juga mempertimbangkan adanya bentuk kerugian atau bahaya (harm).[3] Dalam offence principle, argumen untuk intervensi negara mengutamakan kepentingan orang dan tidak hanya berdasarkan moralitas. Penggunaan kekuatan korektif negara harus dibatasi untuk melakukan yang mempengaruhi kemampuan dan kapasitas orang untuk mengejar kehidupan yang baik. Oleh karenanya adanya persyaratan kerugian atau bahaya (harm) dalam offence principle menjadi masuk akal karena dari perspektif liberal, sulit untuk memikirkan kriminalisasi suatu pelanggaran tanpa melibatkan bentuk kerugian atau bahaya (harm) baik secara langsung maupunn tidak langsung. Kriminalisasi atas dasar adanya offences akan membatasi otonomi individu dan hal ini tidak cukup menjadi alasan untuk melakukan kriminalisasi. Dengan mensyaratkan adanya kerugian atau bahaya (harm) maka menjadi alasan kuat untuk dapat melakukan kriminalisasi terhadap offences tersebut.

Offences principles yang dikemukan oleh Simester dan von Hirsch berbeda dengan Feinberg. Simester dan von Hirsch yang menerima adanya harm sebagai bagian dari offences. Dalam pandangan penulis Simester dan von Hirsch memperluas pengertian offences yang meliputi adanya remote harm dan secondary harm. Akan tetapi adanya kerugian atau bahaya (harm) dalam offences principle tidak berarti menyamakan offences principles dengan harm principles.[4] Dalam harm principle, gravitasi dan kemungkinan akan kerugian atau bahaya merupakan kekuatan pendorong di balik keputusan untuk mengkriminalisasi. Sebaliknya, dalam offence principle, adanya offences behavior lah yang memberikan dorongan awal menuju kriminalisasi.

Menurut Simester dan von Hirsch offences merupakan unsur dari wrongfulness atau perilaku yang ilegal atau tidak hormat.[5] Tidak semua perbuatan offensive dapat langsung dikategorikan sebagai offences. Ada perbuatan offensive yang dapat dengan mudah dikategorikan sebagai offences seperti eksibisionis. Akan tetapi disisi lain terdapat  suatu penghinaan terhadap perasaan seseorang tidak cukup dikategorikan sebagai offences, sekalipun penghinaan tersebut serius karena kepekaan orang lain yang berbeda-beda. Oleh karenanya akan lebih mudah untuk mendudukan offences sebagai unsur dari suatu perilaku yang salah. Kesalahan dan perilaku yang salah (wrongfulness) tersebut diletakan pada adanya perilaku yang tidak menghormati dan menghargai orang lain. Hal ini merupakan perilaku yang kurang atau tidak toleransi kepada publik dan perilaku tersebut menujukan kecenderungan untuk melanggar hukum.

Simester dan von Hirsch berpendapat bahwa adanya offences juga menyebabkan kerugian atau bahaya (harm). Luasnya definisi kerugian atau bahaya (harm) menyebabkan pelanggaran dapat dimaknai sebagai adanya kerugian atau bahaya (harm).[6] Offences dapat diartikan sebagai pelanggaran terhadap kerugian atau bahaya psikilogi (psychological harm) dan kerugian atau bahaya yang mungkin terjadi (eventually harm).[7] Kerugian atau bahaya psikilogi (psychological harm) merupakan keadaan psikis orang yang terganggu yang lebih sekedar dari keadaan dihina. Kerugian atau bahaya psikilogi (psychological harm) terjadi ketika orang normal mungkin merasa kesal atau jijik pada melihat seseorang melepas pakaian di dalam bus umum. Nilai kerugian atau bahaya dari suatu pelanggaran tergantung dari mungkin terjadi kerugian atau bahaya dalam jangka panjang (eventually harm). Jika dibiarkan dan tidak ditanggulangi, perilaku yang menyinggung orang lain akan menjadi perilaku lebih serius dan dapat menimbulkan kerugian atau bahaya bagi orang lain. Kerugian jangka panjang ini yang kemudian dapat menjadi remote harm atau pun reactive harm.

Untuk membatasi kriminalisasi dengan menggunakan offences principles, Simester dan von Hirsch memperkenalkan mediating principles.[8] Mediating principles diperlukan untuk memisahkan perbuatan offensive mana yang dapat dikriminalisasi. Mediating principles tersebut meliputi empat hal. Pertama, adanya toleransi sosial (social tolerance) terhadap perbuatan offensive tersebut. Dalam hal ini larangan terhadap offensive tersebut sah apabila masyarakat menganggap perilaku tersebut mengerikan sehingga harus dilarang. Sebaliknya apabila masyarakat cukup cuek maka larangan tersebut menjadi berlebihan. Melalui adanya toleransi sosial ini maka hanya bentuk perbuatan offensive yang dipandang oleh masyarakat saja yang mengerikan dan menggangu dan mengancam saja yang dikriminalisasi. Kedua, adanya kendala untuk menghindar (a constraint of ready avoidability), dalam hal ini sejauh mana sejauh mana perbuatan offensive yang menyinggung dan meresahkan tersebut dapat dihindari oleh orang lain. Contoh, memperlihatkan gambar pornografi di tempat umum akan lebih memenuhi unsur ini ketimbang memperlihatkannya melalui situs berlangganan orang dewasa. Ketiga, terkait dengan immediacy atau seberapa jauh perilaku yang menyinggung dan memungkinan orang lain ikut terlibat lebih lanjut dalam perilaku terlarang tersebut (the requirement for immediacy). Misalnya melarang perbuatan pengemis di muka umum karena hal ini memungkinkaan para pengemis berkumpul secara bersamaan di ruang publik yang menganggu ketertiban umum. Terakhir, pentingnya ruang publik (the importance of the public sphere) di mana perbuatan offensive terjadi di depan umum maka menjadi alasan penting untuk intervensi negara untuk menjaga kualitas hidup, namun dalam ruang semi privat dan privat intervensi negara berkurang.

Menurut Simester dan von Hirsch pembatasan kriminalisasi dengan menggunakan offences principles juga harus mengukur efek jangka panjang dari larangan terhadap perbuatan tersebut, frekuennsi, keparahan dan meresapnya perilaku tersebut.[9] Perilaku yang kurang menunjukan rasa hormat dan menghargai tentu akan menjadi perbuatan yang sangat menganggu dan tidak bisa ditolerir apabila dilakukan berkali-kali dan dilakukan dalam waktu yang lama. Keparahan selain berkaitan dengan kualitas perbuatan yang dilarang juga berkaitan dengan kerugian atau bahaya (harm) yang mungkin ditimbulkan dari perbuatan tersebut dalam jangka panjang. Selain itu bagaimana masyarakat memandang perbuatan offensive tersebut juga menjadi pertimbangan apabila perbuatan tersebut sudah menjadi kebiasaan maka toleransi untuk mengkriminalisasi perbuatan tersebut menjadi rendah.

[1] Simester and von Hirsch, Crimes, Harms, and Wrongs: On the Principles of CriminalisationOp.Cit. hlm. 96; dan A. P. Simester and Andrew von Hirsch, “Rethinking the Offense Principle,” Legal Theory (2002). hlm. 273.

[2] Simester and Hirsch, “Rethinking the Offense Principle.”Op. Cit. hlm. 273; dan Feinberg, The Moral Limits of the Criminal Law: Volume 2: Offense to Others. Op.Cit. hlm. 2

[3] Simester and von Hirsch, Crimes, Harms, and Wrongs: On the Principles of Criminalisation. Op.Cit. hlm. 117-118.

[4] Ibid. hlm. 118-119.

[5] Ibid. hlm. 91-95

[6] Ibid. hlm. 111-116

[7] Andrew von Hirsch, “The Offence Principle in Criminal Law: Affront to Sensibility or Wrongdoing?,” King’s Law Journal 11, no. 1 (2000): 78–89. hlm. 79-80.; dan Simester and von Hirsch, Crimes, Harms, and Wrongs: On the Principles of Criminalisation. Op.Cit.

[8] Simester and von Hirsch, Crimes, Harms, and Wrongs: On the Principles of Criminalisation. hlm. 125-134.

[9] Ibid. hlm. 126.


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close