PENERAPAN ASAS LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALI DALAM TINDAK PIDANA MATA UANG
Oleh AHMAD SOFIAN (Maret 2021)
Melanjutkan pembahasan tentang dugaan tindak pidana mata uang yang diduga dilakukan oleh Zaim Saidi (ZS), saya tertarik mendalaminya dan mengulasnya dari optik lain yaitu terjadinya konflik norma dari undang-undang yang digunakan oleh penyidik. Sebagaimana didalilkan dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan), ZS diduga melanggar Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 33 UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Kedua pasal dari dua undang-undang yang digunakan tersebut memiliki kesamaan yaitu tentang tindak pidana mata uang, namun yang satu adalah mengatur tindak pidana umum dan satu lagi tindak pidana yang lebih khusus bidang mata uang. Terjadi konflik norma dalam dugaan tidak pidana yang dipersangkakan ini. Ketika terjadi konflik norma, maka asas-asas hukum digunakan untuk membantu menyelesaikan konflik norma tersebut. Setidaknya ada tiga asas yang digunakan dalam menyelesaikan konflik norma yaitu lex superior derogat legi inferiori (the higher rule prevails over the lower), lex posterior derogat legi priori (the later rule prevails over the earlier) dan lex specialis derogat legi generali (the more specifi rule prevails over the less specific). Ulasan saya kali hanya mengacu pada penyelesaian konflik norma dengan lex specialis derogat legi generali (the more specifi rule prevails over the less specific) karena lebih relevan dengan norma hukum yang digunakan.
Namun perlu dicatat bahwa tulisan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tulisan saya yang sebelumnya yang berjudul “Dugaan Tindak Pidana Mata Uang, Bagaiamana Tafsir Pasal yang Digunakan.[1] Dalam tulisan sebelumnya, berdasarkan kronlogis yang saya dapatkan, bahwa perbuatan yang diduga dilakukan oleh ZS tidak memenuhi unsur sebagai tindak pidana mata uang. Tulisan ini hanya melihat optik yang berbeda, yaitu dua undang-undang yang dipergunakan penyidik adalah undang-undang yang berkonflik satu sama lain.
Lex Specialis Derogat Legi Generali
Asas lex specialis derogat legi generali memiliki makna undang-undang (norma/aturan hukum) yang khusus meniadakan keberlakuan undang-undang (norma/aturan hukum) yang bersifat umum. Asas ini sudah dikenal sejak zaman Kekaisaran Romawi sebagai buah pemikiran Aemilius Papinianus, seorang ahli hukum Romawi kelahiran Syria. Menurutnya kekhususan sebuah norma lebih diutamakan daripada norma yang bersifat umum. Menurutnya, aturan khusus lebih relevan dan kompatibel dan lebih sesuai dengan kebutuhan hukum dan kebutuhan subjek hukum yang tidak mampu atau kurang mampu dijangkau oleh ketentuan umum. Karena itu, ketika ada perbuatan yang diatur dalam ketentuan umum dan juga ketentuan khusus, terjadi konflik norma yang harus segera diselesaikan (Nurfaqih Irfani, 2020)
Menurut Hans Kelsen (1991), konflik norma (allgemeine der normen) atau dalam Bahasa Inggris disebut the conflict rules, terjadi apabila antara apa yang diperintahkan dalam ketentuan suatu norma dengan apa yang diperintahkan dalam norma lainnya tidak kompatibel/tidak cocok sehingga mematahui atau melaksanakan salah satu norma tersebut akan niscaya atau mungkin menyebabkan pelanggaran terhadap norma lainnya. Dengan demikian konflik norma terjadi ketika objek yang diatur saling bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, karena itu harus diterapkan salah satu saja, sehingga norma lainnya harus dikesempingkan.
Dalam konteks hukum pidana, konflik norma juga terjadi ketika kedua norma tersebut mengatur perbuatan terlarang yang sama tetapi memiliki sanksi yang berbeda, atau mengatur perbuatan yang terlarang yang sama dan sanksi yang sama namun norma yang satu lebih khusus dibandingkan dengan norma yang lain. Oleh karena itu, asas lex specialis derogat lex generali digunakan untuk menyelesaikan konflik ini.
Menurut Hart, asas ini mengatur tentang pembatasan kewenangan aparat penegak hukum dalam menentukan hukum mana yang berlaku dan diterapkan. Dengan kata lain memberikan batasan atas tindak represif oleh aparat negara atas dugaan adanya tindak pidana. Ancel menambahkan bahwa dalam tahap aplikasi, asas lex specialis derogat legi generalimerupakan suatu asas yang mengatur kewenangan, bukan terkait dengan perumusan delik. Dia menambankan bahwa asas ini merupakan suatu games-rules dalam penerapan hukum. Asas ini penting bagi penegak hukum, dalam menerapkan aturan hukum mana yang diberlakukan atas suatu peristiwa konkrit tertentu yaitu aturan yang bersifat khusus.
Secara doktrin ada dua cara pandang dalam menentukan ketentuan khusus ini yaitu cara pandang logis (logische beschouwing) dan cara pandang juridis (jurisdische beschouwing). Menurut Enschede dalam tulisannya yang berjudul “Lex specialis derogat legi generali” (1963), pandangan secara logis mengatakan bahwa suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, jika ketentuan pidana tersebut di samping memuat unsur-unsur yang lain, juga memuat semua unsur dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum. Pandangan ini juga disebut sebagai suatu logische specialiteit atau sebagai suatu kekhususan secara logis.
Sementara itu dalam pandangan yuridis dikatakannya suatu ketentuan pidana itu walaupun tidak memuat semua unsur dari suatu ketentuan yang bersifat umum, ia tetap dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila dengan jelas dapat diketahui, bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketetentuan pidana yang bersifat khusus. Pandangan ini juga disebut suatu jurisdische specialiteit atau systematische specialiteit, yang berarti kekhususan secara yuridis atau secara sistematis (Alvi Syahrin, 2013).
Bagir Manan mantan Ketua Mahkamah Agung mengemukakan bahwa ada beberapa hal yang dapat dipertimbangkan dan pedoman dalam menerapakan asas ini yaitu :
Pertama, ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut. Kedua, ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan lex generali. Ketiga, ketentuan lex specialis harus beraada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generali. Untuk yang bagian yang ketiga ini Bagir memberikan contoh, ketentuan specialis dan generalis ini memiliki genus yang sama, misalnya ketentuan perdata dengan ketentuan perdata, ketentuan pidana dengan ketentuan pidana.
Asas lex specialis derogat legi generali ternyata juga diatur dalam dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Pasal ini digunakan sebagai filter dalam menentukan validitas keberlakuan suatu peraturan ketika perbuatan pidana atau dugaan tindak pidana diatur dalam dua undang-undang yang berbeda dengan kadar aturan yang berbeda atau mungkin kadar sanksi yang berbeda pula, maka dipilihlah aturan yang khusus sebagai aturan yang valid. Dengan kata lain, aturan yang bersifat umum tidak memiliki validity lagi untuk diterapkan.
Pengaturan Tindak Pidana Mata Uang
Sebagaimana uraian saya tentang tindak pidana mata uang, bahwa pengaturan tindak pidana mata uang diatur dalam Pasal 9-13 Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 33 UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.[2] Jika mengacu pada asas lex specialis deregot legi generali, maka dapat dianalisa sebagai berikut :
Pasal 9-13 UU No. 1 Tahun 1946 menyatakan perbuatan yang dilarang atau objek normanya yaitu tentang tindak pidana mata uang yang meliputi membikin, menjalankan, menyuruh membayarkan atau menjalankan sebagai alat pembayaran, menerima, atau menyimpan, mengangkut mata uang selain mata uang rupian.
Sementara itu Pasal 33 UU No. 7 Tahun 2011 menyatakan perbuatan yang dilarang juga tentang tindak pidana mata uang yang meliputi menggunakan, melakukan transaksi, menyelesaikan kewajiban lainnya dengan mata uang selain mata uang rupiah.
Jadi kedua norma tersebut memiliki kemiripan atas perbuatan yang dilarang, dan bisa ditafsirkan sebagai norma yang sama atau dalam bahasa Bagir Manan sebagai norma direzim yang sama yaitu tentang tindak pidana mata uang, sehingga asas lex specialis derogat legi generali berlaku atau diperlakukan. Terjadi konflik norma antara Pasal 9-13 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 33 UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Pasal 9-13 UU No. 1 tahun 1946 dari sifatnya adalah ketentuan generali, karena mengatur tentang tindak pidana umum tidak spesifik (specilis) mengatur tentang tindak pidana di bidang mata uang. Karena itu, Pasal 9-13 UU No. 1 Tahun 1946 tidak kompatibel/tidak cocok digunakan dalam tindak pidana yang objek normanya adalah mata uang.
Kesimpulan
Pasal yang dipersangkakan oleh penyidik merupakan pasal-pasal yang berkonflik satu sama lain, sehingga harusnya yang digunakan adalah hanya Pasal 33 Undang-Undang No. 7 tahun 2011. Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1946 tidak kompatibel digunakan dalam mempersangkakan dan mendakwa ZS.
Dengan demikian penyidik telah melakukan pelanggaran asas lex specialis derogat legi generali dan sekaligus melanggar Pasal 63 ayat (2) KUHP, karena seharusnya tidak mengawinkan secara paksa kedua ketentuan tersebut dalam kasus ini. Jika pun ini dinilai sebagai dugaan tindak pidana, maka pasal yang harus dipersangkakan harusnya hanyalah ketentuan yang ada di dalam Pasal 33 UU No. 7 Tahun 2011 bukan Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1946.
Pelanggaran Pasal 63 ayat (2) KUHP telah menyebabkan tersangka ditahan dan dirampas kemerdekaannya. Jika sejak awal penyidik faham asas ini, maka penyidik hanya menggunakan Pasal 33 UU No. 7/2011 sehingga tentu saja ZS tidak ditahan. Penahanan seorang tersangka berdasarkan Pasal 21 (4) KUHAP adalah jika perbuatan yang dipersangkakan diancam pidana minimal 5 tahun atau tindak pidana tertentu, tindak pidana mata uang bukan termasuk di dalamnya. Dugaan pelanggaran Pasal 33 UU No. 7 tahun 2011 adalah maksimum 1 tahun penjara. Oleh karena penyidik juga menggunakan ketentuan Pasal 9 UU No. 1 tahun 1946 yang ancaman pidananya 15 tahun, menyebabkan hak-hak tersangka menjadi hilang dan ZS ditahan.
Referensi
[1] Ahmad Sofian, Dugaan Tindak PIdana Mata Uang, Bagaiamana Tafsir Pasal yang Dipersangkakan ?’ “https://business-law.binus.ac.id/2021/02/06/dugaan-tindak-pidana-mata-uang-bagaimana-tafsir-pasal-yang-dipersangkakan/
[2] Ibid.
Published at :
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...