EKSAMINASI PUTUSAN PN JAMBI MASYARAKAT SIPIL VERSUS KORPORASI
Oleh AHMAD SOFIAN (Desember 2020)
Putusan PN. Jambi No. 708/Pid.B/2019/PN.Jmb merupakan salah satu perkara yang menjadi perhatian nasional. Konflik agraria yang terjadi antara korporasi dan masyarakat sipil acap kali berujung pada dibawanya perkara tersebut dalam pranata peradilan pidana. Konflik yang berkepanjangan tidak mampu diselesaikan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sehingga konflik tersebut berujung pada terjadinya perisitiwa pidana. Ketika terjadi peristiwa pidana, maka konflik agraria yang menjadi akar masalah dilupakan, dan masyarakat sipil yang dinilai sebagai actor dari peristiwa pidana. Mejelis hakim, dalam menilai peristiwa pidana itu, seolah-olah tidak melihat sebab-sebab timbulnya peristiwa pidana itu, karena itu putusan yang dibuat terkadang menghilangkan salah satu segmen penting dari timbulnya peristiwa pidana tersebut.
Konflik agraria masyarakat sipil versus korporasi, dan masyarakat sipil versus negara yang berujung pada peristiwa pidana kerap terjadi di republik ini. Penyelesaian yang adil tanpa melibatkan hukum pidana tidak kunjung datang. Seolah-olah negara tidak hadir secara sungguh-sungguh dalam menyelesaikan konflik tersebut.
Kasus Muslim bin Marsudi yang merupakan ketua Serikat Mandiri Batanghari (SMB) Jambi yang saya eksaminasi dalam tulisan ini, merupakan sekelumit konflik agraria yang berujung pada pada peristiwa pidana. Konflik SMB versus PT. Wikarya Saksi (PT. WKS) sudah berlangsung lama. Persoalannya adalah lahan yang mereka kelola merupakan lahan yang berkonflik. Negara dengan klaim kawasan hutan memberikan konsesi Hutan Tanaman Industri pada PT. WKS. Tetapi tidak pernah jelas sampai dimana sesungguhnya batas-batas izin perusahaan dan PT. WKS diduga telah menguasai lahan hingga keluar konsesi sejak tahun 2007. Putusan kasus ini seolah-olah melupakan konflik yang belum usai. Hukum pidana digunakan untuk menyelesaikan perisitwa pidana tetapi bukan untuk menyelesaikan akar konflik. Akar konflik bukan berarti selesai, ketika hukum pidana bertindak.
Kasus Posisi
Terdakwa mendirikan Serikat Mandiri Batanghari (SMB) 2017 yang kemudian jumlah anggotanya mencapai 5018 orang. Pada 25 April 2018 Terdakwa mengajak seluruh anggota SMB untuk masuk ke lokasi lahan PT. WKS, Batanghari. Kurang lebih 1400 anggota SMB menduduki lahan PT. WKS termasuk membangun perumahan. Terdakwa mendirikan kantor SMB dan jumlah anggota bertambah yang menduduki lahan PT. WKS tsb. Tanggal 13 Juli 2019 terdakwa dan sejumlah anggotaSMB mendatangai distrik VIII PT. WKS, terjadi adu mulut antara terdakwa dan TNI/POLRI yang menjaga distrik VIII. Lalu terdakwa memerintahkan agar mengumpulkan massa lebih banyak lagi untuk menyerang distrik VIII PT. WKS di hari yang sama. Terjadi serangan termasuk merusak bangunan PT. WKS, memukul petugas dan karyawan PT. WKS dengan mengguankan bambu runcing, dan benda keras lainnya.
Terdakwa ketua SMB yang berdiri tahun 2017. Kedatangan terdakwa di VIII PT. WKS tanggal 13 Juli untuk mengecek TIMDU yang akan dating ke SMB tanggal 12 dan 13 Juli 2019.Tanggal 13 Juli 2019 terdakwa mengecek TIMDU ke PT. WKS seorang diri dan terdakwa tidak mengetahui massa anggota SMB mengikuti dari belakang sampai di distrik VIII.Terdakwa mengaraahkan agar semua anggota SMB segera pulang, karena polisi merasa ketakutan. Bahwa sekitar pukul 14.30 terdakwa mendapatkan informasi jika massa anggota SMB berada di distrik VIII melakukan penyerangan. Terdakwa menyusul ke distrik VIII Bersama Jamiluddin untuk menghalangi massa SMB melakukan penyerangan. Terdakwa sendiri posisinya ada di luar distrik VIII. .Terdakwa tidak pernah memerintah untuk mengosongkan distrik VIII PT. WKS. Selanjutnya dalam Keterangan terdakwa, dimasukkan BAP yang sebenarnya sudah tidak diakui oleh Terdakwa, namun masih dicantumkan dalam keterangan terdakwa.
Dakwaan
Jaksa Penuntut Umum mendakwa Terdakwa Muslim bin Marsudi dengan dakwaan Kumulatif yaitu didakwa (1) Pasal 160 KUHP dan (2) Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP.
Pasal 160 KUHP
“Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Pasal 170 ayat (2) KUHP
-
- Barangsiapa yang dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan;
- Tersalah dihukum :
1e. dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan sengaja merusakkan barang atau jika kekerasan yang dilakukkannya itu menyebabkan sesuatu luka;
2e. dengan penjara selama-lamanya Sembilan tahun, jika kekerasan itu menyebabkan luka berat pada tubuh
3e. dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika kekerasan itu menyebabkan matinya orang.
Pledoi (Pembelaan)
Dalam persidangan Muslim bin Marsudi tidak didampingi penasehat hukum, sehingga nota pembelaan dilakukan langsung dan lisan oleh Muslim bin Marsudi. Pada intinya Muslim menyatakan tidak sependapat dengan surat tuntutan JPU dan harus dibebaskan dari segala tuntutan. Alasan terdakwa datang ke Distrik VIII PT. WKS untuk memastikan kedatangan TIMDU, dengan alasan jumlah massa yang datang cukup banyak dan membawa senjata. Tidak ada perintah dari terdakwa mengosongkan apalagi menyerang distrik VIII PT. WKS
Putusan
Dalam amar putusannya Majelis Hakim menyatakan bahwa Terdakwa Muslim bin Marsudi tidak terbukti secara syah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan kedua (Pasal 170 ayat 2 angka ke-1 KUHP), karena itu harus dibebaskan dari tuntutan tersebut. Namun Majelis menyatakan bahwa Terdakwa terbukti secara syah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan pada dakwaan pertama (Pasal 160 KUHP) dan menjatuhkan pidana 4 tahun penjara dan dikurangi dengan masa penangkapan dan penahanan yang sudah dijalani terdakwa.
Analisa
Dakwaan
Terdapat uraian yang bertolak belakang antara dakwaan (Sebagian besar copy paste dari BAP) dengan keterangan terdakwa. Dalam dakwaannya JPU menggunakan keterangan yang disajikan oleh Terdakwa di BAP. Kondisi ini tentu berimplikasi pada Pasal yang didakwakan yaitu Pasal 160 dan Pasal 170 ayat 2 ke-1 KUHP. Demikian juga keterangan terdakwa yang ada di dalam persidangan ternyata juga di copy paste dari BAP. Padahal keterangan terdakwa yang disampaikan di pengadilan tidak menyinggung sama sekali BAP. Selain itu, seharusnya keterangan terdakwa yang disampaikan di pengadilan yang harus dijadikan rujukan.
Pertimbangan Hukum Hakim
Dalam pertimnbangan hukum nya, Mejelis Hakim hanya mempertimbangkan keterangan saksi-saksi dari satu pihak pihak, yaitu karyawan PT. WKS dan Saksi dari Korem. Hakim sama sekali tidak mempertimbangkan saksi dari dari SMB yang telah mencabut BAP dan memberikan keterangan di bawah sumpah di pengadilan (KUHAP menyebutkan keterangan saksi adalah keterangan yang disampaikan di pengadilan bukan di BAP). Majelis malah keberatan tentang tujuan terdakwa datang ke lokasi bukan untuk melakukan penyerangan tetapi untuk koordinasi dengan TIMDU.
Berikut ini saya kutip isi Pasal 185 KUHAP ayat (1) dan ayat (6)
Jadi nyata bahwa keterangan saksi yang harus dipergunakan adalah keterangan saksi yang disampaikan di pengadilan, bukan keterangan saksi yang ada di BAP. Namun kedua keterangan saksi dari SMB tidak dipertimbangkan sungguh-sungguh oleh Majelis Hakim. Majelis secara subjektif lebih memilih saksi yang dihadirkan untuk memberatkan terdakwa.
Tafsir Unsur Pasal
Dalam menganalisa penerapan Pasal yang digunakan oleh Majelis Hakim sebagaimana didakwakan oleh JPU, maka harus didalami subsansi unsur-unsur pasal yang didakwakan dan tafsirnya.Dalam kaitan ini, penulis melakukan Analisa terhadap penerapan Pasal 160 KUHP, karena pasal inilah yang dinilai berbukti secara syah dan meyakinkan dilakukan terdakwa.
Berikut ini dijelaskan tentang unsur-unsur dari Pasal 160 beserta penjelasannya
Unsur | Penjelasan/Tafsir |
Barangsiapa | Barangsiapa ditafsirkan sebagai orang, perorangan |
Dimuka umum | Artinya perbuatan tersebut dilakukan bukan ditempat yang tersembunyi tetapi publik dapat mengakses tempat tersebut, atau dalam Bahasa Wirjono Prodjodikoro “bahwa ada orang banyak bisa melihatnya (in het openbaar)”. R. Soesilo menyatakan ditempat umum diartikan sebagai suatu tempat dimana publik dapat melihatnya. J.M. van Bemmelen dengan mengutip putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) menyatakan bahwa pasal ini tidak berlaku untuk tindakan kekerasan yang dilakukan di tempat sunyi, yang tidak mengganggu ketenangan umum, termasuk tindak itu dilakukan di jalan raya namun public tidak terusik, maka Pasal ini juga tidak bisa dikenakan, karena salah satu syarat tidak terpenuhi.
Orang hanya dapat dihukum apabila hasutan itu dilakukan di tempat umum, tempat yang didatangi publik atau dimana publik dapat mendengar. Tidak perlu penghasut itu berdiri di tepi jalan raya misalnya, akan tetapi yang disyaratkan ialah di tempat itu ada orang banyak. Tidak mengurangkan syarat bahwa hasutan harus di tempat umum dan ada orang banyak, hasutan itu bisa terjadi meskipun hanya ditujukan pada satu orang. Orang yang menghasut dalam rapat umum dapat dihukum demikian pula di gedung bioskop, meskipun masuknya degan karcis, karena itu adalah tempat umum. Dalam tafsir yang dilakukan oleh Majelis Hakim, perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam memerintahkan anggota SMB dilakukan di muka umum. Padahal terdakwa mengumpulkan hanya sebagian kecil ketua kelompok bukan dilakukan di tempat umum tetapi di kantor SMB. |
Lisan atau tulisan | Menghasut itu dapat dilakukan baik dengan lisan, maupun dengan tulisan. Apabila dilakukan dengan lisan, maka kejahatan itu menjadi selesai jika kata-kata yang bersifat menghasut itu telah diucapkan. Jika menghasut dengan tulisan, hasutan itu harus ditulis dahulu, kemudian disiarkan atau dipertontonkan pada publik |
Menghasut | Menurut R. Soesilo, artinya mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Dalam kata “menghasut” tersimpul sifat “dengan sengaja”. Menghasut itu lebih keras daripada “memikat” atau “membujuk”, akan tetapi bukan “memaksa”.
Orang memaksa orang lain untuk berbuat sesuatu, bukan berarti menghasut. Cara menghasut orang itu misalnya secara langsung: “Seranglah polisi yang tidak adil itu, bunuhlah, dan ambillah senjatanya!” ditujukan terhadap seorang polisi yang sedang menjalankan pekerjaannya yang sah. Sedangkan cara menghasut orang secara tidak langsung, seperti dalam bentuk pertanyaan: “Saudara-saudara, apakah polisi yang tidak adil itu kamu biarkan saja, apakah tidak kamu serang, bunuh, dan ambil senjatanya?” Majelis hakim terlalu luas dalam memberikan makna terhadap frase menghasut. Tidak ada perintah dari terdakwa untuk melakukan pengrusakan atau penganiayaan. Majelis dalam tafsirnya menyatakan bahwa menghasut termasuk di dalam “mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu”. Padahal nyata bahwa terdakwa tidak ada memberikan dorongan, ajakan atau membangkitkan semangat untuk merusak atau menganiaya. |
Melakukan kekerasan | R. Soesilo menyatakan bahwa “mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak syah” misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak menendang dsb.”. |
Penguasa umum | Penguasa yang menurut undang-undang |
Maksud hasutan | Ditujukan untuk :
|
Dari penjelasan di atas tergambar bahwa Pasal 160 KUHP telah mengalami perubahan perumusan delik dari delik yang dirumuskan secara formil menjadi delik yang dirumuskan secara materiil. Artinya adalah pasca Putusan MK Nomor 7/PUU-VII/2009, maka Jaksa harus bisa membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan penghasutan dengan timbulnya akibat yang dilarang. Dalam konteks ini, perbuatan menghasutan tersebut merupakan satu-satunya perbuatan yang menimbulkan akibat (kerusuhan, kekacauan, kerusakan, luka atau bahkan kematian. Atau perbuatan penghasutan itu ternyata dipengaruhi oleh keadaan tertentu (circumstances) sehingga menimbulkan akibat yang dilarang. Karena itu dua kemungkinan ini harus bisa dijelaskan dan dibuktikan di pengadilan. Jika digambarkan maka :
Jika Pasal ini dianalisa dalam konteks penerapan yang dilakukan oleh Majelis Hakim, maka logika yang dibangun oleh Majelis Hakim tergambar dalam bagan di bawah ini :
Menurut Analisa penulis, terlalu jauh logika yang dibangun oleh Majelis Hakim antara perbuatan yang dilakukan terdakwa dengan timbulnya pengrusakan dan penganiayaan yang dilakukan oleh anggota SMB. Yang terbukti dalam sidang pengadilan adalah terdakwa memerintahkan agar PT. WKS mengosongkan distrik VIII dan tidak ada perintah dari terdakwa kepada massa dan anggota SMB untuk melakukan pengrusakan atau penganiayaan. Perintah mengosongkan itupun berasal dari keterangan saksi yang dibantah oleh terdakwa. Jika dianalisa dengan ajaran kausalitas, maka tidak ada satu pun doktrin kausalitas yang bisa diterapkan atas logika yang dibangun hakim. Logika majelis hakim bisa menimbulkan kesesatan berfikir sehingga kebenaran materiil yang ingin ditemukan dalam kasus ini menjadi diragukan. Terlalu dini majelis hakim menyimpulkan bahwa ada hubungan kausal antara perintah “mengosongkan” dengan timbulnya perbuatan pengrusakan dan penganiayaan. Membuat kesimpulan yang melompat terlalu jauh, dan tidak disandarkan pada doktrin yang kuat. Dalam konteks ini majelis hakim sedang “mengira-ngira” saja, bahwa setiap perintah mengosongkan pasti akan diikuti pengrusakan dan penganiyaan. Logika berfikir seperti ini harus dikoreksi oleh Mahkamah Agung, untukk membetulkan dan mengkoreksi logika hakim pada kasus Muslim bin Marsudi.
Kesimpulan
Dari uraian-uraian yang dikemukan di atas, dengan mempertimbangkan fakta persidangan, norma yang menjadi dasar tuntutan, keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa, ditambah dengan doktrin kausalitas, maka kesimpulan yang dilahirkan dari eksaminasi ini adalah :
- Mejelis hakim telah melanggar KUHAP dalam mempertimbangkan alat bukti yang dipergunakan dalam putusan ini
- Mejelis hakim juga keliru dalam memberikan tafsir atas unsur dimuka umum dan menghasut yang diatur dalam Pasal 160 KUHP
- Terjadi kesesatan berfikir dalam mengkaitkan hubungan sebab akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa dengan timbulnya akibat berupa pengrusakan dan penganiayaan, sehingga logika yang sesat ini harus dikoreksi oleh Mahkamah Agung.
Published at :