GUEST LECTURE DOSEN BL DALAM LAW PROFESIONAL PRACTICUM 2021 ACICIS (AUSTRALIA)
Pada tanggal 7 Januari 2021, dosen Business Law BINUS, Stijn Cornelis van Huis, menjadi dosen tamu dalam Law Professional Practicum yang diselenggarakan secara daring oleh ACICIS (Australian Consortium for ‘In-Country’ Indonesian Studies) tahun 2021 bekerja sama dengan Universitas Atma Jaya. Acara tersebut secara spesifik membahas mengenai ragam bentuk dan pelaksanaan hukum di Indonesia dan diikuti oleh 43 mahasiswa internasional yang berasal dari berbagai universitas di Australia. Law Professional Practicum tahun ini mengambil tema “Customary Law & Informal Regulation” dengan menghadirkan dua orang narasumber: Stijn Cornelis van Huis dan Theresia Dyah Wirastri, Direktur Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia yang juga aktif sebagai pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Sesi dibuka oleh Stijn van Huis. Dalam paparannya, melalui analisa singkat dari sejumlah putusan pengadilan agama, Stijn menjelaskan bagaimana dalam lingkungan peradilan agama, hakim menafsirkan norma-norma hukum Islam dalam kaitannya dengan hukum nasional, hukum adat dan hukum internasional. Stijn menunjukkan bagaimana hakim dalam isu hukum tertentu cenderung menerapkan pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Perkawinan dengan sangat ketat, misalnya pasal mengenai rukun pernikahan dan pasal yang mewajibkan perceraian oleh / di depan pengadilan agama. Namun sebaliknya, jika hakim menangani kasus yang berkaitan dengan hak anak, mereka cenderung mempertimbangkan kepentingan terbaik anak dengan merujuk pada berbagai sumber hukum lainnya dan mengaitkannya dengan fikih, norma adat, UU Perlindungan Anak dan bahkan the Convention on the Rights of the Child. Nikah siri misalnya bertentangan dengan kewajiban setiap pasangan untuk mencatatkan pernikahannya, tetapi anak yang lahir dari pernikahan yang tidak tercatat, seringkali dapat disahkan melalui putusan pengadilan jika pasangan tersebut terbukti sudah menikah secara resmi setelah anaknya lahir. Hal ini dilakukan dengan memperhitungkan kepentingan terbaik anak, dan hak anak untuk dibesarkan oleh orang tuanya. Dalam perkara pengesahan anak angkat, norma-norma adat mengenai persyaratan sahnya pengangkatan anak dipertimbangkan oleh hakim dan menurut hakim tidak semua persyaratan yang tercantum dalam PP tentang Pengangkatan Anak perlu terpenuhi dalam pengesahan anak angkat secara adat.
Theresia Dyah Wirastri sebagai narasumber kedua menyampaikan paparan yang berjudul “Coping with Polygamy in Indonesia.” Dalam paparannya Dyah menjelaskan bagaimana praktik poligami tidak terdaftar masih terus berjalan, meskipun UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 telah mengatur mengenai syarat-syarat berpoligami di Indonesia. Artinya, poligami diperbolehkan namun bersyarat. Dyah membuka paparannya dengan menjelaskan sejarah praktik poligami di Indonesia, mulai dari masa kolonial, sampai kondisi terkini di era post-reformasi. Selanjutnya, syarat legalitas poligami dan polemik disekitarnya juga beberapa kisah perempuan yang menjadi istri kedua/ketiga dalam pernikahan poligami yang tidak terdaftar diangkat secara singkat. Sebagai penutup Dyah mengangkat isu mengenai kontestasi antara hukum agama/kebiasaan dengan hukum negara dalam pengaturan hukum keluarga di Indonesia, yang tercermin kuat dalam isu praktik poligami yang tidak terdaftar ini.
Setelah sesi paparan, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Sesi penutup ini berjalan dengan sangat dinamis. Setidaknya sepuluh orang mahasiswa Australia yang mengikuti program ACICIS mengajukan berbagai pertanyaan mengenai syarat sah nya pernikahan versus pernikahan sebagai peristiwa sosial di masyarakat, kedudukan anak biologis dalam pernikahan yang tidak terdaftar dan bagaimana negara menyikapi hal ini. Putusan MK Tahun 2017 mengenai hubungan perdata ayah dengan anak biologisnya menjadi salah satu isu hukum yang menarik perhatian peserta. Acara seminar kali ini berlangsung dengan sukses dan menimbulkan kesan mendalam bagi para peserta, seperti yang disampaikan oleh pihak panitia. (***)