PART II: PELANGGARAN-PELANGGARAN PT. SUMALINDO LESTARI JAYA TBK DAN KRITIK TERHADAP PASAL 138 – 141 UUPT
Oleh AGUS RIYANTO dan MIRANDA CAROLINA
(Lanjutan dari PART I)
Selain peraturan yang dilanggar dalam masing-masing tindakan tersebut, seluruh pelanggaran itu secara bersama juga membuat SULI melanggar Pasal 97 ayat (1) dan (2) dan Pasal 102 ayat (1) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 97 ayat (1) dan (2) mengatur bahwa direksi bertanggung jawab mengurus perseroan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Ketidakhati-hatian dan pelanggaran ketentuan yang dilakukan direksi dalam menjalankan perusahaan praktis membuat PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk (para pemegang sahamnya) harus mengalami kerugian. Adapun pasal 102 ayat (1) menuntut perseroan untuk meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan kekayaan perseroan atau menjadikan kekayaan perseroan sebagai jaminan utang jika nilainya lebih dari 50% seluruh kekayaan bersih perseroan, dalam 1 atau lebih transaksi, baik yang berkaitan maupun tidak. Dalam penjelasannya diuraikan bahwa hal ini berarti direksi memiliki kewajiban meminta persetujuan RUPS terlebih dahulu jika ingin mengalihkan atau menjaminkan aset perseroan sebagai jaminan utang dalam satu atau lebih transaksi (tidak harus saling berkaitan) yang jika dihitung secara kumulatif adalah lebih dari 50% kekayaan perseroan.
Para pemegang saham dibiarkan berlarut-larut dalam kecurigaan akan aktivitas-aktivitas PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk. Alhasil, pemegang saham publiknya: Deddy Hartawan Jamin dan Imani United Pte.Ltd kemudian bersama-sama mengajukan permohonan pemeriksaan atas PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk berupa audit terhadap pembukuan perusahaan dan audit terkait industri kehutanannya.[1] Para pemegang saham, terutama pemegang saham minoritas telah berulang kali mempertanyakan alasan logis dan jelas dibalik tindakan-tindakan direksi dan komisaris yang merugikan SULI, namun mereka tidak pernah mendapat kejelasan. Upaya membuka RUPS pun selalu digagalkan oleh para pemegang saham mayoritas yang mendukung direksi dan dewan komisaris perusahaan.[2] Sejumlah RUPSLB yang berusaha dilakukan untuk meminta kejelasan adalah pada 9 Maret 2009, 15 Oktober 2009, dan 21 September 2010. Adapula RUPS tahunan untuk tahun 2008 pada 22 Mei 2009, serta surat para pemegang saham minoritas tanggal 21 Juli 2010 dan surat tanggal 1 September 2010.[3]
Dengan dugaan-dugaan yang ada yang memang sulit ditutupi lagi, para pemegang saham berniat menggugat SULI dan para pihak manajemen yang terlibat. Namun pertama-tama, mereka harus mengumpulkan bukti yang pasti untuk membuktikan dalil-dalilnya, dibandingkan sekadar kecurigaan saja. Pasal 138 ayat (1) UU No. 40 tahun 2007 tentang PT menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap perseroan mungkin dilakukan dengan tujuan memperoleh data atau keterangan ketika terdapat dugaan bahwa perseroan, anggota direksi, atau dewan komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang sahamnya atau perseroan atau pihak ketiga. Pasal 138 ayat (3) mengatur permohonan pemeriksaan terhadap perseroan yang dapat dilakukan oleh 1 atau lebih pemegang saham yang memiliki setidaknya 1/10 (sepersepuluh) atau 10% dari total saham dengan hak suara di perusahaan. Dalam hal ini, Deddy Hartawan Jamin memiliki saham sebanyak 210.500.000 (dua ratus sepuluh juta lima ratus ribu) lembar saham, atau sebanyak 8,52% saham dengan hak suara[4] dan Imani United Pte.Ltd memiliki 130.000.000 (seratus tiga puluh juta) lembar saham atau setara dengan 5,26% saham dengan hak suara[5], yang jika digabungkan, keduanya memiliki 13,78% saham yang memenuhi Pasal 138 ayat (3) tersebut. Sebagai syarat, Pasal 138 ayat (4) menetapkan bahwa untuk mengajukan permohonan ini pemohon terlebih dahulu harus meminta data atau keterangan ini kepada Perseroan dalam sebuah RUPS dan yang terjadi adalah perseroan menolak memberikannya. Ini pun telah dipenuhi oleh para pemegang saham.
Permohonan itu diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 10 Januari 2011[6] yang kemudian berbuah baik. Pada 28 April 2011[7], majelis hakim mengabulkan permohonan tersebut[8] melalui penetapan pengadilan No. 38/Pdt.P/2011/PN.Jak.Sel.[9] Pengadilan memerintahkan audit terhadap pembukuan perusahaan dan audit industri kehutanannya oleh para ahli yang diminta. Anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan semua karyawan perseroan diwajibkan untuk memberikan semua data dan keterangan yang diperlukan untuk pemeriksaan oleh Pasal 139 ayat (6), dan Pasal 139 ayat (5) memberi hak pada ahli yang ditunjuk untuk memeriksa semua dokumen dan kekayaan perseroan yang dianggapnya perlu diketahui.
Secara kronologis, setelah penetapan pengadilan No. 38/Pdt.P/2011/PN.Jak.Sel itu dikeluarkan, SULI tidak mengikuti dan tidak menunjukkan itikad baik[10], dan justru mengajukan kasasi atas penetapan itu pada 9 Mei 2011[11]. Berbeda dengan gugatan umumnya yang menghasilkan putusan dan membuka upaya hukum banding, upaya hukum terhadap penetapan pengadilan yang berawal dari permohonan adalah kasasi berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.[12] Sehingga memang tidak ada langkah hukum yang terlewat. Upaya kasasi ini ditolak oleh MA pada 12 September 2012 dengan putusan pengadilan No. 3017 K/Pdt/2011.[13] Dengan kasasi yang ditolak, upaya pertahanan SULI tidak berhenti sampai disana. Mereka menolak menyerah dan ‘disalahkan’ dengan mengajukan peninjauan kembali (PK) pada 6 Desember 2013 dan singkatnya, upaya ini lagi-lagi ditolak pada 6 Oktober 2015 dengan putusan pengadilan No. 217/PK/Pdt/2014.[14] Dengan kemajuan sampai sini, meski butuh sekitar 5 tahun dari tahun 2009 sampai 2014, praktis kita dapat melihat bahwa pengadilan setuju bahwa SULI secara terang melakukan hal-hal mencurigakan yang berpotensi merugikan perusahaan dan pemegang sahamnya, karena perlawanannya akan penetapan pemeriksaan selalu ditolak oleh pengadilan.
Namun keadaan ternyata berbalik saat gugatan Deddy Hartawan Jamin terhadap SULI dan anggota direksi serta pemegang saham mayoritasnya tidak dikabulkan oleh Pengadilan. Deddy Hartawan Jamin menuntut ganti rugi senilai 18,7 triliun rupiah yang akan dikembalikan kepada PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk karena memang dinilai merupakan hak perusahaan yang disalahgunakan. Gugatan diajukan pada tanggal 2 Januari 2013, dan putusannya dikeluarkan pada tanggal 28 November 2013,[15] dengan majelis hakim yang berpendapat bahwa gugatan tersebut dinilai tidak jelas dan kabur, sehingga tidak dapat diterima.[16] Hal ini sungguh sangat disayangkan dan dapat dikatakan menjadi sejarah dan presden buruk bagi para pemegang saham publik minoritas dalam memperjuangkan haknya yang kerap kali tertindas. Pemegang saham minoritas harus berjuang dengan gugatannya dengan merogoh dananya sendiri ketika ia nyata-nyata membela hak perusahaan yang terabaikan. Belum lagi waktu yang lama dan usaha yang tidak mudah untuk mengajukan gugatan dan mengikuti prosedurnya membuat banyak pemegang saham seringkali hanya bisa menutup mata ketika direksi dan pemegang saham mayoritas melakukan sejumlah kecurangan dan pelanggaran. Kasus SULI ini memotret dan membuktikan betapa lemahnya kekuatan pemegang saham minoritas, baik di dalam perusahaan maupun di hadapan hukum.
Hal ini apabila dianalisis dari segi hukumnya, maka tergambar beberapa kejanggalan yang menerangkan bahwa sesungguhnya hukum yang ada saat ini belumlah memadai. Pasal 139 ayat (6) memang telah mewajibkan anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan semua karyawan perseroan untuk memberikan semua data dan keterangan yang diperlukan untuk pemeriksaan. Namun jika keseluruhan UU No. 40 tahun 2007 dilihat, maka tak ada satupun pasal yang memberikan sanksi atas pelanggaran kewajiban yang tercantum dalam Pasal 139 ayat (6) tersebut. Ini adalah suatu kesalahan yang cukup fatal bagi hukum untuk memberikan kewajiban tanpa sanksi atas pengingkaran kewajibannya. Pasal 139 ayat (5) pun juga hanya secara idealis memberi hak pada ahli yang ditunjuk untuk memeriksa semua dokumen dan kekayaan perseroan yang dianggapnya perlu diketahui. Secara realistis, tak diberikan prosedur atau hak lain yang melekat pada ahli yang ditunjuk ketika ia harus memeriksa perseroan yang menjadi tugasnya itu. Ketika perseroan yang harus diperiksa kemudian menolak memberikan dokumen dan data-data terkait kekayaannya kepadanya, tak ada upaya hukum dan/atau bantuan dari pihak polisi, jaksa, atau hakim yang dapat dimintakan oleh sang ahli. Maka, pemeriksaan terhadap perusahaan, jikapun dikabulkan oleh pengadilan, eksekusinya sangat bergantung kepada itikad baik dan kooperasi setiap unsur dalam perusahaan.[17] Padahal jika dipikir dengan akal sehat, jika perusahaan benar melakukan kecurangan, dan pemegang saham yang mencurigainya membutuhkan bukti untuk dapat menggugat perusahaan, sedang bukti tersebut hanya dapat diperoleh melalui pemeriksaan, apakah ada perusahaan yang akan bekerja sama dengan pemeriksaan tersebut untuk membongkar kecurangannya sendiri?
Lebih lanjut, masih ada intervensi dari ketua pengadilan negeri untuk menerima laporan hasil pemeriksaan dari ahli dan memberikannya kepada pemohon dan perseroan (Pasal 140 UU No. 40 tahun 2007). Hal ini tentu cukup berbelit-belit. Lagi-lagi, ketentuan ini tidak mengatur lebih dalam upaya lanjutan yang dapat dilakukan oleh para pihak (umumnya pemohon) ketika pemeriksaan ternyata tidak terwujud atau ketika laporan hasil pemeriksaan tidak disampaikan kepadanya. Ada kekosongan yang membawa pemohon kepada jalan buntu dalam memperjuangkan haknya.[18] Sebenarnya jika dilihat lagi pun, prosedur yang diberikan tidak lengkap dan menimbulkan keheranan. Jika memang Pasal 138 sampai Pasal 141 UU No. 40 tahun 2007 tentang PT yang mengatur mengenai pemeriksaan perseroan adalah untuk memberikan bukti bilamana ada kecurigaan bahwa perseroan, anggota direksi, atau dewan komisaris melakukan perbuatan hukum yang merugikan para pemegang saham atau perseroan sendiri atau pihak ketiga, mengapa tidak diatur sekaligus bahwa bukti berupa laporan pemeriksaan tersebut dapat langsung diproses untuk gugatan? Atau lebih baik, mengapa Bab IX UU PT ini tidak langsung mengatur mengenai gugatan terhadap perseroan dalam hal muncul kecurigaan, dengan cara memperoleh buktinya adalah melalui pemeriksaan?
Tidak diakomodasikannya hal-hal tersebut dalam hukum nasional yang ada saat inilah yang membuat gugatan Deddy Hartawan Jamin di tahun 2013 tersebut gagal. Padahal izin pemeriksaan terhadap SULI yang diperkuat dengan penolakan gugatan kasasi dan permohonan peninjauan kembali oleh SULI mengindikasikan bahwa memang tiga tingkat pengadilan yang memeriksa perkara ini setuju bahwa ada sesuatu yang salah dan mencurigakan dari tindakan SULI, tetapi tidak mudah dibuktikan. Namun digagalkannya gugatan di tahun 2013 ini seakan mencemooh ketiga keputusan sebelumnya sebagai kemenangan semu di atas kertas belaka yang tidak berarti apapun. Ada subjektivitas di antara para hakim dalam persoalan hukum menyangkut perusahaan, terlebih terkait dasar hukum yang digunakan ini. Diperburuk dengan substansi hukum yang juga tidak menyeluruh, tidak menawarkan kepastian hukum, dan berbelit-belit prosedurnya, menjadikan persoalan hukum menyangkut perseroan cukup sulit memenuhi rasa keadilan. Para pemegang saham, khususnya pemegang saham minoritas yang mengalami penindasan atau kecurangan kerap kali harus memilih menelan pahit tanpa dapat melakukan apapun. Proses hukum yang memakan waktu bertahun-tahun, tanpa kejelasan peraturan dan hanya bergantung pada subjektivitas hakim, tanpa jaminan kemenangan, dan biaya yang tidak sedikit adalah contoh hambatan yang mempersulit para pemegang saham dalam memperjuangkan haknya di perseroan. SULI pada akhirnya dapat lolos dari tuntutan ganti rugi yang diajukan pemegang saham minoritas untuk mempertanggungjawabkan berbagai pelanggarannya, bahkan setelah terdapat tiga keputusan yang mengindikasikan bahwa SULI memang patut diurai dipertanyakan dan ini menimbulkan anomali yang tidak mudah diterima secara nalar.
Sejarah kasus pelanggaran-pelanggaran oleh SULI yang merugikan para pemegang sahamnya menjadi pelajaran bagi perusahaan untuk lebih berhati-hati dan menjunjung tinggi integritas identitasnya serta kepercayaan para pemegang sahamnya. Melalui transaksi pemberian utang tanpa jaminan dan pembelian ZCB dari PT Sumalindo Hutani Jaya Tbk ketika dirinya masih melaporkan keadaan merugi kepada pemegang sahamnya dan tanpa persetujuan RUPS; transaksi pengalihan ZCB tersebut kepada Marshall Enterprise Ltd tanpa persetujuan RUPS dan dengan nilai yang mencurigakan; transaksi divestasi 100% sahamnya di PT Sumalindo Hutani Jaya Tbk yang merupakan lahan investasi potensial kepada PT Tjiwi Kimia sebesar 60% tanpa persetujuan RUPS; sampai tindakan inbreng asetnya berupa Hutan Tanaman Industri kepada PT Sumalindo Alam Lestari yang merupakan anak perusahaannya, lagi-lagi tanpa persetujuan RUPS; direksi dan komisaris SULI yang didukung kuat oleh pemegang saham mayoritas membuktikan penyalahgunaan wewenangnya dalam mengelola kekayaan perseroan. Berbagai cara berusaha ditempuh para pemegang saham untuk memperoleh kejelasan alasan dibalik tindakan mencurigakan tersebut selalu digagalkan. Dalam hal ini sudah seharusnya para pemegang saham juga diajak lebih peka dan aktif (shareholders activism) dalam melihat dan memperhatikan tindakan-tindakan perusahaannya.
Penggunaan Pasal 138 sampai 141 UU No. 40 tahun 2007 tentang PT dalam memohon pemeriksaan bagi perseroan dalam hal timbul kecurigaan adanya perbuatan melanggar hukum yang merugikan sekilas tampak menjanjikan dalam melindungi hak pemegang saham. Namun nyatanya, Pasal ini justru sangat berantakan dan cenderung tidak berguna dalam memberikan keadilan bagi para pemegang saham yang dirugikan, dengan contoh nyatanya terlihat melalui kasus PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk ini. Pasal tersebut tidak memberi sanksi jikapun perusahaan menolak memberi data dan keterangan untuk pemeriksaan, dan tidak menyediakan upaya lanjutan dan prosedur untuk melakukan pemeriksaan, dan sesungguhnya malah memperpanjang proses pengajuan gugatan ketika pasal ini seharusnya dapat langsung mengakomodasi gugatan.
Di Indonesia penanganan perbuatan melawan hukum oleh korporasi (dengan belajar kasus SULI), terlebih yang berkaitan dengan ketidakadilan yang dirasakan pemegang saham publik minoritas cukup mengecewakan. Pengaturan hukum yang ada belum dapat memberi kepastian, masih adanya unsur subjektivitas operator hukum, dan substansi hukum yang tampaknya masih sangat kurang memadai menjadi rintangan yang perlu sesegera mungkin dibenahi untuk dapat memperkuat iklim usaha yang sehat. Memang, cukup sulit melakukan ini karena masih banyak pertentangan mengenai konsep dan indikator kapankah suatu perusahaan melakukan pelanggaran yang merugikan pemegang saham minoritasnya. Akan tetapi, hukum dituntut untuk dapat selalu dinamis dan mampu mengakomodasi pergerakan zaman yang cepat. Tidak berhenti pada prosedural dan kakunya hukum itu dijalankan tanpa melihat betapa menderitanya pemegang saham minoritas untuk dapat memperoleh hak-haknya. Sungguh pedih kesemuanya ini (***).
[1] Indra Abidin Nasri, “Belajar dari Kemelut Sumalindo,” diakses pada 21 Januari 2021 dalam https://www.republika.co.id/berita/mwikuz/belajar-dari-kemelut-sumalindo.
[2] Ibid.
[3] Lintang Agustina Roesadi, Budiharto, dan Rinitami Njatrijani, Op.Cit., hlm. 10-11.
[4] Fayreizha Destika Putri, Budiharto, dan Siti Mahmudah, “Tanggung Jawab Direksi dalam Hal Terjadi Pelanggaran Prinsip Keterbukaan pada Kasus PT. Sumalindo Lestari Jaya Tbk,” Diponegoro Law Journal 6, no. 2 (2017): 4.
[5] Fayreizha Destika Putri, Budiharto, dan Siti Mahmudah, Loc.Cit.
[6] Irvan, “Kedudukan Pemegang Saham Minoritas dalam Rapat Umum Pemegang Saham terkait dengan Pelaksanaan Gugatan Derivatif,” (Tesis Magister Ilmu Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2015), 73.
[7] Aulia Taufik, Op.Cit., hlm. 69.
[8] Indra Abidin Nasri, Loc.Cit.
[9] Dede Suryana, “Putusan MA Final, SULI Dinilai Melanggar,” diakses 24 Januari 2021 dalam https://news.okezone. com/read/2013/03/05/339/771367/putusan-ma-final-suli-dinilai-melanggar.
[10] Heri Ruslan, “Jalan Panjang Pemegang Saham Publik Mencari Keadilan,” diakses 24 Januari 2021 dalam https://republika.co.id/berita/mvvdbl/jalan-panjang-pemegang-saham-publik-mencari-keadilan.
[11] Lihat dalam Putusan No. 3017 K/Pdt/2011 halaman 24-25.
[12] Sovia Hasanah, “Upaya Hukum terhadap Penetapan Pengadilan,” diakses pada 24 Januari 2021 dalam https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt591a552ec941d/upaya-hukum-terhadap-penetapan-pengadilan/.
[13] Lihat dalam Putusan No. 3017 K/Pdt/2011 halaman 48.
[14] Lihat dalam Putusan No. 217/PK/Pdt/2014 halaman 22-34.
[15] Lihat dalam Putusan No. 02/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel. halaman 3 dan 222.
[16] Yudho Winarto, “Gugatan Sengketa Saham SULI Kandas,” diakses 25 Januari 2021 dalam https://nasional.kontan. co.id/news/gugatan-sengketa-saham-suli-kandas.
[17] Muhammad Syaifuddin, “Gagasan Pengaturan Hukum Pemeriksaan Perseroan Terbatas (Suatu Evaluasi Normatif terhadap Pasal 138-Pasal 141 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas),” Jurnal Dinamika Hukum 11, no. 2 (Mei 2011): 280.
[18] Ibid., hlm. 281.
Published at :