PERSEKONGKOLAN TENDER
Oleh SHIDARTA (Mei 2021)
Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari materi pembelajaran untuk peserta mata kuliah Hukum Persaingan Usaha, khususnya mengenai ketentuan Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal 22 dari undang-undang tersebut mengatur secara spesifik mengenai persekongkolan tender, bukan persekongkolan secara umum. Pasal berikutnya, yaitu Pasal 23 mengatur tentang persekongkolan untuk mendapatkan rahasia perusahaan pesaing, kemudian Pasal 24 tentang persekongkolan untuk menghambat produksi dan pemasaran produk pesaing. Dilihat dari sistematika penempatannya, maka ketentuan Pasal 24 seharusnya ditempatkan lebih awal karena berkenaan dengan kegiatan yang lebih umum dibandingkan dengan Pasal 22 dan Pasal 23.
Menurut Pasal 1 butir 8 UU No. 5 Tahun 1999, persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Jelas definisi ini tidak terlalu tepat untuk mendefinisikan persekongkolan tender. Definisi yang umum tentang persekongkolan adalah konspirasi usaha yang dilakukan oleh sesama pelaku usaha. Persekongkolan tender adalah konspirasi pelaku usaha dengan pihak lain (jadi tidak selalu pelaku usaha). Hal ini membawa konsekuensi bahwa kepentingan yang hadir di dalam persekongkolan tender tidak selalu eksklusif antar-sesama pelaku usaha, melainkan juga melibatkan oknum pejabat atau pimpinan di pemerintah pusat, daerah, badan usaha milik negara/daerah, dan/atau perusahaan swasta.
Di dalam Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) No. 02 Tahun 2010 tentang Pedoman Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender, dinyatakan bahwa pengertian tender itu mencakup tawaran mengajukan harga untuk: (1) memborong atau melaksanakan suatu pekerjaan; (2) mengadakan barang dan/atau jasa; (3) membeli suatu barang dan/atau jasa; (4) menjual suatu barang dan/atau jasa.
Atas dasar definisi tersebut, maka cakupan dasar penerapan Pasal 22 adalah tender atau tawaran mengajukan harga yang dapat dilakukan melalui: (1) tender terbuka; (2) tender terbatas; (3) pelelangan umum; dan (4) pelelangan terbatas. KPPU menegaskan bahwa pemilihan langsung dan penunjukan langsung yang merupakan bagian dari proses tender/lelang juga tercakup dalam penerapan Pasal 22 ini. Melalui Peraturan KPPU ini, berarti kata “tender” sudah diperluas oleh KPPU sehingga meliputi juga kegiatan pelelangan, pemilihan langsung, dan penunjukan langsung.
Tatkala menjelaskan tentang apa unsur dari bersekongkol yang ada di dalam Pasal 22, Peraturan KPPU No. 02 Tahun 2010 memberi definisi “bersekongkol” yang sudah keluar dari definisi “persekongkolan” versi Pasal 1 butir 8 UU No. 5 Tahun 1999. Bersekongkol versi KPPU adalah hanya untuk konteks Pasal 22, yaitu suatu kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain atas inisiatif siapapun dan dengan cara apapun dalam upaya memenangkan peserta tender tertentu. Definisi “bersekongkol” ini tentu tidak dapat digunakan untuk memaknai Pasal 23 dan 24 UU No. 5 Tahun 1999.
KPPU juga menjabarkan unsur bersekongkol itu dengan kata-kata “antara lain” dapat berupa: (1) kerja sama antara dua pihak atau lebih; (2) secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan tindakan penyesuaian dokumen dengan peserta lainnya; (3) membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan; (4) menciptakan persaingan semu; (5) menyetujui dan/atau memfasilitasi terjadinya persekongkolan; (6) tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu; (7) pemberian kesempatan eksklusif oleh penyelenggara tender atau pihak terkait secara langsung maupun tidak langsung kepada pelaku usaha yang mengikuti tender, dengan cara melawan hukum.
Lagi-lagi seperti ditemukan dalam beberapa peraturan KPPU, rincian dari suatu unsur tidak secara jelas diformulasikan apakah semua itu merupakan sub-unsur yang kumulatif atau bisa diperlakukan secara alternatif. Jika alternatif, maka cukup satu saja sudah terpenuhilah unsur bersekongkol itu. Ketidakjelasan ini karena pada rincian nomor enam tidak diakhiri dengan kata “dan” atau “atau”. Secara logis kita dapat membaca bahwa ketujuh sub-unsur bersekongkol itu berdiri sendiri-sendiri. Beberapa di antara rincian itu yang mengesankan tumpang tindih.
Kita juga tidak dapat berpegang penuh pada ketujuh subunsur itu secara pasti, mengingat KPPU mengatakan “antara lain dapat berupa”. Hal ini berarti KPPU masih membuka diri untuk kemungkinan lain di luar tujuh rincian itu. KPPU sangat mungkin berdalih bahwa memang demikianlah hakikatnya sebuah pedoman, yang sengaja tidak dibuat rigid dan mengikat.
Dalam Peraturan KPPU No. 2 Tahun 2010 digambarkan tiga skema suatu persekongkolan tender. Tiga skema itu mencakup: (1) persekongkolan horisontal; (2) persekongkolan vertikal; dan (3) persekongkolan horisontal dan vertikal.
Persekongkolan horisontal terjadi apabila sejumlah pelaku usaha atau penyedia barang/jasa mengadakan konspirasi satu sama lain, sehingga sebenarnya tidak pernah ada persaingan di antara mereka. Di luar terlihat mereka pura-pura bersaing (persaingan semu), padahal mereka sudah mengatur siapa yang akan menjadi pemenang dalam tender itu. Sebagai contoh, mereka saling membocorkan isi dokumen. Biasanya pelaku usaha yang sengaja “dikalahkan” akan diberi imbalan atas kesediaannya bekerja sama di dalam persekongkolan tersebut. Dalam persekongkolan horisontal ini, pihak panitia pengadaan barang/jasa, atau panitia lelang, atau pengguna barang/jasa, atau pimpinan proyek, tidak terlibat di dalam konspirasi ini. Apabila sudah terlibat, maka persekongkolan ini tidak lagi disebut horisontal. Ilustrasi dari persekongkolan horisontal ini adalah sebagai berikut:
Bentuk lain adalah persekongkolan tender vertikal. Di sini sudah ada keterlibatan panitia, pengguna barang/jasa, atau pimpinan proyek. Justru keterlibatan ini secara aktif dijalankan dengan cara memberi kesempatan kepada salah satu dari pelaku usaha (perserta tender/lelang) untuk memenangkan proyek tersebut. Biasanya, praktik demikian disertai imbalan-imbalan tertentu kepada pihak panitia, pengguna barang/jasa, atau pimpinan proyek. Apabila di dalam pemberian imbalan ini terdapat kerugian negara, maka dengan sendirinya perilaku demikian selain adalah persekongkolan vertikal juga merupakan tindak pidana korupsi. Sesama pelaku usaha yang menjadi peserta tender kemungkinan tidak berhubungan secara langsung satu sama lain. Gambaran dari persekongkolan vertikal ini adalah sebagai berikut:
Bentuk ketiga adalah kombinasi dari bentuk pertama dan kedua, yaitu persekongkolan horisontal dan vertikal. Beberapa pelaku usaha/penyedia barang atau jasa yang menjadi peserta tender sudah melakukan konspirasi dan hal ini direstui dan difasilitasi oleh panitia, pengguna barang/jasa, atau pimpinan proyek. Tentu pada akhirnya, siapa yang akan memenangkan tender itu sudah diatur di antara mereka. Bahkan, cukup sering peserta tender “abal-abal” ada yang sengaja diikutkan demi memperlihatkan bahwa kegiatan tender itu diikuti oleh cukup banyak peserta dan pemenangnya sudah diseleksi secara ketat. Ilustrasinya adalah sebagai berikut:
Peraturan KPPU No. 2 Tahun 2010 memberikan beberapa indikasi dari praktik persekongkolan ini, mulai dari tahap perencanaan, pembentukan panitia, prakualifikasi perusahaan, pembuatan persyaratan sebagai peserta, pengumuman tender, pengambilan dokumen tender, penentuan harga perkiraan sendiri/harga dasar lelang, penjelasan (open house), penyerahan dan pembukaan dokumen (kotak penawaran), evaluasi dan penetapan pemenang, pengumuman calon pemenang, pengajuan sanggahan, penunjukan pemenang dan penandatanganan kontrak, sampai pada tahap pelaksanaan dan evaluasi pelaksanaan.
Di dalam pedoman itu diungkapkan perilaku konspiratif yang menghambat persaingan usaha yang sehat itu, ternyata juga masih mungkin dilakukan pada tahap paling ujung. Dalam hal ini, pemenang tender ternyata mensubkontrakkan pekerjaan itu kepada perusahaan lain, atau bahkan ke rekanan pelaku usaha yang kalah di dalam tender itu. Bisa juga pelaku usaha yang memenangkan tender tetap mengerjakan proyek itu, tetapi ia sengaja mengurangi volume dan nilai proyek itu sehingga menyimpang dari komitmen awal, dan semua itu dilakukan atas dasar konspirasi dengan pihak-pihak tertentu. Memang dapat terjadi bahwa persekongkolan tender baru kemudian terbongkar setelah suatu proyek rampung dikerjakan. Melalui audit, misalnya, baru ditemukan ketidakberesan yang mengindikasikan suatu persekongkolan tender.
Pelanggaran terhadap Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 akan diganjar oleh KPPU dengan sanksi administratif berdasarkan Pasal 47, yaitu: (1) memerintahkan pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktik monopoli dan/atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat; (2) menetapkan pembayaran ganti rugi; dan/atau (3) mengenakan denda serendah-rendahnya Rp1 milyar. Semula Pasal 47 masih memberikan batasan denda maksimal sebesar Rp25 milyar, tetapi dengan UU No. 11 Tahun 2020 (Cipta Kerja) ketentuan maksimal itu sudah dihapuskan. Artinya di atas kertas, nilai denda itu mulai dari Rp1 milyar sampai tidak terbatas.
Di luar sanksi administratif, apabila kasus persekongkolan tender ini dibawa sampai ke pengadilan, maka pengadilan awalnya berwenang untuk menjatuhkan sanksi pidana atas pelanggaran Pasal 22. Namun, dengan UU No. 11 Tahun 2020, ancaman sanksi pidana yang semula terdapat dalam Pasal 48 ayat (2), sudah dihapus. Dengan hilangnya pidana pokok pada Pasal 48, maka dengan sendirinya pidana tambahan juga menjadi hilang. Ini berarti, dalam kaca mata UU No. 5 Tahun 1999, kegiatan persekongkolan tender murni merupakan pelanggaran hukum administratif, yang berbuah pada penjatuhan sanksi tindakan administratif oleh KPPU.
Oleh karena dampak dari konspirasi di dalam persekongkolan tender ini demikian destruktifnya bagi masyarakat luas, maka sudah selayaknya sanksi pidana masih terbuka untuk disematkan kepada pihak-pihak yang terlibat. Mungkin kali ini tidak dengan UU No 5 Tahun 1999, melainkan dengan peraturan perundang-undangan lain. Putusan KPPU selayaknya menjadi aktivator penegak hukum pidana untuk menindaklanjuti suatu kasus persekongkolan tender agar rezim hukum pidana juga tetap terbuka untuk diterapkan. (***)
Published at :