PART I: PELANGGARAN-PELANGGARAN PT. SUMALINDO LESTARI JAYA TBK DAN KRITIK TERHADAP PASAL 138 – 141 UUPT
Oleh AGUS RIYANTO dan MIRANDA CAROLINA (Maret 2021)
PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk (SULI) merupakan perusahaan terbuka yang besar dan terbilang cukup sukses, namun ternyata gagal memberikan rasa keamanan dan kepercayaan para pemegang sahamnya. Berbagai alasan digunakannya untuk dapat melancarkan sejumlah pelanggaran yang dilakukannya, termasuk pemberian utang tanpa jaminan pengembalian ketika perusahaan sedang merugi, pembelian Zero Coupon Bond (ZCB) dari anak perusahaannya, penjualan kembali ZCB tersebut, divestasi seluruh sahamnya sebesar 60% di anak perusahaannya, serta inbreng aset ke anak perusahaannya, yang seluruhnya dilakukan tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Setelah berbagai forum RUPS sudah diusahakan oleh pemegang saham minoritas, namun selalu digagalkan, akhirnya permohonan pemeriksaan terhadap perseroan dilancarkan. Namun, SULI menolak membuka data dan dokumen perusahaan. Gugatan untuk meminta ganti rugi kembali dilancarkan sekali lagi oleh pemegang saham minoritasnya pada tahun 2013, namun mengejutkannya, gugatan ini ditolak dengan dalih subjektivitas hakim serta penggunaan Pasal 138 sampai 141 UU PT. Pasal-pasal tersebut yang menjadikan dasar permohonan pemeriksaan SULI justru berbelit-belit, gagal menjamin kepastian hukum, dan pada akhirnya menyulitkan pemegang saham minoritas dalam memperjuangkan hak-haknya. Semuanya menjadi tanda tanya besar oleh karenanya.
Di zaman modern ini, Perseroan Terbatas (PT) sebagai badan usaha yang berbadan hukum merupakan bentuk usaha yang paling banyak dipilih untuk melakukan kegiatan ekonomi dan bisnis. Hal ini bukan tanpa alasan. Sebagai badan usaha yang berbadan hukum, PT diakui sebagai subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan sendiri, dan memiliki hartanya sendiri. Ada kredibilitas dan jaminan peraturan yang dapat mempermudah penyelesaian masalah dan panduan menjalankan PT. Ini juga dapat menarik investor dan mitra eksternal lainnya untuk bekerja sama. Tak hanya itu, PT juga merupakan badan usaha yang modern dengan pembagian tugas dan wewenang antar organ-organnya yang jelas. Terakhir, keunggulan PT yang paling menguntungkan adalah karena tanggung jawab pemegang saham sebagai pemiliknya terbatas, yakni hanya sebesar saham yang mereka miliki, berbeda dengan jenis badan usaha lain yang tanggung jawab pemiliknya tidak terbatas dan dapat mengancam harta pribadi ketika terjadi masalah keuangan.[1] Namun, berkembangnya bisnis dan semakin diminatinya bentuk PT juga membuat masalah dan kasus-kasus yang timbul di dalamnya semakin rumit dan baru. Ada saja celah-celah yang dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan finansial sebesar-besarnya meski dengan cara ‘mencurangi’ orang lain. Sebagai sebuah subjek hukum tentu PT dapat melakukan perbuatan atas namanya sendiri. Namun harus disadari pula bahwa PT hanya dapat melakukan tindakan melalui direksinya, meski tanggung jawabnya ada pada institusi PT tersebut.[2] Sehingga tak jarang, kecurangan-kecurangan justru dilakukan oleh jajaran direksi yang seharusnya memberikan pertanggunjawaban atas setiap perbuatannya dalam PT kepada para pemilik PT, yakni para pemegang saham. Alhasil, direksi menjadi pihak yang merugikan dan mengecewakan para pemegang saham.
Pasal 1 angka 5 UU No. 40 tahun 2007 tentang PT menyatakan bahwa direksi adalah organ perseroan yang memiliki wewenang dan tanggung jawab penuh untuk mengurus perseroan bagi kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan itu, serta mewakili perseroan di dalam dan di luar pengadilan sesuai ketentuan anggaran dasar. Dalam menjalankan posisinya itu, direksi diawasi oleh dewan komisaris (Pasal 1 angka 6 UU No. 40 tahun 2007). Sebagai organ yang bertanggung jawab mengurus perseroan untuk kepentingan perseroan, sudah sepantasnyalah setiap tindakan yang dilakukan direksi dalam perseroan adalah untuk menguntungkan perseroan itu dan bukan sebaliknya. Salah satu perseroan terbuka yang besar di Indonesia adalah SULI, atau yang sekarang mengganti namanya menjadi PT SLJ Global Tbk. SULI adalah perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan, perindustrian, dan pertambangan.[3] Namun, besarnya nama perusahaan ini tidak membuatnya menjadi semakin dapat melindungi para pemiliknya. Perusahaan justru patutlah di duga telah ‘mencederai’ kepercayaan pemegang sahamnya dengan melakukan sejumlah pelanggaran yang tak sepantasnya dilakukannya. Terhadap berbagai pelanggaran tersebut pemegang saham minoritas pun tak tinggal diam. Mereka memutuskan mengajukan permohonan pemeriksaan dan gugatan yang kemudian juga ditahan oleh SULI dengan sejumlah upaya hukum lain. Melalui paper ini, akan dibahas sejumlah pelanggaran yang dilakukan PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk, serta upaya hukum yang dilakukan para pihak. Untuk itu akan menganalisis kronologi kasus yang ditandai dengan penetapan pengadilan No. 38/Pdt.P/2011/PN.Jak.Sel, putusan pengadilan No. 3017 K/Pdt/2011, diikuti dengan putusan pengadilan No. 217/PK /Pdt /2014, dan putusan pengadilan No. 02/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel, sekaligus kelanjutan dari berbagai upaya hukum yang dilakukan. Terakhir, akan menganalisis kritik terhadap dasar hukum dari upaya hukum awalnya: permohonan pemeriksaan perseroan, yaitu Pasal 138 sampai Pasal 141 UU No. 40 tahun 2007 tentang PT. Adapun yang akan menjadi pembahasan pertama, pelanggaran-pelanggaran transaksi apa saja yang dilakukan oleh SULI ? dan kedua, bagaimanakah tindak lanjut dari dikabulkannya permohonan pemeriksaan oleh Pengadilan dan pendapat mengenai dasar hukum Pasal 138 sampai 141 UU No. 40 tahun 2007 tentang PT yang digunakan?
Kecurigaan terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh SULI berakar dari kerugian yang terjadi selama tahun buku 2008, sehingga para pemegang saham tidak mendapatkan pembagian keuntungan atau yang dikenal “dividen”. Hal ini sesungguhnya adalah hal yang sah dan wajar. Namun tindakan SULI setelah ini lah yang menjadikannya tidak wajar. Pada tanggal 1 Juli 2009, jajaran direksi dan dewan komisaris SULI memutuskan membeli ZCB (Zero Coupon Bond) dengan nominal Rp 140.254.908.652,- atau setara dengan 140 miliar dari anak perusahaannya, yakni PT Sumalindo Hutani Jaya Tbk. ZCB adalah obligasi tanpa bunga atau dengan kata lain, pemberian utang tanpa jaminan pengembalian. Secara kasat mata pun hal ini menimbulkan pertanyaan besar. Hanya dengan jeda waktu sekitar 2 minggu, ZCB ini kemudian justru dijual kembali kepada Marshall Enterprise Ltd. (melalui perjanjian pengikatan diri untuk melakukan jual beli saham No. 61 tanggal 15 Juli 2009)[4], yang juga anak perusahaan PT Tjiwi Kimia dengan harga yang nyaris sama, yakni US$14.000.000,- yang diselesaikan melalui jalan pembayaran bertahap.[5] Pertama, pembelian dan pengalihan ZCB ini tidak diberitahukan dan disetujui dalam RUPS, melainkan langsung dilakukan tanpa sepengetahuan RUPS terelebih dahulu. Kedua, pemberian utang oleh SULI kepada perusahaan lain ketika dirinya juga sedang mengalami kerugian hanyalah tidak logis. Ketiga, bahkan utang yang diberikan ini adalah utang tanpa jaminan pengembalian. Jika tidak ada jaminan sang debitur membayar utang kreditur, selain alasan adalah amal, untuk apakah sang kreditur memberikan pinjaman? SULI adalah sebuah perusahaan yang mencari keuntungan ekonomis. Tidak terdapat keuntungan yang diperoleh perusahaan dengan melakukan hal ini, bahkan justru perusahaan mengalami kerugian. Sehingga jikapun transaksi ini dilakukan dengan ‘niat baik’ bagi anak perusahaan, menjadi keharusan bagi direksi untuk menanyakan pendapat para pemilik (pemegang saham) perusahaan. Tidak dilakukannya hal inilah yang telah memancing tanda tanya besar bagi para pemegang sahamnya.
Transaksi ini baru diketahui para pemegang saham publik dari surat edaran yang diberikan tanggal 13 Oktober 2009 tentang keterbukaan informasi (sebagai perbaikan surat edaran tanggal 15 September 2009)[6], lebih dari 3 bulan setelah transaksi itu sendiri dilakukan, dan dari prospektus[7] SULI 9 Maret 2010. RUPSLB pun baru dilakukan pada 15 Oktober 2009.[8] Tindakan itu merupakan pelanggaran atas Pasal 11 ayat (1) huruf d POJK No. 42/POJK.04/2020 tentang Transaksi Afiliasi dan Transaksi Benturan Kepentingan, yang mewajibkan perusahaan terbuka yang melakukan transaksi benturan kepentingan untuk terlebih dahulu mendapat persetujuan pemegang saham independen dalam RUPS. Peraturan ini mendefinisikan transaksi benturan kepentingan dalam Pasal 1 angka 5 sebagai transaksi yang dilakukan oleh perusahaan terbuka atau perusahaan terkendali dengan semua pihak, baik itu afiliasi atau pihak lain yang bukan afiliasi yang merupakan benturan kepentingan. Sedang benturan kepentingan sendiri didefinisikan dalam angka 4-nya sebagai perbedaan kepentingan ekonomis antara perusahaan dan kepentingan ekonomis pribadi anggota direksi, anggota dewan komisaris, pemegang saham utama, atau pengendali yang dapat merugikan perusahaan itu. Pemegang saham independen sendiri didefinisikan melalui Pasal 1 angka 9 sebagai pemegang saham yang tidak memiliki kepentingan ekonomis bagi diri pribadinya berkaitan dengan suatu transaksi tertentu, dan bukan merupakan anggota atau afiliasi dari direksi, dewan komisaris, pemegang saham utama, dan pengendali. Sederhananya, pemegang saham independen yang boleh menyatakan pendapat dalam RUPS terkait transaksi benturan kepentingan adalah yang tidak memiliki benturan kepentingan terkait transaksi itu atau yang berpihak hanya pada perusahaan tersebut dalam konteks benturan kepentingannya. Hal ini adalah logis mengingat transaksi benturan kepentingan seringkali tidak begitu menguntungkan perusahaan, melainkan hanya segelintir pihak dalam perusahaan saja.[9]
Tak hanya itu, transaksi ini juga dapat dikategorikan sebagai transaksi material, yang menurut Keputusan Ketua Bapepam No.Kep-2/PM/2001, Peraturan No. IX.E.2 angka 2 haruslah dilakukan dengan mendapat persetujuan RUPS terlebih dahulu. Angka 1 peraturan ini mendefinisikan transaksi material sebagai setiap pembelian, penjualan atau penyertaan saham, dan/atau pembelian, penjualan, pengalihan, tukar menukar aktiva atau segmen usaha, yang besarnya sama atau lebih dari 10% pendapatan perusahaan atau 20% dari ekuitas. Neraca konsolidasi SULI tanggal 30 September 2009 menyatakan adanya ekuitas bersih senilai Rp 179.311.000.000,- dan pendapatan usaha sampai periode itu adalah sebesar Rp 428.779.000.000,-. Maka dilakukannya pembelian dan pengalihan ini melanggar Keputusan Ketua Bapepam No.Kep-2/PM/2001, Peraturan No. IX.E.2 juga. Kembali sedikit, sebagai transaksi material, transaksi pembelian ZCB ini sekaligus melanggar Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 41/POJK.04/2020 yang mengharuskan transaksi afiliasi yang dilakukan perusahaan terbuka untuk memperoleh persetujuan RUPS terlebih dahulu jika nilainya memenuhi batas transaksi material, dapat mengganggu berjalannya kehidupan perusahaan, dan/atau transaksi yang dinilai OJK membutuhkan persetujuan RUPS. Selain memenuhi batas transaksi material, karena dilakukan ketika perusahaan sedang merugi, tindakan SULI praktis dapat mengganggu kelangsungan usaha perusahaan.
Pelanggaran kedua SULI dilakukan pada 15 Juli 2009 melalui para direksinya, yang juga disetujui oleh dewan komisaris. Mereka menjual 60% saham perusahaan, yakni sebanyak 7.201.500 lembar saham di PT Sumalindo Hutani Jaya Tbk, kepada PT Tjiwi Kimia. Saham ini dijual dengan harga Rp 7.201.500.000,- atau setara dengan 7 miliar. Hal ini dilakukan lagi-lagi tanpa persetujuan RUPS meskipun merupakan transaksi yang sangat penting. Saham sebesar 60% praktis menjadikan SULI menjadi pemegang saham mayoritas pada PT Sumalindo Hutani Jaya Tbk, anak perusahaannya itu. Namun tindakan pelepasan saham ini sekali lagi memancing pertanyaan karena PT Sumalindo Hutani Jaya Tbk merupakan ladang investasi potensial. PT Sumalindo Hutani Jaya Tbk berkaitan erat dengan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang sangat bernilai material. Melepaskan kepemilikan pada PT Sumalindo Hutani Jaya Tbk, karenanya menjadi tindakan yang tidak beralasan. Lagi-lagi, para pemegang saham baru mengetahui hal ini pada RUPSLB tanggal 15 Oktober 2009, yang meski dipertanyakan keterbukaannya, tidak didapat hasil yang baik. Masih sama dengan transaksi ZCB sebelumnya, karena dilakukan saat perusahaan sedang merugi, tindakan ini melanggar Pasal 4 ayat (1) huruf d, dan merupakan transaksi benturan kepentingan yang berpotensi merugikan perusahaan, tindakan ini juga melanggar Pasal 11 ayat (1) huruf d POJK No. 42/POJK.04/2020.
Pelanggaran selanjutnya SULI adalah dilakukannya inbreng asetnya berupa Hutan Tanaman Industri dengan PT Sumalindo Alam Lestari.[10] Transaksi ini mencapai nilai Rp 229.765.000.000,- atau hampir mencapai 230 miliar dengan luas hutan mencapai 36.576 Ha. Dapat ditebak, PT Sumalindo Alam Lestari merupakan anak perusahaan dari PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk, dengan PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk sebagai pemegang saham mayoritas yang menguasai 99,98% sahamnya.[11] Menilik lebih jauh ke dalam struktur kepengurusan masing-masing perusahaan dapat dilihat pula bahwa ternyata David yang merupakan wakil presiden direktur di SULI adalah juga komisaris pada PT Sumalindo Alam Lestari. Maka transaksi ini patut dicurigai merupakan transaksi afiliasi sekaligus transaksi benturan kepentingan.[12] Inbreng aset adalah istilah ketika pemegang saham menyetorkan modal dalam bentuk aset pribadi ke dalam harta kekayaan PT, yang lalu dihitung menjadi saham.[13] Sederhananya, hal ini berarti SULI yang telah memegang 99,98% saham PT Sumalindo Alam Lestari, memasukkan asetnya berupa Hutan Tanaman Industri seluas 36.576 Ha menjadi modal bagi PT Sumalindo Alam Lestari, atau sama artinya, diberikan secara ‘cuma-cuma’ dan berakibat kepada menurunkan nilainya perusahaan.[14] Tindakan ini pun tidak dilakukan dengan mendapat persetujuan pemegang saham dalam RUPS tahunan atau RUPSLB tahun 2008-2009, namun bahkan sekadar diberitahukan secara tertulis. Para pemegang saham baru mengetahui tindakan ini setelah ada informasi dari Bapepam sendiri, pada 18 Agustus 2010, berdasarkan surat No. 148/SLI/DIR/YLC/JKT/2010.[15]Sebagai transaksi benturan kepentingan, inbreng aset ini melanggar Pasal 11 ayat (1) huruf d POJK No. 42/POJK.04/2020. Sebagai transaksi material, dilanggar pula Keputusan Ketua Bapepam No.Kep-2/PM/2001, Peraturan No. IX.E.2 angka 2. Terakhir, sebagai transaksi afiliasi yang merupakan transaksi material secara bersamaan dilanggar pula Pasal 4 ayat (1) huruf d POJK No. 42/POJK.04/2020.
Baca Part II: Pelanggaran-pelanggaran PT Sumalindo Lestari Jaya TBK
[1] Agus Riyanto, 2017, “Mengapa Harus Memilih Perseroan Terbatas,” diakses pada 3 Desember 2020 dalam https://business-law.binus.ac.id/2017/10/31/mengapa-harus-memilih-perseroan-terbatas/.
[2] Audia Adilah Putri, Hendro Saptono, dan Siti Mahmudah, “Tanggung Jawab Direksi terhadap Perseroan Terbatas (PT) yang Belum Berstatus Badan Hukum Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007,” Diponegoro Law Review 5, no. 2 (2016): 2.
[3] PT SLJ Global Tbk, “Riwayat Singkat Perseroan,” diakses pada 18 Januari 2021 dalam https://www.sljglobal.com/en/home/.
[4] Lihat dalam Putusan No. 3017 K/Pdt/2011 halaman 41 dan 42, dimana PT Sumalindo Lestari jaya Tbk sebagai Pemohon Kasasi mengakui bahwa perjanjian itu dilakukan, namun mengklaim bahwa perjanjian tersebut bukanlah perjanjian jual-beli saham atau perjanjian jual beli hak tagih atas ZCB yang sesungguhnya, melainkan hanya perjanjian untuk melakukan itu ketika semua syarat dipenuhi di kemudian hari. Permohonan kasasi ini ditolak.
[5] Vika Kartika, Budiharto, dan Siti Mahmudah, “Tanggung Jawab Direksi dalam Hal Terjadi Transaksi Afiliasi yang Mengandung Benturan Kepentingan pada Kasus PT. Sumalindo Lestari Jaya Tbk.” Diponegoro Law Journal 6, no. 2 (2017): 9.
[6] Aldy Anggriawan, “Penerapan Prinsip Good Corporate Governance sebagai Bentuk Perlindungan terhadap Pemegang Saham Minoritas terkait Transaksi Benturan Kepentingan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 3017 K/Pdt/2011: PT. Sumalindo Lestari Jaya Tbk.)” (Skripsi Sarjana Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 2014), 88.
[7] KBBI dalam https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/prospektus mendefinisikan prospektus sebagai keterangan tertulis dan terperinci tentang kegiatan baru perusahaan, yang disebarkan kepada umum atau disampaikan ke kelompok tertentu; iklan; atau buku selebaran. Diakses pada 20 Januari 2021.
[8] Aulia Taufik, “Analisis Perlindungan Pemegang Saham Minoritas dalam Aksi Korporasi Perseroan Terbuka di Pasar Modal (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung: Nomor 3017/K/Pdt/2011)” (Skripsi Sarjana Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 2015), 70.
[9] Agus Riyanto, “Kekuatan Pemegang Saham Independen, Benarkah Itu?” Diakses pada 20 Januari 2021 dalam https://business-law.binus.ac.id/2020/03/22/kekuatan-pemegang-saham-independen-benarkah-itu/.
[10] Vika Kartika, Budiharto, dan Siti Mahmudah, Op.Cit., hlm. 6.
[11] Lintang Agustina Roesadi, Budiharto, dan Rinitami Njatrijani, “Perlindungan Pemegang Saham Minoritas dalam Terjadi Pengambilalihan Saham pada Anak Perusahaan (Kasus PT. Sumalindo Lestari Jaya, Tbk),” Diponegoro Law Journal 6, no. 2 (2017): 9.
[12] Vika Kartika, Budiharto, dan Siti Mahmudah, Op.Cit., hlm. 8, 11-12.
[13] Irma Devita Purnamasari, “Prosedur Memasukkan Aset Pribadi sebagai Aset PT,” diakses 22 Januari 2021 dalam https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt527cf41ce63c6/prosedur-memasukkan-aset-pribadi-sebagai-aset-pt/.
[14] Vika Kartika, Budiharto, dan Siti Mahmudah, Op.Cit., hlm. 12.
[15] Lintang Agustina Roesadi, Budiharto, dan Rinitami Njatrijani, Op.Cit., hlm. 9-10.
dan CAROLINA MALINDA adalah mahasiswa Jurusan Hukum Bisnis BINUS.