REVISI PASAL-PASAL KARET DALAM UNDANG-UNDANG ITE
Oleh SHIDARTA (Februari 2021)
Pada tanggal 8 Februari 2021, saat memberikan sambutan untuk acara Komisi Ombudsman RI, Presiden Joko Widodo menyatakan, “Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan ataupun potensi maladministrasi dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya-upaya perbaikan.” Mantan Wapres Jusuf Kalla kemudian memberikan respons. “Tentu banyak yang ingin melihatnya, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi?” (baca: https://fokus.tempo.co/read/1432757/jokowi-minta-dikritik-buzzer-dan-uu-ite). Entah berkaitan langsung atau tidak dengan respons tersebut, Presiden memberi pernyataan tambahan saat memberikan sambuatan dalam Rapat Pimpinan (Rapim) TNI-Polri yang digelar di Mabes Polri, tanggal 15 Februari 2021. Kali ini yang dituju adalah revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Apabila ingin dilacak keterkaitannya, boleh jadi karena banyak “kritik” yang berujung menjadi dugaan tindak pidana karena terjerat pasal-pasal dalam UU ITE itu.
Pertanyaannya adalah apakah benar ada yang salah di dalam UU ITE ini? Benarkah pasal-pasal di dalan UU ITE ini merupakan pasal-pasal karet?
Sebenarnya tidak semua pasal di dalam UU ini menjadi sorotan publik. Hanya ada beberapa pasal saja yang sangat “seksi” dalam arti menarik perhatian untuk diperbincangkan karena menjadi sandaran normatif atas kasus-kasus yang berawal dari postingan di media sosial. Salah satunya adalah Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Ayat dari pasal ini berbunyi:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak [DILARANG] mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Saya sengaja menyisipkan kata DILARANG pada ayat itu karena memang formulasi dari ayat tersebut tidak menyertakan operator norma larangan ini. Operator normanya digantungkan pada judul Bab VII yang memuat Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 UU ITE.
Pada saat UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE ini diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016, maka bunyi Pasal 27 ayat (3) itu tetap dipertahankan, tetapi justru ada penambahan pada Penjelasan Pasal 27 ayat (3) itu dengan kata-kata sebagai berikut:
Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Penjelasan Pasal 27 ayat (3) telah menambahkan norma baru dengan menunjuk pada ketentuan KUHP. Jadi, formulasi norma Pasal 27 ayat (3) itu sebenarnya tidak mengandung unsur norma perilaku yang utuh. Jika dimaknai mengikuti penjelasannya, ayat ini berarti lebih sebagai kaidah petunjuk. Seandainya diposisikan sebagai norma perilaku pun, maka ia hanya menekankan unsur sarana yang digunakan oleh subjek norma dalam melakukan penghinaan/pencemaran nama baik. Penambahan ini tidak signifikan sama sekali. Hal ini menunjukkan problematikanya tidak terletak pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE, tapi pada norma perilaku di KUHP yang ditunjuk oleh Penjelasan tadi. Poin saya adalah: apabila kita ingin mempermasalahkan ayat ini, maka bereskan dulu permasalahan intinya di ketentuan KUHP yang mengatur tindak pidana ini.
Apakah boleh kita TIDAK mengikuti kaidah petunjuk dalam Penjelasan Pasal 27 ayat (3)? Boleh saja karena penjelasan hanya menyediakan ruang tafsir otentik. Oleh sebab itu, penambahan metakaidah berupa norma petunjuk yang merujuk ke KUHP itu tidaklah memaksa sifatnya. Boleh diikuti, boleh tidak. Jadi, menurut saya, untuk membuatnya memaksa, adalah keliru jika kaidah petunjuk itu diletakkan di Penjelasan.
Kata-kata kerja utama dalam suatu rumusan norma perilaku (berposisi sebagai objek norma) seperti menghina, mencemarkan nama baik, menakut-nakuti, adalah kata-kata berkonotasi subjektif dari sudut penerima perlakuan. Dalam KUHP cukup banyak ketentuan yang mengandung makna subjektif seperti ini, sehingga tolok ukurnya tak bisa digeneralisasi. Penerimaan orang atas perlakuan ini berbeda antara satu orang dengan orang lajn. Hal itu pula yang membuatnya menjadi deik aduan. Analoginya kurang lebih sama seperti delik kesusilaan. Oleh sebab itu, analisis yang paling tepat dalam menghadapi delik seperti ini adalah mencermatinya kasus per kasus, dengan lebih menekankan pada aspek konteks daripada teks.
Konteks seseorang yang melakukan penghinaan dan pencemaran dengan konteks seseorang melakukan kritik, sesungguhnya tidak sulit dideteksi. “Kritik” baru dapat dianggap kritik apabila disampaikan secara argumentatif. Apabila meminjam terminologi dari model argumentasi Toulmin, kurang lebih dapat dikatakan bahwa klaim harus selalu berangkat dari bukti faktual, dan atas dasar itu pula lalu dibangun alasan substansialnya (warrant), yang syukur-syukur apabila diperkuat lagi dengan landasan teoretis atau normatif (backing).
Hal seperti ini pula yang kerap menjadi persoalan yang menyasar pada Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Ayat ini berbunyi:
Setiap dengan sengaja dan tanpa hak [DILARANG] menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Ayat ini memang mengandung kerancuan karena ada kata “individu” sebagai subjek yang ditempatkan sebagai korban dari rasa kebencian atau permusuhan itu. Aksentuasi dari ayat ini sebenarnya adalah pada frasa “berdasarkan SARA” itu. Dengan demikian, segala sesuatu ujaran yang menimbulkan rasa kebencian atau permusahan berdasarkan SARA sudah pasti tidak berdimensi individual lagi. SARA itu menyangkut kebencian dan permusuhan atas kelompok masyarakat, bukan individual. Oleh sebab itu, sangat aneh apabila ada pihak-pihak yang kemudian mengusulkan agar rezim hukum untuk tindakan yang disebutkan dalam Pasal 28 ayat (2) ini dialihkan ke hukum perdata. Hal lain yang dapat dipastikan bahwa semua ujaran kebencian atau permusahan berdasarkan SARA adalah ujaran tanpa argumentasi yang kuat karena dibangun melalui kesesatan komposisi (fallacy of composition). Ujaran demikian pasti juga adalah klaim (generalisasi) yang tak terhubung dengan bukti faktual (sekadar prasangka), dan tanpa alasan substansial, yang diajukan secara serampangan bahwa perilaku satu atau beberapa orang dipandang mencerminkan perilaku keseluruhan komunitas atau kelompok masyarakat. Kebencian atau permusuhan terhadap individu tertentu pada gilirannya, dibawa menjadi kebencian atau permusuhan terhadap kelompok massa.
Dengan demikian, keriuhan akhir-akhir ini untuk merevisi pasal-pasal yang dituduh sebagai pasal karet dalam UU ITE, menuntut penyikapan yang komprehensif. Ketidakmelekan (iliterasi) digital yang mewujud pada ketidakdewasaan bersikap yang melanda para pengguna media sosial, harus diakui merupakan ancaman terhadap kohesi sosial pada masyarakat majemuk seperti yang dihadapi Indonesia. Revisi terhadap pasal-pasal itu tidak boleh sampai memperburuk ketidakmelekan itu, sehingga hukum akhirnya tidak lagi menjadi saluran (kanalisasi) untuk menyalurkan rasa terhina atau ketersinggungan tadi. Sebagai alternatifnya, lalu pengguna media sosial melakukan pembalasan juga dengan cara menghina dan mencemarkan balik pihak lawan di media sosial. Jangan sampai aparat penegak hukum yang kemudian menerima pengaduan atas kasus-kasus seperti ini, pada akhirnya, tidak lagi punya ketegasan karena khawatir dituduh mengkriminalisasi warga masyarakat akibat adanya pasal-pasal di UU ITE yang sudah diamputasi. (***)
Published at :