PERJANJIAN WARALABA DAN PERSAINGAN USAHA
Oleh SHIDARTA (Mei 2021)
Artikel ini merupakan bagian dari materi ujian tengah semester yang diberikan kepada peserta mata kuliah Hukum Persaingan Usaha di tingkat sarjana (S-1) Ilmu Hukum. Dengan demikian, artikel ini dapat diposisikan sebagai panduan jawaban ujian yang dimaksud, sehingga mahasiswa dapat membandingkan jawaban mereka masing-masing dengan panduan ini. Soal yang disampaikan di dalam ujian tersebut adalah tentang perjanjian waralaba yang berpotensi melanggar ketentuan di bidang persaingan usaha. Lengkapnya soal tersebut adalah sebagai berikut:
PT Howdy adalah sebuah perusahaan yang memproduksi busi untuk motor/mobil dengan merek H+H. Busi ini beredar di seluruh Indonesia dan menguasai 20% pangsa pasar. PT Howdy juga memiliki jaringan waralaba bengkel motor/mobil yang memiliki 376 gerai bengkel, yang sementara ini ada di Jawa, Sumatera, dan Bali. Pada bulan Mei 2020, PT Howdy mengadakan kerja sama dengan produsen busi PT Brother yang memproduksi busi merek Bossy. Busi ini menguasai pangsa pasar sebanyak 15%. Isi kerja sama adalah bahwa semua bengkel yang ada dalam jaringan PT Howdy hanya menjual busi merek H+H atau Bossy untuk semua pelanggan mereka. Pada bulan November 2020, seorang bernama Hasanuddin mengajukan diri untuk membuka bengkel PT Howdy di Makassar. Untuk itu Hasanuddin diharuskan menyepakati terlebih dulu persyaratan yang diajukan PT Howdy, yang antara lain hanya boleh menjual busi merek H+H dan Bossy.
Dalam perjalanan bisnis bengkel ini, ternyata Hasanuddin menghadapi kenyataan banyak pemilik kendaraan di Makassar yang lebih memilih busi merek “Hondimus” yang lebih populer daripada H+H dan Bossy. Karena banyaknya permintaan terhadap busi merek “Hondimus” ini, maka Hasanuddin pun menyediakan busi merek itu di bengkel Howdy yang dikelolanya di Makassar.
Pada saat bengkel ini diaudit pada akhir tahun 2020, PT Howdy menemukan praktik yang dilakukan oleh Hasanuddin. Untuk itu, PT Howdy lalu menghentikan perjanjian waralabanya dengan Hasanuddin dan menarik semua fasilitas/peralatan yang telah diberikan. Sebagai gantinya PT Howdy telah mengikat perjanjian waralaba dengan pihak lain.
Menghadapi kenyataan ini, Hasanuddin lalu melapor ke KPPU dengan menyatakan bahwa PT Howdy sudah melanggar UU No. 5 Tahun 1999.
Tugas Anda adalah sebagai staf di KPPU yang memproses laporan ini dari Hasanuddin. Anda ditugaskan oleh Komisioner KPPU untuk memberikan pendapat hukum (legal opinion) dengan memperhatikan hal-hal berikut:
- Apakah PT Howdy melakukan pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat? Jika ya, tunjukkan letak kesalahan dan ketentuan yang dilanggar. Jika tidak, tunjukkan apa argumentasinya.
- Catatan: Untuk membuat pendapat hukum yang baik, perhatikan konsep-konsep kunci yang relevan dan bagaimana penerapannya untuk kasus di atas (LO1 dan LO2 dalam Course Outline). Tentang format penulisan pendapat hukum, silakan pelajari artikel berikut: https://business-law.binus.ac.id/2020/05/04/latihan-penulisan-legal-opinion/
Jadi, mahasiswa diminta untuk menjawab soal di atas dalam bentuk pendapat hukum (legal opinion). Sebuah contoh pendapat hukum atas kasus di atas ditampilkan di bawah ini. Tentu saja, sebagaimana biasanya untuk soal-soal kasusistis di bidang hukum, mahasiswa tetap diberi koridor untuk berpandangan berbeda sepanjang argumentasi yang disampaikan memang runtut dan jelas. Isi dari pendapat hukum di bawah inipun terbuka untuk tidak disetujui oleh pembaca, namun sebagai sebuah jawaban ujian tengah semester mata kuliah Hukum Persaingan Usaha, kiranya ia sudah memenuhi syarat untuk dinilai sebagai jawaban yang baik. Pendapat hukum tersebut kurang lebih dapat disusun sebagai berikut:
Duduk Perkara
Perkara ini bermula dari laporan seorang bernama Hasanuddin (pelaku usaha di Makassar). Pada bulan November 2020, ia mengikat kerja sama dengan PT Howdy dalam bentuk perjanjian waralaba bengkel motor/mobil di bawah PT Howldy. Dalam perjanjian disepakati bahwa gerai bengkel yang dikelola secara waralaba oleh Hasanuddin hanya boleh menjual busi merek H+H dan Bossy. Dua merek busi tersebut diproduksi oleh PT Howdy dan PT Brother, yang telah mengikat perjanjian pada bulan Mei 2020 untuk hanya menjual busi merek H+H dan Bossy di semua bengkel jaringan PT Howdy. Dalam pasar bersangkutan di seluruh Indonesia, Busi H+H produksi PT Howdy menguasai 20% pangsa pasar, sedangkan busi Bossy menguasai 15%. Hasanuddin mendapati bahwa untuk pasaran busi di Makassar, pelanggan lebih banyak memilih busi merek Hondimus, sehingga Hasanuddin pun menjual busi merek Hondimus ini di bengkel yang dikelolanya tersebut. Audit yang dilakukan PT Howdy pada akhir tahun 2020 menyimpulkan Hasanuddin telah melanggar perjanjian waralaba, sehingga perjanjian itu dihentikan sepihak. PT Howdy telah menarik semua fasilitas/peralatan dan memindahkannya ke pihak lain. Hasanuddin meminta KPPU memeriksa kasus ini.
Dasar Hukum
- Pasal 50 huruf b UU No. 5 Tahun 1999.
- Peraturan KPPU No. 6 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba.
Pendapat Hukum
Dua dasar hukum di atas diajukan sebagai landasan untuk pendapat hukum ini. Pasal 50 huruf b UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan, “Yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah: … b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;…” Sementara itu, Peraturan KPPU No. 6 Tahun 2009 dijadikan dasar hukum karena memberi uraian tentang bagaimana KPPU menyikapi Pasal 50 huruf b tersebut. Perlu dicatat bahwa di dalam Peraturan KPPU ini disebutkan beberapa peraturan perundang-undangan yang lain, antara lain peraturan tentang waralaba dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Pasal 10 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 yang memuat larangan perjanjian pemboikotan, tidak ikut dipertimbangkan sebagai dasar hukum. Alasannya adalah karena Pasal 10 ini mensyaratkan perjanjian pemboikotan itu dibuat oleh sesama pelaku usaha yang saling bersaing. Dalam kasus laporan Hasanuddin dari Makassar ini, perjanjian yang dipermasalahkan adalah perjanjian antara pemberi waralaba dan penerima waralaba, dan mereka bukan pelaku usaha yang saling bersaing. Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1999 tentang perjanjian tertutup juga tidak relevan untuk dipertimbangkan karena perjanjian antara PT Howdy dan Hasanuddin tidak memenuhi unsur-unsur dari suatu perjanjian tertutup.
Jadi, isu sentral dari kasus yang dilaporkan terletak pada apakah perjanjian yang berkaitan dengan waralaba ini dapat dianggap sebagai faktor pengecualian dari keberlakuan UU No. 5 Tahun 1999. Dengan penguasaan pasar busi di Indonesia yang relatif kecil (35%) dari PT Howdy dan PT Brother dan isi kerja sama mereka yang menyatakan bahwa mereka hanya menjual produk busi merek H+H dan Bossy di jaringan bengkel milik mereka sendiri (dalam hal ini PT Howdy), sementara ini tidaklah relevan untuk dipertimbangkan sebagai suatu pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999.
Berdasarkan Peraturan KPPU No. 6 Tahun 2009, KPPU telah mengambil sikap bahwa perjanjian yang berkaitan dengan waralaba yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, TIDAK merupakan pengecualian atas Pasal 50 huruf b UU No. 5 Tahun 1999. Dengan demikian, yang perlu diperhatikan dalam kasus di atas adalah apakah perjanjian antara PT Howdy dan PT Brother yang membuat persyaratan untuk hanya menjual busi merek H+H dan Bossy dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat?
Bertitik tolak dari peraturan KPPU No. 6 Tahun 2009, unsur-unsur di dalam Pasal 50 huruf b UU No. 5 Tahun 1999 dijabarkan sebagai berikut:
- Unsur “perjanjian”. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1 butir 7 UU No. 5 Tahun 1999 adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apaun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Atas dasar definisi ini, perbuatan PT Howdy dan PT Brother untuk mengikatkan diri menjual produk busi dengan merek H+H dan Bossy di jaringan bengkel milik PT Howdy adalah sah sebagai suatu perjanjian. Hasanuddin yang mengikat perjanjian di kemudian hari juga telah mengetahui adanya klausula untuk hanya menjual busi dua merek tersebut. Perjanjian ini telah ditandatangani dalam format waralaba dan berlaku sama untuk 376 gerai di Jawa, Sumatera, dan Bali.
- Unsur “yang berkaitan dengan”. Frasa ini harus dapat dibuktikan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pemberi waralaba dan penerima waralaba benar-benar memenuhi kriteria waralaba sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan (vide: UU No. 5 Tahun 1999; UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM; dan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba). Sepanjang informasi yang diperoleh dari laporan Hasanuddin dan dokumen yang diserahkannya, tidak ada indikasi bahwa unsur ini telah dilanggar di dalam perjanjian waralaba antara PT Howdy dan Hasanuddin. Kewajiban untuk hanya menjual dua merek busi di gerai bengkel yang dikelola pelapor di Makassar, tidak serta merta dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak mendukung pemberdayaan UMKM.
- Unsur “waralaba”. Di sini semua ketentuan mengenai waralaba harus sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007. Pasal 1 butir 1 dari peraturan itu mendefiniskan waralaba sebagai hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Hak khusus yang dimaksud ini dapat dilekatkan pada hak merek yang dimiliki oleh PT Howdy dan PT Brother tersebut. Kedua merek ini telah beredar di pasar busi di Indonesia dan berhasil menguasai pangsa pasar sebanyak 35%.
Peraturan KPPU No. 6 Tahun 2009 memberi beberapa contoh perjanjian waralaba yang melanggar prinsip larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, yaitu:
- penetapan harga jual (resale price maintenance);
- persyaratan untuk membeli pasokan barang dan/atau jasa hanya dari pemberi waralaba atau pihak lain yang ditunjuk oleh pemberi waralaba;
- persyaratan untuk membeli barang dan/atau jasa lain dari pemberi waralaba;
- pembatasan wilayah;
- persyaratan untuk tidak melakukan kegiatan usaha yang sama selama jangka waktu tertentu setelah berakhirnya perjanjian waralaba.
Dalam kasus yang dilaporkan ini, poin nomor 2 di atas perlu diberikan pendapat hukum secara lebih spesifik. Benar, bahwa pemberi waralaba (d.h.i. PT Howdy) telah memberi persyaratan bahwa hanya PT Howdy dan mitranya PT Brother yang boleh memasok busi di jejaring gerai bengkel PT Howdy. Busi yang boleh dipasok dinyatakan secara eksplisit di dalam perjanjian waralaba itu, yaitu merek H+H dan Bossy saja. Peraturan KPPU No. 6 Tahun 2009 mengatakan persyaratan ini berpotensi untuk melanggar UU No. 5 Tahun 1999 karena dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Namun, KPPU juga menegaskan bahwa persyaratan tersebut dapat dikecualikan (sebagi pelanggaran) sepanjang dilakukan untuk mempertahankan identitas dan reputasi dari waralaba yang biasanya dimaksudkan untuk menjaga konsep waralaba yang telah diciptakan oleh pemberi waralaba. Meskipun demikian, pemberi waralaba TIDAK BOLEH melarang penerima waralaba untuk membeli pasokan barang dan/atau jasa dari pihak lain sepanjang barang dan/atau jasa tersebut memenuhi standar kualitas yang disyaratkan oleh pemberi waralaba. Penetapan pembelian pasokan hanya dari pemberi waralaba atau pihak tertentu dapat menimbulkan hambatan bagi pelaku usaha lain yang mampu menyediakan pasokan dengan kualitas yang sama. Untuk itu, pemberi waralaba TIDAK DIPERBOLEHKAN menetapkan secara mutlak akses pembelian atau pasokan yang diperlukan oleh penerima waralaba sepanjang hal itu tidak mengganggu konsep usaha waralaba. Pada sisi inilah perjanjian [berkaitan dengan] waralaba yang notabene sudah dilakukan oleh PT Howdy dengan lebih dari 300 gerai bengkelnya menemukan titik temu dengan UU No. 5 Tahun 1999.
Kesimpulan
Perjanjian [yang berkaitan dengan] waralaba adala perjanjian yang dikecualikan dari pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1999, tetapi dalam kasus yang dilaporkan ini, pengecualian yang ditetapkan dalam Pasal 50 huruf b mengandung permasalahan karena pemberi waralaba telah melarang penerima waralaba untuk menyediakan pasokan busi merek Hondimus di gerai bengkel tersebut sesuai keinginan konsumen, yang patut diduga busi inipun telah memenuhi standar kualitas yang sama dengan pasokan busi merek H+H dan Bossy. Lain halnya jika PT Howdy dapat membuktikan bahwa kualitas dari busi Hondimus berada di bawah standar kualitas busi merek H+H dan Bossy, sehingga pemakaian busi merek Hondimus ini telah merusak indentitas dan menurunkan reputasi dari waralaba yang diberikan oleh PT Howdy. Pembuktian ini harus dimintakan oleh KPPU kepada PT Howdy.
Demikian pendapat hukum ini dibuat.
tanda tangan,
Efendy S.
Published at :