People Innovation Excellence

PENERAPAN ASAS TRANSITOIR  UU-P3H VERSUS UU CIPTA KERJA

Oleh AHMAD SOFIAN (Desember 2020) 

Ahli hukum pidana tidak ada yang menguliti asas transitoir pasca berlakunya UU Ombinus Law. Padahal asas ini sangat krusial jika dikaitkan dengan kasus-kasus yang sedang berjalan di pengadilan. Banyak kasus-kasus yang sedang berproses di pengadilan yang akan bersinggungan dengan asas ini, namun dikhwatirkan asas ini tidak disinggung dan tidak diterpakan  di pengadilan, karena luput dari perhatian hakim dan juga jaksa. Asas ini berada dalam hukum pidana formil, namun diatur dalam KUHP, Pasal 1 ayat (2) KUHP yang bunyi lengkapnya sebagai berikut :

“Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya”

Tidak banyak yang memberikan tafsir atas substansi pasal ini, karena pasal ini sangat jarang digunakan jika tidak terjadi perubahan undang-undang Ketika peristiwa pidana itu dituntut, namun saat ini perubahan drastis atas ketentuan pidana di UU Ombinbus law menyebabkan asas ini bakalan dipergunakan di banyak pengadilan di Indonesia.

Oleh karena pembentuk KUHP tidak memberikan penjelasan terhadap tafsir Pasal 1 (2) KUHP maka digunakan pendapat ahli hukum pidana (doktrin) untuk memberikan makna akan substansi pasal tersebut. Dapat ditafsirkan bahwa substansi Pasal 1 ayat (2) KUHP disebut dengan asas transitoir, yaitu asas yang menentukan berlakunya suatu aturan hukum pidana dalam hal terjadi atau ada perubahan undang-undang. Dengan asas tersebut pada dasarnya untuk memperbolehkan aturan hukum pidana hasil perubahan untuk diterapkan secara surut (retroaktif), dengan syarat bila hukum pidana hasil perubahan tersebut lebih menguntungkan bagi terdakwa dibandingkan bila menerapkan hukum pidana sebelum perubahan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa ketika suatu perbuatan dilakukan lalu terjadi perubahan dalam perundang-undangan, maka dipergunakan aturan yang paling ringan bagi terdakwa, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, sehingga dengan demikian lex temporis delictie tersebut dibatasi oleh Pasal 1 ayat (2) KUHP tersebut. Van Bemmelen, mengistilahkan terjadinya perubahan hukum pidana tersebut sebagai hukum transitoir atau hukum peralihan

Tafsir Perubahan Undang-Undang

Penggunaan  asas transitoir ini sebagaimana diungkapkan E. Utrecth yang dikutip oleh R.Soesilo yang memberikan tafsir terhadap perubahan undang-undang yang dimaksud dalam Pasal 1 (2) KUHP yaitu teori formil dan teori materiil  terbatas dan teori materiil  tidak terbatas. Teori formil menyatakan  jika terjadi perubahan redaksi terhadap undang-undang pidana saja, artinya pembatasan pada perubahan pada undang-undang yang memberikan keuntungan kepada tersangka/terdakwa. 

 Ahli hukum seperti Pompe, Hattum dan Hamel berpendapat bahwa perkataan perundang-undangan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP adalah undang- undang dalam arti materiil, bukan dalam arti formil. Menurut paham materiil, perubahan perundang-undangan yang dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP selain perubahan undang-undang juga perubahan dalam perundang- undangan lain selain undang-undang yang telah menyebabkan suatu ketentuan pidana yang pada hakikatnya secara tekstual tidak berubah, tetapi menjadi mempunyai pengetian lain, faham ini sering juga disebut teori materiil  terbatas. Faham ini diartikan sebagai tiap-tiap perubahan sesuai dengan perubahan perasaan (keyakinan) hukum pada pembuat undang-undang. Jadi dalam teori ini juga menerima  perubahan undang-undang di luar undang-undang pidana sepanjang mempengaruhi undang-undang pidana yang bersangkutan. Menurut teori ini, maka tiap-tiap perubahan, baik dalam perasaan hukum dari pembuat undang-undang, maupun dalam keadaan karena waktu, boleh diterima  sebagai perubahan undang-undangn  dalam arti kata Pasal 1 (2) KUHP. Pembatasannya adalah bahwa bila perubahan itu terjadi karena sifat sementara dari suatu perundang-undangan maka dianggap bukan perubahan dalam arti Pasal 1 ayat (2) KUHP. Sebagai contoh, terdapat perundang-undangan yang berlaku untuk sementara yang pasal-pasalnya menentukan waktu dan perundang-undangan yang disesuaikan dengan keadaan-keadaan yang berubah. Menurut Andi Hamzah terdapat putusan-putusan yang mengatakan bahwa peraturan yang bersifat sementara jika dihapus tidak merupakan perubahan perundang-undangan menurut Pasal 1 ayat (2) KUHP. Ajaran materril terbatas ini dikenalkan oleh van Geuns. Teori ini  yang sering dipakai dalam yurisprudensi dan beberapa putusan Hoge Raad termasuk di negeri Belanda. 

Ada sebuah contoh lawas yang menarik  diungkapkan R. Soesilo, tentang keputusan Hoge Raad bulan Desember 1904, dimana seorang mucikari memberi kepada seorang wanita yang berumur 22 tahun kesempatan untuk menjalankan pelacuran  dirumahnya dimana disedikan suatu kamar dengan satu tempat tidur dimana wanita pelacur itu dapat mengasingkan diri dengan seorang lelaki. Ia dituntut dengan Pasal 295 sub 2 KUHP yang berbunyi “dengan hukuman penjara setinggi-tinggi empat tahun dihukum barang siapa yang dengan sengajar menyebabkan atau memudahkan perbuatan-perbiatan cabul dengan orang lain yang dilakukan oleh orang yang belum dewasa yang diketahuinya atau patut disangkanya bahwa ia bleum dewasa. Pasal ini dipakai sebagai dasar penuntutan, karena pada tahun 1904 batas umur dewasa adalah 22 tahun. Hal ini ditentukan dalam pasal 330 KUHP Perdata. Dalam tahun 1905 sedang perkara ini masih  diadili di muka  pengadilan, Pasal 330 KUHPerdata mendapat perubahan, yaitu batas usia  dewasa diturunkan menjadi 21 tahu. Dengan demikian menurut redaksi Pasal 330 KUHPerdata, maka wanita Pekerja Seksual pada waktu itu  melakukan perbuatannya sudah menjadi orang dewasa. Pasal 295 sub 2 KUHP, meskipun pasal ini tidak mengalami perubauan, tidak lagi dapat dipakai sebagai dasar untuk menuntut peristiwa tersebut. Disini Hoge Raad menganggap perubahan dalam Pasal 330 KUHPerdata juga sebagai suatu perubahan dalam arti kata Pasal (2) KUHP biarpun perubahan tersebut tidak disebutkan dalam redaksi suatu pasal undang-undang pidana sendiri, dan mucikari itu dibebaskan dari segala tuntutan.

Selain teori materiil   terbatas, ada juga teori materiil tidak terbatas yang menjelaskan bahwa perubahan dalam arti Pasal 1 ayat (2) adalah perubahan dalam semua undang-undang dalam arti  materiil, yang memiliki pengaruh terhadap ketentuan  hukum pidana. 

Tafsir Menguntungkan

Setiap perubahan dalam perundang-undangan digunakan untuk keuntungan terdakwa. Keuntungan ditujukan kepada terdakwa dan bukan pada korban, sehingga dasarnya adalah untuk meringankan beban penderitaan terdakwa atau keluarganya.  Dalam menentukan kadar yang menguntungkan bagi terdakwa menurut Sudarto dasarnya adalah penerapan pada kasus-kasus yang kongkrit, dan didasarkan pada arti yang luas, bukan pada berat ringannya sanksi pidananya saja. Menguntungkan bagi terdakwa bukan saja terkait ancaman pidananya yang menguntungkan terdakwa, tetapi juga termasuk perubahan perumusan delik, dari delik biasa menjadi delik aduan, atau juga dari sanksi pidana penjara menjadi sanksi denda atau sanksi administrasi. Perubahan peraturan yang menguntungkan  termasuk juga soal daluarsa penuntutan, jika daluarsa penuntutannya dipercepat, maka hal ini termasuk juga dalam kategori yang menguntungkan bagi terdakwa.

Dalam menerapkan kadar keuntungan ini, maka tidak hanya berlaku di pemeriksaaan tingkat Pengadilan Negeri. Misalnya ketika terdakwa akan dituntut, ternyata ada perubaahan undang-undang yang menguntungkan bagi terdakwa, maka dipergunakanlah undang-undang yang menguntungkan tersebut saat penuntutan, demikian juga saat akan diputuskan oleh hakim, terjadi perubahan pada undang-undang dan perubahan tersebut menguntungkan terdakwa, maka dipergunakan undang-undang perubahan tersebut.  Hal yang sama berlaku di Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung, apabila pada waktu pemeriksaan di tingkat banding atau kasasi dan terjadi perubahan undang-undang yang menguntungkan terdakwa, maka dipergunakan undang-undang yang paling menguntungkan terdakwa saat akan diputuskan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.

Terkait asas transitoir yang menguntungkan bagi terdakwa ini juga masih dipertahankan dalam RUU KUHP, yang dicantumkan dalam Pasal 2 yang berbunyi : “dalam hal perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama berlaku apabila menguntungkan bagi pembuat”. Dalam konteks ini jelas, bahwa peraturan perundang-undangan yang diberlakukan jika terjadi perubahan pada undang-undang digunakan ketentuan yang baru dan menguntungkan terdakwa. Jika undang-undang lama lebih menguntungkan, maka dipergunakan undang-undang yang lama.

Studi Kasus pada UU P3H (UU No. 18 tahun 2013)

Terkait dengan penerapan asas transitoir ini manarik untuk dianalisis kasus yang terjadi PN. Watansoppeng, Sulewesi Selatan.  Kasusnya terjadi pada bulan Februari 2020 terdakawa Natu bin Takka, Ario Permadi dan Sabang Bin Beddu  memasuki Kawasan hutan pada  Kelompok Hutan Nepo Kabupaten Soppeng lalu melakukan kegiatan penebangan sebanyak kurang lebih 55 pohon jati. Para terdakwa didakwa dengan dakawaan alternatif yaitu :

  1. Pasal 82 ayat (1) huruf b UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, atau
  2. Pasal  82 ayat (2) UU No. 18 tahun 2013, atau
  3. Pasal 83 ayat (1) huruf a UU No. 18 Tahun 2013, atau
  4. Pasal 84 ayat (1) jo Pasal 12 huruf f UU No. 18 Tahun 2013, atau
  5. Pasal 84 ayat (3) UU No. 18 Tahun 2013

Dakwaan ini dibacakan  oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) tanggal 1 September 2020. Lalu pada tanggal 8 Desember 2020, tuntutan dibacakan oleh JPU, yang intinya :

  1. Menyatakan para terdakwa  yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di Kawasan hutan dengan sengaja melakukan penebangan pojhon dalam Kawasan hutan tanpa  memilki izin yang dikeleluarkan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 82 ayat (2) UU No. 18 tahun 2013.
  2. Menjatuhkan pidana penjara terhadap para terdakwa selama 4 bulan.
  3. Menyatakan barang bukti dirampas untuk negara
  4. Membayar biaya perkara masing-masing Rp. 3.000 (tiga ribu rupiah).

Saya tidak menganalisis penerapan pasal dengan perbuatan tetapi mengkaitkannya dengan asas transitoir. Dalam kasus ini,  ketika surat tuntutan dibacakan, telah terjadi perubahan undang-undang terkait dengan Pasal yang dituntut yaitu terbitnya Undang-Undang No. 11 tahun 2020  tentang Cipta Kerja yang disyahkan dan diundangkan pada tanggal 2 November 2020. Pada Bab XV Ketentuan Penutup, Pasal 186 disebutkan bahwa undang-undang mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.

Dengan diberlakukannya undang-undang ini maka jika ditemukan ketentuan pidana  yang diatur dalam UU No. 18/2013 dan juga diatur dalam UU  No. 11 tahun 2020 maka yang dipergunakan adalah undang-undang yang menguntungkan terdakwa. Tentu saja dengan beberapa kriteria, yaitu perbuatan yang didakwa diatur dalam UU No. 18/2013 dan UU No. 11 tahun 2020. Berikut ini ulasannya :

Berikut ini diperbandingkan isi pasal-pasal yang didakwakan dalam UU No. 13 tahun 2018 dan UU No. 11 tahun 2020

No. UU No. 18 Tahun 2013 UU No. 11 Tahun 2020
1. Pasal 82 ayat 1 (b) melakukan penebangan pohon dalam Kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b; 

Dipidana dengan pidana penjaran paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp. 500 juta dan paling banyak Rp. 2,5 Milyar

Pasal 12 A  (kehutanan, hlm 204)

  1. Orang perseorangan yang bertempat tinggal  di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus yang melakukan  pelanggaran  terhadap ketentuan pasal 12 huruf a sampai dengan huruf f dan/atau huruf h dikenai sanksi administratif.
  2. Pengenaa sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat  (1) dikecualikan terhadap :
  1. Orang perseorangan atau kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus dan terdaftar dalam kebijkana penataan Kawasan hutan; atau
  2. Orang perseorangan yang telah mendapatkan sanksi social atau sanksi adat
2. Pasal 82 ayat (2)

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 500.000 dan paling banyak Rp. 500 juta.

Mengikuti isi Pasal 12 A (kehutanan)
3. Pasal 83 ayat (1) huruf a jo  Pasal 12 huruf d

Memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki haisl penebangan di Kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d;

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp. 500 juta dan paling banyak Rp. 2,5 Milyar;

Mengikuti isi Pasal 12 A (kehutanan)
4. Pasal 84 ayat (1) jo Pasal 12 huruf f

Orang perseorangan yang dengan sengaja membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan  hutan tanpa izin pejabat yang berwenang  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf f dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp. 250 juta dan paling banyak Rp. 5 Milyar.

Mengikuti Pasal 12 A (kehutanan)
5. Pasal 84 ayat (3)

Dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan hutan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan serta paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit  Rp.500.000 dan paling banyak Rp. 500 juta.

Mengikuti Pasal 12 A (kehutanan)

 

Pada surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU),  menuntut para terdakwa dengan Pasal 82 ayat (2) UU No. 18 tahun 2013 dengan pidana 4 bulan penjara. Sementara itu, Pasal 82 (2) yang isinya mengacu pada Pasal 12 UU No. 18 tahun 2013 telah diubah (direvisi) dengan Pasal 12 (A) UU No. 11 Tahun 2020, dimana ancaman  pidananya menjadi sanksi administratif. Saat tuntutan dibacakan, UU No. 11 Tahun 2020 telah dinyatakan berlaku. Dengan demikian, jika mengacu pada Pasal 1 ayat (2) KUHP, seharusnya JPU menuntut para terdakwa dengan pidana administratif dan bukan pidana penjara. 

Tindakan JPU yang tidak mengindahkan asas transitoir sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP dikualifikasikan sebagai perbuatan yang dikualifisir sebagai perbuatan yang tidak taat asas. Perbuatan tersebut merugikan hak-hak terdakwa yang dijamin oleh undang-undang. Kondisi ini jika dibiarkan oleh pimpinan kejaksaan akan menimbulkan pelanggaran sistematis terhadap  asas-asas yang berlaku dalam kaedah hukum positif. Oleh karena itu, seharusnya JPU yang tidak taat asas ini diberikan tindakan atau sanksi oleh pimpinan kejaksaa. Dengan demikian akan memberikan pelajaran agar jaksa-jaksa lain  taat pada asas-asas hukum pidana. 

Oleh karena JPU menuntut terdakwa dengan menggunakan undang-undang lama yang merugikan terdakwa, maka hakim harus mengkoreksinya dalam putusan. Majelis hakim harus sungguh-sungguh menerapkan asas transitoir dalam kasus ini sehingga Pasal 1 ayat (2) KUHP dipedomani dan dijalankan. Penerapan Pasal 1 ayat (2) sifatnya imperatif, tanpa harus menunggu peraturan pelaksana dari UU No. 11 Tahun 2020. Undang-Undang 11 tahun 2020 sudah dinyatakan berlaku, sehingga asas transitoir pun otomatis dipergunakan dalam kasus ini.

Penutup

Untuk menghindari kesalahan penerapan asas transitoir di masa depan di lingkungan kejaksaan, sebaiknya Jaksa Agung menerbitkan Surat Edaran atau Peraturan Jaksa Agung tentang kewajiban dan tata cara  penggunaan asas transitoir dalam dakwaan dan atau dalam tuntutan ketika terjadi  terhadap perubahan undang-undang yang menguntungkan terdakwa. Pedoman ini memberikan arah agar jaksa faham substansi asas ini, dan faham bagaimana menerapkannya. Dengan demikian akan mampu mengeliminasi ketidaktaatan pada asas-asas hukum pidana khususnya asas transitoir. Demikian pada   Mahkamah Agung, karena tidak banyak hakim yang faham tentang asas ini, sebaiknya ada petunjuk yang dibuat oleh Mahkamah Agung tentang penerapan asas ini bagi hakim, sehingga putusan yang akan dibuat telah mempertimbangkan secara sungguh-sungguh asas transitoir ini. 


Published at :

Periksa Browser Anda

Check Your Browser

Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

We're Moving Forward.

This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

  1. Google Chrome
  2. Mozilla Firefox
  3. Opera
  4. Internet Explorer 9
Close