DOKUMEN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL DIDISKUSIKAN
Pada tanggal 30 November 2020, dosen Jurusan Hukum Bisnis BINUS Shidarta diundang oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menjadi narasumber untuk me-review draf Dokumen Pembangunan Hukum Nasional (DPHN). Bersama beliau turut diundang dua reviewer lainnya, yaitu Prof. Dr. Romli Atmasasmita (Unpad) dan Prof. Dr. Maria Farida Indrati (UI). Acara berlangsung melalui zoom meeting mulai pukul 13:00 sampai dengan 16:00 wib. Kegiatan ini diikuti oleh tim penyusun draf DPHN di bawah koordinasi Prof. I.B.R. Supancana dan rekan-rekan BPHN.
Shidarta dalam kesempatan itu memberi masukan cukup panjang untuk tiga bab dari draf DPHN yang dibuat sebagai grand-design pembangunan hukum nasional menuju visi Indonesia 2045 itu. Ia berharap agar tim penyusun dapat lebih memperkaya data dengan membuat analisis kuantitatif, misalnya berupa statistik yang memuat data beberapa isu pembangunan hukum yang penting. Jika pada tahun Indonesia emas (2045) nanti diinginkan terjadi pelembagaan kesadaran hukum yang optimal, maka perlu ada strategi kebudayaan guna mencapai masyarakat yang berbudaya hukum itu. Dalam konteks ini, menurut Shidarta, perlu dicermati langkah-langkah menuju ke sana karena tantangan dan hambatannya sangat kompleks.
Shidarta menyebut beberapa hal yang perlu dicermati, guna menambahkan beberapa faktor yang sudah disinggung dalam draf tersebut. Ia mengatakan ada problematika dalam pelembagaan budaya hukum internal dan eksternal. Ia mengidentikasi beberapa hal seperti: dromologi budaya (ingin serba-instan), diasosiasi/disintegrasi sosial, penguatan peran hukum non-negara, instabilitas politik, persaingan ekonomi di tingkat global-regional-lokal, dan hadirnya teknologi dengan ciri-ciri inovatif yang destruktif, kecerdasan buatan dll. Tiap-tiap hal tersebut masih bisa dirinci lagi ke faktor-faktor penyebabnya. Misanya, disintegrasi sosial sangat mungkin akan diperparah akibat lemahnya peran kelas menengah di Indonesia saat ini, keterbelahan masyarakat atas isu-isu sosial, peningkatan sikap intoleransi, penekanan pada identitas primordial (identitas), solidaritas semu (kerap sekadar retorika), dan kemunculan sikap antipati terhadap ideologi negara. Demikian juga dengan instabilitas politik yang disebabkan faktor-faktor seperti kecenderungan politik sebagai panglima, terlalu rapatnya event-event politik (pilkada dll.), rumitnya peta perpolitikan dan rendadnya kualitas rekrutmen para politisi, serta partisipasi politik masyarakat tanpa edukasi yang cukup. Hal-hal tersebut punya dampak langsung dan tidak langsung terhadap desain pembangunan hukum nasional. Oleh sebab itu, menurut Shidarta, di dalam DPHN tersebut perlu dijawab: “Bagaimana kita dapat menyikapi situasi-kondisi tersebut untuk 5 tahun, 10 tahun, dan 15 tahun ke depan?” Apabila titik pijaknya adalah peran BPHN, maka sikap ini kemungkinan lebih dititikberatkan pada kelahiran produk legislasi yang antisipatif.
Ia menambahkan bahwa pelembagaan (institusionalisasi) budaya hukum yang sehat sangat membutuhkan kajian atas variabel-variabel sebagaimana pernah disinggung oleh Alm. Prof. Selo Soemardjan, yaitu efektivitas menanam, kekuatan menentang dari masyarakat, dan kecepatan menanam. Tesisnya adalah apabila efektivitas menaman kecil, sedangkan kekuatan menentang besar, maka kemungkinan suksesnya pelembagaan juga kecil. Dalam kondisi seperti ini, waktu yang dibutuhkan juga harus lebih lama karena makin cepat orang mengharapkan hasil, makin tipis efek pelembagaan itu tertanam sebagai kesadaran hukum masyarakat. (***)